webnovel

1. My Wish

Suasana kantor begitu berisik tiap harinya, dipenuhi gelak tawa yang begitu terdengar lepas tanpa beban. Ada banyak hal yang selalu dibicarakan para pegawai di ruangan yang lumayan sempit ini, apalagi ketika hari senin. Seolah akhir pekan berlangsung begitu lama hingga membuat mereka punya begitu banyak cerita untuk dibagi.

Arui duduk sendirian di ujung ruangan, tempat favoritnya untuk menghindari diajak mengobrol hal yang kurang penting. Ia hanya ingin fokus bekerja di kantor ini, karena bukankah tujuan asli mencari pekerjaan adalah bekerja?

Arui tidak memiliki teman dekat di kantor ini, terlebih karena dia hanyalah pegawai baru. Semua orang sudah memiliki teman sendiri-sendiri. Teman Arui yang masih akrab hanyalah teman masa kuliah saja, itupun kebanyakan di antara mereka telah memiliki kehidupan sendiri setelah lulus kuliah.

Hal-hal acak dan tidak terduga yang biasa singgah di pagi hari yang tenang di ruangan ini hanyalah undangan pernikahan yang tiba-tiba saja sudah ada di mejanya.

Arui terkekeh di balik masker yang ia kenakan. Entah sudah berapa kali ia menerima undangan seperti ini selama bekerja kurang lebih satu tahun di sini. Nampaknya kehidupan orang lain begitu membahagiakan. Tidak ada patah hati, tidak ada penolakan, dan tidak ada keraguan.

Ragu. Itu adalah sebuah kata yang membuat Arui sakit. Keraguan yang selalu hinggap di hati pasangannya hingga membuat hubungan mereka tertahan di tempat yang sama.

Fian, itu adalah nama kekasihnya. Mereka berdua dulu saling mengenal saat kuliah di universitas yang sama. Meski berbeda jurusan, tapi karena bertemu di banyak kegiatan kampus yang sama, membuat mereka menjadi dekat dan memiliki perasaan untuk satu sama lain.

Arui dan Fian mulai berpacaran sejak semester 3. Terhitung sudah 4 tahun mereka berkencan. Rasanya baru kali ini Arui bisa memiliki hubungan yang begitu awet. Dulu saat masih menginjak bangku sma, Arui tidak bisa tahan menjalin hubungan lebih dari 3 bulan dengan mantan-mantannya.

Arui jadi terpikirkan untuk membawa hubungan ini ke arah yang serius. Ia merasa bahwa Fian adalah orang yang tepat dan bisa bertahan dengan orang seperti Arui selama ini.

Keluhan, isak tangis, dan semua sesak di dada selalu Arui sampaikan ke Fian. Hanya Fian yang bersedia mendengarkan ocehan tidak penting Arui tentang keluarganya yang tidak lagi harmonis, dan sejauh yang Arui tahu, Fian selalu menjadi pendengar yang baik.

Tapi beberapa bulan terakhir ini, Arui bisa merasakan ada yang berubah dari Fian.

Arui tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk menikah secara gamblang ke Fian, karena setidaknya dia tahu kalau laki-laki tidak suka paksaan. Arui hanya meminta Fian membayangkan akan jadi apa nantinya kalau mereka berdua yang duduk di kursi pengantin, pasti akan sangat mendebarkan.

Tapi setelah dipikir-pikir, mungkin Arui terlalu sering mengatakannya. Setiap kali ada kesempatan untuk menghadiri pernikahan entah temannya atau teman Fian, Arui selalu membuat lelucon yang sama. Pasti Fian muak mendengarnya. Ia jadi tidak ada bedanya dengan perempuan lain yang memaksa pacar mereka untuk menikah.

Terlalu lama melamun, Arui memutuskan untuk mengambil ponsel dan mengetikkan pesan. Ia harus memperbaiki sikapnya yang menyebalkan dan tidak dewasa.

Arui : Fian, pulang kerja nanti ada waktu? Aku ingin bertemu denganmu.

Belum lama sejak Arui mengirimkan pesannya, ponselnya sudah berdering singkat. Fian langsung membalasnya.

Fan : Baiklah. Kebetulan ada yang ingin aku sampaikan padamu. Kita bertemu di cafe biasa, ya.

Arui bengong untuk sesaat. Kenapa tiba-tiba Fian ingin mengajaknya bicara juga? Apakah Fian sudah begitu muak dan ingin mengakhiri hubungan mereka?

Tidak bisa begini, Arui harus mencari cara untuk mengatasinya.

---

Waktu yang dinanti akhirnya tiba. Setelah berjam-jam terlewati di kantor ini, Arui bisa keluar setelah jam kerja usai. Ia berjalan terburu-buru ke cafe tempatnya dan Fian biasa bertemu selepas kerja.

Sejak pertama kali Fian memberitahunya bahwa dia lolos bekerja di bank swasta, Arui langsung mencari perusahaan yang tidak jauh dari sana. Itu semua dia lakukan agar jarak kantor mereka tidak berjauhan, sehingga mereka bisa pulang bersama meski tidak tiap hari.

Walaupun Arui sejujurnya tidak terlalu nyaman bekerja di tempat kerjanya sendiri karena tidak ada yang bisa diajak mengobrol, tapi itu bukan masalah besar selama ia dan Fian bisa selalu dekat satu sama lain.

Arui melangkah masuk ke cafe dan duduk di kursi kosong dekat jendela. Fian baru saja tiba setelahnya. Laki-laki itu duduk berhadapan dengan Arui.

"Sudah dari tadi?"

"Belum, baru saja." Arui menjawab pertanyaan Fian dengan senyuman lebar, meski Fian sendiri justru memberikan tatapan serius.

Arui bergerak gelisah dalam duduknya. Ia tidak ingin membuang waktu dan harus langsung meminta maaf atas perilakunya yang tidak menyenangkan. Fian pasti kesal dan merasa tidak nyaman selama ini. Pada akhirnya Arui membuka mulutnya untuk bicara.

"Fian-"

Tapi ucapannya terpotong begitu saja.

"Arui, aku tidak ingin mengulur waktu lagi."

Ucapan Fian menciptakan tanda tanya besar di dahi Arui.

"Ha?"

"Tentang perkataanmu beberapa hari terakhir, aku selalu memikirkannya. Aku paham karena hubungan kita yang sudah menginjak hampir lima tahun, jadi kita harusnya lebih serius sekarang."

Arui mengedip bingung. Mengapa jadi begini?

"Aku sudah bicarakan ini dengan ibuku, dan ibuku setuju. Aku akan menikahimu."

Arui menutup mulutnya dengan kedua tangan, sangat tidak percaya pada apa yang didengarnya. Arui tidak menyangka ia akan dilamar tanpa terduga seperti ini. Sudut bibirnya mulai membentuk senyum lebar.

"Kamu melamarku? Tiba-tiba begini?" Arui bertanya malu-malu.

Fian mengangguk tanpa ragu. "Aku akan melamarmu secara resmi nanti di depan keluargamu. Tapi untuk sekarang, aku harus mendapat jawabanmu lebih dulu, Arui."

Arui masih tersenyum malu. "Tentu saja aku bersedia."

Fian melanjutkan bicara tanpa begitu mendengarkan ucapan pacarnya. "Ibuku bilang kamu sebaiknya keluar kerja setelah kita menikah nanti. Dia tidak ingin ada orang lain yang mengasuh anak kita. Ibuku juga ingin kamu membantunya di ladang karena akan jauh lebih efisien bekerja dengan keluarga sendiri daripada mempekerjakan orang lain."

Senyum Arui langsung merosot. "Ap-apa kamu bilang?"

"Ah, sebenarnya ada baiknya jika kamu keluar kerja sekarang. Ibuku bilang perempuan yang sudah dilamar sangat rawan direbut laki-laki lain, jadi akan lebih aman kalau kamu berhenti bekerja dan bertemu terlalu banyak orang."

Arui semakin bingung. "Lalu bagaimana caranya aku mencari makan kalau aku tidak bekerja, Fian?"

Fian nampak begitu tenang, tidak terlihat ragu ataupun ada rasa bersalah saat mengatakan hal yang menyakitkan itu.

"Itu adalah urusanku nanti. Bukankah tugas laki-laki adalah mencari nafkah, sementara perempuan mengurus rumah?"

Kepala Arui terasa kosong begitu mendengarnya. Ia kira ia sudah sangat mengenal Fian selama 4 tahun ini. Tapi baru kali ini Arui melihat sisi Fian yang seperti ini.

Apakah karena baru kali ini mereka membicarakan pernikahan, sehingga Arui tidak pernah tahu bagaimana Fian memandang pernikahan itu sendiri?

"Bagaimana, Arui? Kamu setuju, kan?"

Arui merengut. "Entahlah, aku sampai tidak tahu mau menjawab apa."

Fian tersenyum tipis yang nampak begitu menyebalkan di mata Arui. "Tidak apa, kamu bisa memikirkannya perlahan."

Arui menggigiti bibir bawahnya, mencoba menyelami apa yang Fian pikirkan lewat sorot matanya. Tapi entah apa yang sebenarnya terjadi pada Fian hingga menunjukkan sisi barunya ini.

Sisi baru yang sangat berlawanan dengan keinginan Arui untuk memulai hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius lagi.

-TBC-