webnovel

TEROR DYGTA

"Kamu ini apa-apaan sih? Aku ini sudah punya istri, sahabat kamu sendiri! Nggak mungkin aku mengkhianati istriku!" Mihran pun beranjak pergi, meninggalkan Eliza begitu saja.

Eliza yang merasa bersalah, akhirnya mengejar Mihran. Eliza setengah berlari dan berteriak memanggil Mihran hingga akhirnya Mihran menghentikan langkahnya.

"Mihran, tunggu! Maaf, aku mencium kamu untuk membuktikan sesuatu," ujar Eliza yang kini berhadapan dengan Mihran.

"Apa yang mau kamu buktikan?" tanya Mihran tegas, dengan wajajmh sedikit kesal.

"Selama ini, aku pikir, aku mencintai kamu. Tetapi, setelah mencium kamu tadi, aku nggak merasakan getaran apapun. Itu tandanya aku nggak pernah mencintai kamu. Dan sekarang, aku bisa pergi dengan bebas dari rasa bersalah yang selama ini sudah menggelayuti hidupku. Aku juga akan memulai lembaran hidupku yang baru. Aku akan selalu mengingatmu sebagai sahabat. Nggak kurang, dan nggak lebih."

Eliza pun melangkah pergi. Meninggalkan Mihran yang masih terdiam atas semua penjelasan Eliza. Eliza pun mempercepat langkahnya. Ia segera masuk ke dalam kamar resort tempatnya menginap.

Amaliya di rumah

"Aku bahagia, sekarang kamu percaya sama aku sampai akhirnya kamu bisa sampai ke tengah ini. Karena itu yang akan kita butuhkan dalam hidup kita, yaitu saling percaya."

Amaliya menerawang, ia kembali mengingat semua kata-kata Mihran dulu saat melamarnya di jembatan gantung. Tempat yang paling menakutkan bagi seorang Amaliya yang phobia ketinggian.

"Aku percaya sama kamu, Mihran. Aku percaya sama suami aku. Aku percaya, kamu akan menjaga cinta kita. Apalagi aku punya Alia yang akan selalu menjadi pengikat cinta aku dan Mihran. Jadi tanda cinta kami," batin Amaliya.

Amaliya pun tersenyum memeluk erat Alia, putri tunggalnya bersama Mihran yang kini duduk dalam pangkuannya.

Resort Mihran dan Eliza

Eliza pun berlari sekencang mungkin. Ia bergegas masuk dan mengunci pintu kamarnya. Eliza pun terduduk di belakang pintu. Tak kuat lagi, ia pun menangis hebat. Hingga kedua bola matanya mengeluarkan bulir-bulir bening itu.

Mihran pun mencoba mengejar Eliza, tetapi ia terlambat. Kini Mihran berjalan lambat, memasuki resort menuju kamarnya.

"Semoga saja yang kamu katakan itu benar, Eliza," batin Mihran

"Bodoh sekali aku melakukan itu. Bagaimana mungkin aku bisa nekad mencium Mihran," lirih Eliza menangis.

Kini Mihran sudah berada di depan kamar Eliza yang sudah terkunci. Ia sempat berpikir mengetuk, tetapi Mihran menggagalkannya. Ia tahu, ini bukan hal mudah bagi Eliza.

Eliza pun terus menangis terisak di dalam kamarnya. Ada penyesalan, mengapa ia bisa nekad mencium Mihran.

"Lagi-lagi aku berbohong. Karena ciuman itu, aku semakin merasakan getaran-getaran cinta itu. Hatiku semakin hancur. Karena aku tahu, kamu tidak akan pernah bisa membalas perasaanku." Eliza terus saja menangis. Menangis, mengapa ia masih sangat mencintai Mihran.

Di depan kamar Eliza, Mihran berdiri, cukup lama. Ia terdiam, hatinya berbicara.

"Semoga apa yang terjadi tadi, tidak mengubah persahabatan kita.

Mihran akhirnya melangkahkan kakinya memasuki kamarnya yang berada tepat disamping kamar Eliza.

Debur ombak itu menjadi saksi, bagaimana hancurnya hati Eliza. Saat ini, ia sadar, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

****

Mihran say's

"Aku harus jujur pada Amaliya. Aku sudah berjanji kalau dalam pernikahan kami tidak akan ada kebohongan."

Mihran menarik nafas panjang

"Tetapi perempuan mana yang akan diam saja jika mengetahui suaminya telah berciuman dengan perempuan lain? Dan jika Amaliya berusaha memaafkan kesalahanku ini dan menerima kejujuranku ini pasti kepercayaan Amaliya akan luntur. Dan hubungan Eliza dan Amaliya akan berantakan. Sebaiknya kusimpan saja kejadian itu rapat-rapat. Agar Amaliya nggak kepikiran yang nggak-nggak. Lagipula tidak perlu menyangsikan cintaku padanya. Jadi buat apa kucari-cari masalah. Hm, sebaiknya aku salat tahajud, agar pikiranku jauh lebih tenang."

Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Malam itu, Mihran pun mengambil wudhu. Di dalam kamar resort yang menghadap laut, Mihran bersimpuh, memohon pertolongan Allah. Berdoa dan bertaubat atas kesalahannya telah mengkhianati cinta dan kepercayaan istrinya, Amaliya. Istri solehah yang sangat mempercayainya. Di rumahnya, Amaliya pun salat malam, memohon pertolongan Rabb-Nya.

Mihran prayer's :

Ya Allah, Hamba sudah memiliki harta yang paling berharga. Istri solehah. Maka berikanlah hamba kekuatan ya Allah untuk menjaga kepercayaan istri hamba.

Amaliya prayer's :

Ya Allah, hamba tahu, godaan berbuat dosa adalah caramu menguji manusia. Namun, hamba mohon ya Allah. Jangan berikan godaan di luar kemampuan suami hamba.

Mihran prayer's :

"Tetapi hamba hanyalah manusia biasa ya Allah. Manusia biasa yang tidak pernah lupur dari salah dan dosa."

Amaliya prayer's :

"Ya Allah, Ingatkanlah selalu suami hamba ketika dia ingin melangkah. Betapa besar cinta hamba kepadanya."

Mihran prayer's :

"Ampuni hamba ya Allah. Ampuni ya Allah .... "

Amaliya prayer's :

Ya Allah, ingatkanlah ia selalu tentang cinta kami."

Mihran prayer's :

"Jangan biarkan hambamu ini tergelincir dalam dosa. Hanya padamu, hamba berpasrah."

****

Oma Siska yang tidak suka dengan kehadiran Eliza dan ingin menjaga rumahtangga cucu kesayangannya itupun mulai merencanakan sesuatu. Ia pun meminta bantuan sang cicit, Alia. Sayang, gadis cilik itu menolak bekerjasama.

[Pokoknya kamu harus melaporkan sama Oma semua yang terjadi di rumahya]

Perintah Oma Siska saat menelepon Alia. Ia ingin mengajak cicitnya itu bekerjasama untuk mengawasi Eliza dan Mihran.

[Semua Oma?]

Gadis cilik itu mulai heran, apa yng sedang direncanakan oma buyutnya itu.

[Iya semua. Dan setiap informasi yang kamu kasih ke Oma, Oma akan kasih hadiah!]

Oma Siska terus membujuk Alia agar mau bekerjasama dengannya.

[Jadi Alia harus jadi mata-matanya Oma gitu?]

Alia terus bertanya, mencecar sang Oma yang terus bersemangat membujuk Alia agar mau bekerjasama.

[Ya mau dibilang jadi mata-mata juga boleh. Pokoknya kamu harus kasih semua informasi. Apalagi tentang Tante Eliza yang ada di rumah kamu, yah?!]

Akram yang sangat mencintai Eliza sejak lama pun, tidak sengaja mendengar percakapan nenek dan keponakannya itu saat tidak sengaja melintas di depan kamar Oma Siska.

"Jadi Eliza tinggal di rumah Kak Amaliya? Kalau aku tanya langsung ke Oma, pasti Oma nggak akan ngaku. Oma kan nggak pernah setuju aku ngejar Eliza?" batin Akram.

[Sorry, Oma, tetapi yang pertama Tante Eliza nggak ada di sini. Tante Eliza masih syuting dengan Ayah di luar kota. Yang kedua, Alia nggak bisa jadi mata-matanya Oma, karena itu sama aja Alia ngelaporin orangtua Alia sendiri. Bye, Oma! I love you]

Alia pun menutup ponselnya. Membuat Oma Siska kesal dan menggerutu sendiri.

"Kalau Mihran dan Eliza belum pulang syuting ke Anyer, kok lama banget ya?" gumam Oma Siska. Pikirannya menerawang kembali, mengingat cerita drakor yang ditontonnya.

Rumah Amaliya

"Alia, cepat siap-siap! Katanya mau ikut Bunda ke butik," teriak Amaliya yang sudah siap berangkat ke butik.

Bel berbunyi

"Siapa sih yang datang pagi begini, kayaknya nggak ngundang siapa-siapa," lirih Amaliya.

Amaliya pun bergegas menuju pintu

Saat Amaliya membuka pintu, ia pun kaget karena pagi itu ia kedatangan seseorang yang tidak diharapkannya.

"Kamu .... "

Amaliya terperanjat ....

Siapakah yang datang ke rumah Amaliya di saat Mihran tidak ada di rumah?

-------

Rumah Amaliya

"Alia, cepat siap-siap! Katanya mau ikut Bunda ke butik," teriak Amaliya yang sudah siap berangkat ke butik.

Bel berbunyi

"Siapa sih yang datang pagi begini, kayaknya nggak ngundang siapa-siapa," lirih Amaliya.

Amaliya pun bergegas menuju pintu

Saat Amaliya membuka pintu, ia pun kaget karena pagi itu ia kedatangan seseorang yang tidak diharapkannya.

"Kamu .... "

Amaliya terperanjat

"Ngapain kamu datang ke sini? Kamu tahu dari mana alamat saya, Eh!" cecar Amaliya saat melihat ternyata Dygta, mantan tunangan Eliza yang kasar.

Dygta yang datang mencari keberadaan Eliza pun yakin jika wanita yang telah meninggalkannya dihari pernikahan, ada di rumah Mihran, lelaki yang sangat dicintai Eliza.

"Eliza, Eliza! Kamu di mana, Sayang?" teriak Dygta, berkeliling rumah Amaliya, mencari keberadaan Eliza.

Teriakan Amaliya yang memintanya keluar pun tak digubrisnya. Dygta tidak perduli. Ia hanya ingin segera bertemu Eliza.

"Eh, kamu jangan masuk sembarangan ya, saya nggak suka!" hardik Amaliya sambil berusaha menarik tangan Dygta agar segera keluar dari rumahnya.

Dygta tidak bergeming. Dygta terus masuk ke dalam rumah, memasuki satu ruangan ke ruangan lainnya demi mencari keberadaan Eliza, wanita yang sangat dicintainya.

"Heh, saya nggak ngundang kamu ke sini ya, eh, kamu punya sopan santun nggak sih? Kalau kamu nggak keluar dari sini sekarang juga, saya laporin kamu ke polisi!" cecar Amaliya yang sudah muak dan tidak berhasil mengusir Dygta keluar dari rumahnya.

Dygta berbalik arah, menghampiri Amaliya yang berada di ruang tamu. Dengan wajah diliputi dendam dan amarah.

"Apa, kamu mau laporin saya ke polisi?! Oh, silakan, aku nggak takut!" bentak Dygta, ia berjalan terus mendekat perlahan ke arah Amaliya.

Amaliya memutar arah, mengambil gawai yang ada di dalam tasnya. Dygta terus mendekat, netranya terus tajam menatap Amaliya. Wajahnya memerah menahan amarah yang sudah dipuncak.

Saat gawai sudah ada digenggaman, Dygta berusaha merampasnya. Tarik menarik gawai antara Amaliya dan Dygta pun tidak terelakkan.

"Lepasin! Kamu tuh jadi cowok kasar banget sih?! Pantas saja nggak ada cewek yang betah hidup sama kamu!" cecar Amaliya, netranya tajam menatap ke arah lawan bicaranya itu. Ia menantang Dygta.

"Apa kamu bilang? Ngomong lagi!" bentak Dygta.

Kata-kata Amaliya, membuat Dygta meradang. Ia pun berhasil merampas gawai Amaliya dan melemparnya ke lantai dengan sangat keras hingga gawai itu hancur.

Amaliya menarik nafas panjang, Dygta terus mendekatinya. Ada kekhawatiran kini menyeruak dibenak Amaliya saat sorot tajam netra Dygta, menyiratkan kemarahan besar. Amaliya takut bernasib sama dengan wanita-wanita dikehidupan Dygta. Mendapatkan KDRT.

****

Lokasi Mihran

Mihran berjalan di bibir pantai. Seketika ia teringat belum menghubungi Amaliya sejak kemarin. Mihran pun mengambil ponsel dari saku celananya. Banyak panggilan tak terjawab dari nomor Amaliya.

"Astaga! Aku sampai lupa ngecek ponsel gara-gara kejadian kemarin." Mihran pun kini berbalik arah. Ia hendak menghubungi Amaliya.

Sambil melangkah, ia pun mengambil gawainya, memanggil nomor Amaliya.

"Aku harus telepon Amaliya sekarang."

"Liya, angkat dong!"

Mihran terus melangkah di bibir pantai, ditemani deburan ombak.

"Teleponnya Amaliya nggak diangkat. Apa jangan-jangan dia marah gara-gara dari kemarin aku nggak bisa dihubungi? Atau mungkin, sebagai istri dia bisa merasakan apa yang terjadi antara aku dan Eliza kemarin?" gumam Mihran. Mihran pun menjadi gelisah tak menentu.

****

Rumah Amaliya

Alia datang, melihat Bundanya yang kini terjepit dengan tekanan dan amarah Dygta. Dari balik pintu, Alia melihat bagaimana ketakutan Bundanya itu tersirat dari wajahnya. Dygta terus mendekat, Amaliya semakin tersudut.

"Kamu mau telepon polisi? Telepon!" pekik Dygta.

Amaliya melihat ada Alia di balik pintu. Netranya terus saja bermain. Melirik ke arah Alia, putri kecilnya yang belum juga genap 8 tahun. Alia pun mulai ketakutan.

"Telepon!" bentak Dygta dengan suara keras, membuat Alia semakin ketakutan.

Netra Amaliya menuju ke arah Alia.

"Astagfirullah. Dygta bisa melakukan apapun untuk mendapatkan keinginannya. Dia nggak akan berpikir dua kali untuk menyakiti aku."

Netra Amaliya terus bermain, menatap ke arah sang putri.

"Bunda, siapa orang itu?" gumam Alia.

Netra Amaliya menatap Alia, ia memberi isyarat pada sang putri agar bersembunyi. Alia yang ketakutan pun berlari untuk bersembunyi dari Dygta.

Dygta yang merasa ada orang yang melihatnya dan Amaliya, langsung berbalik arah, ia masuk ke dalam, terus mencari, tetapi ia tak berhasil menemukan apa yang dicurigainya.

Karena kesal, Dygta yang langsung menghampiri Amaliya, lansgung mendorong istri Mihran itu dengan sangat keras hingga tersungkur ke lantai.

Amaliya bersembunyi di dalam kamarnya. Ia mencoba menghubungi Oma Siska agar bisa membantunya dan sang Bunda yang dalam bahaya.

"Aduh, kok lama banget sih nyambungnya?" Alia bergetar, ketakutannya semakin hebat.

Amaliya pun berdiri. Tetapi Dygta terus mendekatinya. Dygta terus mendekat, menekannya.

"Duh, kok Oma nggak angkat telepon Alia sih? Oma, ayo dong angkat. Alia nggak lagi bercanda, kasian Bunda." Alia bergetar, memegang ponselnya. Ketakutannya semakin kuat.

Netra Amaliya dan Dygta terus saling menatap. Netra keduanya seolah sedang 'berperang'.

Lokasi Mihran

"Aku harus telepon Alia sekarang," ujar Mihran.

Rumah Oma Siska

"Biar aja Alia telepon terus. Janjinya kan mau kompak Alia sama Oma. Bilangnya satu frekuensi. Mana buktinya?!" gerutu Oma Siska berjalan ke sana ke sini di dalam kamar mewahnya itu sambil sesekali melirik ke arah ponselnya.

Lokasi Mihran

"Aduh, handphonenya sibuk lagi. Ini pasti lagi teleponan nih sama Oma," gerutu Mihran kesal.

Rumah Oma Siska

"Diajak kerjasama aja nolak!" gerutu Oma Siska.

Rumah Amaliya

"Ya ampun, kok Oma reject telepon Alia sih?! Alia lagi nggak bercanda, Oma," ujar Alia terisak.

Dygta terus menekan Amaliya di ruang tamu rumahnya.

"Jadi kamu tahu kan aku orangnya kayak gimana?!" Dygta terus menatap tajam Amaliya. Kebencian dan kemarahannya memuncak.

Lokasi Mihran

"Pak, Bapak ditunggu dilokasi, syuting terakhir mau dimulai, Pak," kata salah seorang kru menghampiri Mihran yang masih berjalan dibibir pantai.

"Oh, oke. Kamu duluan, nanti saya nyusul ya." Kru Mihran itu pun kembali ke lokasi.

Rumah Amaliya

Alia yang sudah dilanda kepanikan hebat, akhirnya mencoba menghubungi sang Ayah. Mihran pun bergegas mengangkat panggilan sang putri.

[Iya, Hallo, Sayang]

[Hallo, Yah]

"Yah kok mati sih," gerutu Alia. Alia pun menangis.

[Hallo]

"Yaah!" Mihran pun kesal saat mengetahui ponselnya itu mati karena lowbat.

Rumah Amaliya

Dygta terus mencecar Amaliya

"Eliza pergi sama suami kamu?"

Dygta dan Amaliya saling menatap tajam. Ada gemuruh amarah dihati keduanya.

"Jadi benar dugaanku?Hm, satu-satunya alasan Eliza membatalkan pernikahannya denganku itu karena Mihran,suami kamu. Dan kamu harus tahu, Eliza mencintai Mihran."

Netra keduanya semakin dekat, sorot itu semakin tajam.

bersambung ....