webnovel

TANDA TANYA

Lokasi pemotretan Eliza

"Aku harus melewati syuting terakhir ini. Aku harus bersikap professional agar Mihran tidak melihat kalau aku masih mencintainya. Aku harus terlihat biasa saja," batin Eliza.

"Udah nih, Mbak. Semangat ya syutingnya," ujar Wita, asisten Eliza.

"Eh, Mbak Wita itu make-up saya tolong dibawain ya jangan lupa," ujar Eliza berjalan sambil menengok ke arah asistennya. Tanpa sadar, ia bertabrakan dengan Mihran.

Sesaat mereka beradu pandang

"Aku harap kejadian kemarin tidak merubah persahabatan kita dan juga mood kamu bekerja hari ini," kata Mihran.

Eliza berusaha tersenyum, "Kamu tenang aja. Aku bisa bekerja professional kok."

Eliza berjalan terus meninggalkan Mihran yang masih menatapnya dari belakang. Eliza terus melangkah, meski ia tak bisa lagi menahan bulir bening itu jatuh.

****

Rumah Amaliya

"Bismillah. Semoga kali ini Oma uyut mau jawab telepon Alia. Tolong Alia, Alia takut," ujar Alia terisak.

Rumah Oma Siska

Oma Siska pun mulai merasakan kejanggalan mengapa Alia terus saja meneleponnya berkali-kali.

"Tetapi perasaanku kok nggak enak ya? Biasanya dia kalau ngambeg nggak telepon. Tetapi ini kenapa telepon terus, ada apa ya?" gumam Oma Siska. Telepon Alia akhirnya diangkat.

[Hallo]

[Alhamdulillah, Oma akhirnya angkat telepon Alia. Oma, tolong Bunda. Ada orang jahat masuk ke rumah, mau jahatin Bunda]

Rasa takut, khawatir akan keselamatan sang bunda, membuat Alia menangis. Ia berharap, ada yang segera datang menolong.

Dygta terus menatap tajam ke arah Amaliya. Sorot mata penuh dendam karena wanita yang dicintainya lebih memilih Mihran. Ia pun ingin membalas dendam dengan menyakiti anak dan istri Mihran.

Rumah Oma Siska

[Astagfirullah. Kamu sekarang di mana, Sayang?]

Oma Siska mulai panik memikirkan kondisi cucu dan cicit kesayangannya.

[Alia lagi sembunyi, Oma]

[Bagus. Kamu jangan keluar dari tempat persembunyian kamu sampai Oma datang ya. Oma akan bawa polisi]

[ Iya, Oma]

[Kamu jangan nangis, kuncinya kamu harus tenang. Kamu adalah cicit Oma yang hebat. Tenang ya, Sayang]

[Iya, Oma]

Alia pun mematikan teleponnya, sedangkan Oma Siska bergegas pergi ke rumah Amaliya.

"Ya Allah, tolong jaga cucu dan cicit saya ya Allah." Doa Oma Siska untuk keselamatan orang-orang yang paling disayanginya.

"Alia, di mana Alia sekarang? Jangan sampai dia muncul. Aku nggak mau dia disakiti," batin Amaliya. Ia mulai takut jika Dygta berbuat nekat.

Alia terus mengawasi sang bunda dari persembunyiannya.

"Mihra, Mihran! Mihran sudah menghancurkan pernikahanku. Sebagai gantinya, aku juga akan menghancurkan keluarganya." Dygta mulai mengancam, ia pun mengambil sebuah vas keramik di dekatnya.

"Satu per satu ...." ancam Dygta.

Dygta terus berjalan, Amaliya semakin mundur.

"Dia benar-benar mau menyakiti aku," batin Amaliya.

"Ya Allah, semoga Alia nggak muncul." Bulir bening itu semakin deras keluar.

Alia kini mengintip dari balik pintu.

"Bunda ... Alia nggak mau diam aja lihat Bunda disakiti orang itu."

"Kalau tunggu Oma takut nggak tertolong. Alia harus keluar, minta bantuan sama tetangga," gumam Alia.

Alia mulai berjalan perlahan, merangkak ke luar. Alia pun berhasil keluar dan ... Alia bertabrakan dengan seseorang ....

"Om Malik .... " teriak Alia yang kaget sekaligus bahagia.

"Kamu kenapa nangis?" tanya Malik heran.

"Tolongin, Bunda," kata Alia menangis.

"Bunda kenapa?" tanya Malik yang semakin panik. Tanpa menjawab, Alia hanya melirik ke arah rumah.

Malik pun bergegas masuk

Di dalam, Dygta yang semakin nekat, hendak melempar vas bunga itu ke kepala Amaliya. Amaliya pun berteriak histeris. Bersyukur, Malik datang tepat waktu. Ia memukul pundak Dygta dengan sebilah kayu. Dygta pun jatuh tersungkur.

"Kak, kakak nggak apa-apa?" tanya Malik yang memeluk sang kakak agar tenang. Amaliya hanya menangis, memeluk erat Alia.

"Alia, alhamdulillah, kamu nggak kenapa-napa, Nak," ujar Amaliya menenangkan Alia yang ketakutan.

"Pak, tolong selamatkan cucu dan cicit saya, Pak!" teriak Oma Siska dari arah luar.

Malik pun membawa Amaliya dan Alia ke luar. Ternyata, Oma Siska datang bersama polisi.

"Amaliya, Alia, kalian nggak apa-apa kan?" tanya Oma Siska memastikan keadaan cucu dan cicitnya.

"Itu Pak, ada di dalam," kata Malik memberitahu keberadaan Dygta pada kedua polisi itu. Kedua polisi itu pun masuk memeriksa rumah mencari keberadaan Dygta.

"Kok kamu di sini?" tanya Oma yang heran tentang keberadaan Malik di rumah Amaliya.

"Om Malik yang nyelamatin Alia sama Bunda," terang Alia membela Omnya itu. Malik pun tersenyum.

Oma pun mengajak kedua cucu dan cicitnya itu masuk menemui polisi. Sayang, polisi terlambat, Dygta sudah melarikan diri dari pintu belakang.

"Gimana, Pak?" tanya Oma

"Dia sudah kabur. Tetapi kami sudah mempunyai identitas pelaku. Kami akan melakukan pengejaran," terang seorang di antara polisi.

"Tolong ditangkap ya. Saya nggak mau dia datang lagi meneror keluarga saya," ujar Oma Siska yang khawatir dengan keselamatan Amaliya dan Alia.

"Baik, Bu, kami permisi."

Oma Siska pun merangkul Amaliya yang memeluk erat Alia agar keduanya tenang.

"Terimakasih ya Allah, Engkau telah menyelamatkanku. Apa maksud Dygta yang bilang Eliza mencintai Mihran?" batin Amaliya

-------

Pantai Anyer

Eliza says:

"Kenapa hidupku jadi terombang-ambing seperti ini? Ke mana sebenarnya takdir membawaku. Kenapa betapa sulitnya aku berpisah dengan Mihran? Ya Allah, apa sebenarnya rencana-Mu padaku?

Eliza termenung. Di sebuah batu besar, di atas bukit, ia merenungi nasib hidupnya yang terombang-ambing di antara cinta Mihran dan Amaliya. Ingin rasanya melepaskan, tetapi sulit baginya menghilangkan cintanya pada Mihran.

Rumah Amaliya

Alia yang masih trauma atas kejadian Dygta yang datang dan hendak mencelakai sang Bunda pun ingin selalu ditemani tidur.Alia takut jika lelaki psikopat itu kembali datang saat ia tertidur pulas sendirian.

"Alia takut kalau orang jahat itu datang lagi," ujar Alia, gadis cilik bermata bulat dan berpipi chubby.

Amaliya pun berusaha menenangkan sang putri, "Alia nggak usah takut. Kita punya Allah. Allah yang akan jaga kita."

"Sekarang kita salat bareng yuk. Kita berdoa meminta kekuatan dari Allah. Karena nggak ada kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan Allah," terang Amaliya agar putrinya itu tenang.

Amaliya pun mengajak anaknya itu salat berjamaah.

****

Pantai Anyer

Hari terakhir Eliza syuting iklannya, ia berusaha professional. Sejak kejadian kemarin, ia mulai merasa tidak nyaman saat bertemu Mihran.

"CUT!" teriak sang sutradara.

Tepuk riuh para kru, membuat sumringah Eliza dan Mihran. Mihran pun menghampiri Eliza.

"Makasih ya, tanpa bantuan kamu mungkin aku nggak bisa dapatin project ini," ungkap Mihran.

"Sama-sama, Mihran. Aku juga senang bisa membantu kamu. Aku yakin, tanpa aku kamu juga bisa maju dan sukses," ujar Eliza memberi semangat sahabatnya itu.

"Syifa sudah banyak membantuku.Dia sangat baik," batin Mihran menatap Eliza yang ada dihadapannya.

"El, aku nggak mau kehilangan kamu ... sebagai sahabat," ujar Mihran, membuat hati Eliza serasa tertusuk sembilu.Sangat sakit.

Meski perih, Eliza berusaha tersenyum, "Iya, kita akan tetap bersahabat kok."

"Oke, kalau gitu, gimana sisa hari ini, kita habiskan waktu bertiga seperti dulu. Karena Amaliya kan sedang jalan ke sini. Gimana?" ujar Mihran, membujuk Eliza agar hubungannya mencair.

"Bahkan saat jauh dari Amaliya pun, kamu masih memikirkan dia, Mihran. Demi masa lalu, aku akan kubur semua kenangan kita dalam pasir pantai, untuk selamanya .... " batin Eliza.

"Yuk!" ajak Mihran. Keduanya pun berjalan beriringan, seperti dulu, sebagai sahabat.

Di bawah langit senja, kedua sahabat itu berjalan di pinggir pantai. Terus berjalan, tertawa bersama saat mengingat masa lalu. Masa SMA di mana Eliza mulai merasakan benih-benih cinta itu tumbuh.

Kini Mihran dan Eliza sudah berada di lobby resort. Sebuah pertanyaan menggelitik, dilontarkan Mihran.

"El, kalau dulu kamu suka kenapa sih nggak ngomong aja dulu?" tanya Mihran penasaran.

"Yang pertama, aku ini kan perempuan, Mihran, gimana pun aku malu. Dan yang kedua ... kalau pun aku jujur, apa kamu akan terima?" tanya balik Eliza.

Netra kedua sahabat itu beradu pandang. Mihran diam, tidak tahu harus menjawab apa. Dari kejauhan, Amaliya yang sudah datang, memperhatikan keduanya.

"Kalian di sini?" teriak Amaliya dari jauh. Seketika Mihran dan Eliza menoleh ke arah Amaliya.

"Sayang ...." ucap Amaliya yang langsung bergelayut manja pada Mihran.

"Sayang, nih aku tadi lagi ngobrolin masa lalu. Kamu kok nggak bilang sih udah sampai di sini?

"Kalau gitu, nggak surprise dong namanya.Kenapa sih, kamu nggak suka ya aku datang ke sini?" kata Amaliya yang masih bergelayut manja. Membuat Eliza dihinggapi cemburu.

"Oh, suka dong. Aku kan kangen banget sama kamu." Mihran pun memeluk erat istrinya itu, sambil sesekali melirik Eliza.

"El, aku mau bicara sama kamu, berdua!" tutur Amaliya. Ia pun menarik tangan sahabatnya itu menjauh dari Mihran dan duduk di salah satu sudut meja cafe yang terletak di dalam area resort.

"Kamu, tunggu di sini. Karena ini hanya obrolan perempuan," ledek Amaliya.

"Gawat! Amaliya mau ngomongin apa?" batin Mihran, ia panik takut kejadiannya kemarin bersama eliza akan terbongkar.

"Aduh, Amaliya kenapa ngajak aku ngomong berdua? Apa ada sesuatu yang dia dengar antara aku dan Mihran?" batin Eliza. Wajah paniknya tidak bisa ia tutupi.

"Li, sebenarnya kamu mau ngomongin apa sih?"

"Dygta ke rumah aku."

"Ngapain Dygta ke rumah kamu?"

"Dia nyariin kamu!"

"Tapi dia nggak nyakitin kamu kan?"

Amaliya menggeleng, "Tapi nyaris aja. Dia bilang tuh dia mau balas dendam sama Mihran. Karena menurut dia, gara-gara Mihran, pernikahan kalian batal."

Wajah Eliza semakin terlihat panik, "Dia ngomong kayak gitu?"

Sebuah pertanyaan yang dilontarkan Amaliya, membuat wajah Eliza memerah.

"El, apa kamu mencintai Mihran?"

Eliza mengalihkan pandangannya dari Amaliya. Ia tak berani menatap mata Amaliya, sahabat yang telah dikhianatinya.

"Apa sih yang mau diomongin Amaliya ke Eliza?" batin Mihran.

Mihran jadi mengingat kejadian saat Eliza menciumnya di pantai. Rasa bersalah karena telah mengkhianati Amaliya, begitu menghimpitnya. Mihran sangat mencintai Amaliya, ia tidak kehilangan segalanya.

"Aku harus cerita yang sebenarnya ke Amaliya sekarang juga. Aku nggak nau, dia tahu dari orang lain dan semua jadi berantakan," batin Mihran.

"Ngaco! Ya nggaklah. Nggak mungkin." Mata Eliza tak berani menatap Amaliya.

"Liya, kamu lebih percaya aku kan daripada Dygta?" tanya balik Eliza.

"Ya sama kamulah," jawab Amaliya tertawa.

Sungguh, kepolosan Amaliya yang akhirnya menghancurkan segalanya.

"Lagian nggak mungkin kamu punya perasaan sama Mihran. Iya kan?" tutur Amaliya tersenyum.

Eliza berusaha tersenyum di depan Amaliya.

"Iya nggak mungkinlah. Dia kan suami kamu," jawab Eliza.

"Maafin aku, Amaliya. Aku terpaksa berbohong. Aku nggak mau kamu membenciku. Apalagi kalau kamu tahu, bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Mihran hanya akan selalu mencintaimu."

Mihran berjalan mendekati Amaliya dan Eliza yang masih asyik berbicara.

"Ehm!"

Mihran tersenyum saat Amaliya melihatnya.

"Sayang, kok kamu ke sini? Kan aku udah bilang, ini pembicaraan perempuan. Malah ke sini lagi," ujar Amaliya, mencubit pinggang suaminya gemas.

Eliza menatap sinis Mihran.

"Yuk! Kita ke sana dulu ya." Amaliya menggandeng mesra Mihran, setelah berpamitan dengan Eliza.

Mihran tersenyum ke arah Eliza.

Eliza tak bicara, air matanya pun jatuh perlahan.

Amaliya dan Mihran pun menjauh dari tempat Eliza yang masih saja tidak beranjak dari tempatnya duduk saat ia berbicara dengan Amaliya.

"Tadi kamu mau ngomong apa ya?" tanya Amaliya yang bergelayut mesra pada Mihran.

"Tadi aku .... "

bersambung....