webnovel

BAGIAN YANG LAIN.

Aku percaya dengan hal-hal ghaib. Aku percaya bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika di dunia ini. Manusia memiliki akal dan kecerdasan sehingga bisa menilai banyak hal. Tapi manusia juga memiliki keterbatasan dengan akalnya. Aku percaya bahwa ada hal-hal yang bersifat misteri dan jauh lebih baik jika tetap menjadi misteri. Ada sesuatu yang cukup sebatas dipercayai tanpa harus melihatnya. Aku perlahan mempercayai semua itu tidak hanya hidup dalam cerita-cerita fiksi. Perlahan, setelah bertemu lagi dengan seorang teman lama. Teman yang tidak pernah lagi kudengar kabarnya sejak kecelakan yang menewaskan seluruh penumpang. Kecuali, dia. Salwa. Awalnya aku sama seperti keluarganya yang menganggap Salwa mengalami gangguan yang istilahnya sering disebut skizofrenia. Sebuah penyakit gangguan yang membuat penderitanya berhalusinasi, melihat, dan mendengar hal-hal yang seharusnya tidak ada. Karena berulang kali nyaris memutus tali kehidupannya, terlibat dalam hal-hal berbahaya, aku dan keluarganya sepakat untuk mengirimnya ke pusat rehabilitasi gangguan kejiwaan. Setuju atau tidak.

NurNur · Terror
Classificações insuficientes
17 Chs

Bonus (Sisi Yang Berbeda)

⚠ Mempertunjukkan beberapa adegan kekerasan!!! ⚠

*****

Tahu kenapa janin baru ditiupkan roh ketika berusia 40 hari?

Seseorang yang kukenal pernah berkata kalau Kehidupan itu ada 4; kehidupan sebelum di dalam rahim, kehidupan di dalam rahim, kehidupan sebelum kematian, dan kehidupan setelah kematian.

40 hari adalah batas waktu yang diberikan kepada makhluk sebelum di dalam rahim untuk mengenal dunia, mengenal manusia, mengenal penderitaan, dan mengenal kehidupan.

Lagi, aku teringat pada sosok yang bahkan wajahnya sudah menghilang dari ingatanku, suaranya semakin pudar dan sulit kukenali.

Hatiku merasa sakit setiap kali aku tidak bisa memikirkannya, tidak bisa mengingat suaranya.

Padahal aku sudah berjanji…

*****

Ilyas sedang menghabiskan sisa sorenya dengan bersantai di sebuah kafe lantai dua. Seseorang menemaninya, tapi sejak 30 menit yang lalu, belum ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan.

Ilyas sendiri sibuk memainkan ponselnya. Hanya sesekali curi-curi pandang ke arah teman satu mejanya. Luna.

"Aku yakin kamu ke sini bukan untuk menemaniku minum kopi dalam diam." Ilyas berbicara namun tatapannya tetap tertuju pada ponselnya. Suaranya terdengar nyaris seperti orang bergumam.

"Ini hari terakhirku," jawab Luna singkat.

"Oh." Ilyas mengangkat cangkirnya dan menyesap kopinya dengan satu tegukan kecil "Sudah selesai, ya," tambahnya sembari menghitung dalam pikirannya.

Luna adalah wanita yang terlihat tenang. Rambunya hitam pendek dengan bagian belakang lancip. Tanpa poni beradu di wajahnya yang oval, membangkitkan kesan dewasa yang kuat.

"Tunggu!" Ada yang salah. Ilyas menatap Luna menyelidik, tapi begitu sadar, segera dialihkan lagi tatapannya pada ponselnya. "Bukannya aku datang lebih dulu? Jadi harusnya ini bukan hari terakhirmu."

Luna menggeleng. "Aku sudah memutuskan."

Menyadari ada yang mendekat ke mejanya, Ilyas mengangkat pandangannya. Tiga remaja dengan ransel yang menempel di punggung mereka.

Murid Ilyas.

Ilyas adalah seorang guru di salah satu sekolah negeri. Ilyas tahu, ketiga remaja yang ada di depannya adalah murid di kelasnya. Ia bahkan tahu lebih detail kehidupan salah satunya.

"Pak Ilyas." Satu persatu ketiga anak muridnya menegur. "Bapak sendirian?" Salah seorang menambahkan.

Ilyas mengangguk tanpa ragu. "Kalian mau nongkrong?" Ilyas balik bertanya.

Yang paling depan mengangguk. "Sekalian kerja kelompok," jawabnya dengan tersenyum malu-malu. "Kita cari tempat dulu, ya Pak," tambahnya pamit, menuju meja kosong paling pojok, paling belakang.

"Yang paling depan pasienmu, 'kan?" Luna berkata setelah ketiganya pergi.

Ilyas mengangguk sembari tersenyum bias. "Eh, jangan mengalihkan pembahasan yang belum selesai, ya. Bagaimana denganmu?"

Luna hanya mengangkat bahunya.

Sesuatu akan segera terjadi. Ilyas dan Luna saling bertukar pandangan.

Kini Ilyas menatap ke arah Luna terang-terangan. Tidak lagi khawatir pandangan orang. Tidak takut dikatai memandang dan berbicara dengan angin. Sekarang, selain mereka berdua, tidak seorang pun yang bisa bergerak.

Ilyas dan Luna 'diculik.'

Waktu terhenti. Setelah segala yang mampu tertangkap mata melebur seperti ditiup angin, mereka ditarik untuk beralih dimensi. Seperti melayang di antara atmosfer berwarna biru. Lambat laun warna biru disekeliling mereka menjadi lebih muda, sampai pada warna putih, memudar, dan terus.

Prubahan gradasi warna terjadi begitu natural sehingga tahu-tahu setiap hal di sekeliling mereka telah menjadi seperti semula, tanpa warna. Dunia normal.

"Ayah jangan!!!" Seorang anak berumur 10 tahun berteriak. Ia memegangi kaki ayahnya agar berhenti memukuli ibunya.

Tempat yang sebelumnya berupa kafe lantai dua kini berubah menjadi sebuah rumah tembok sederhana. Ilyas dan Luna kembali berpijak pada bumi, meski bukan pada tempat mereka seharusnya berada.

"Aku bukan ayahmu. Berhenti memanggilku dengan sebutan menjijikan itu!"

"Jangan Ayah, jangan pukul Ibu." Si anak tetap tidak melepaskan kaki ayahnya.

Untuk melindungi ibu yang sangat ia sayangi, si anak terus bergelayut di kaki ayahnya. Dengan kasar ayah menjambak rambutnya agar menjauh.

Mendapat kesempatan, sang ibu memanfaatkan situasi untuk kabur. Dengan kaki terpincang-pincang ia membuka pintu dan meninggalkan rumah.

Seseorang yang dipanggil dengan sebutan ayah itu adalah pria berumur 35 tahun. Ia yang baru saja menangkap basah istrinya berselingkuh menjadi sangat murka.

"Kubilang jangan memanggilku dengan sebutan ayah!!!" Pria itu semakin kesal, dan menendang anaknya.

Melihat istrinya yang berhasil kabur. Amarah benar-benar telah menguasainya, kalap. Tidak tahu kemana lagi harus melampiaskan, ia menatap penuh kebencian pada satu-satunya makhluk kecil berurai air mata yang ada di depannya. Ia meraih apapun yang berada di atas meja dan…

Tiba-tiba udara sekelilingnya kembali berwarna biru, membeku. Ayah dan anak itu mematung bersamaan. Garpu yang jaraknya hanya setengan senti sebelum memakan tumbal, tertahan.

Diam. Hening. Bahkan udara tidak lagi ada yang bergerak. Warna biru memenuhi sekeliling yang biasanya akrab tanpa warna.

"Apa yang harus aku lakukan?" Seseorang mendekat ke arah Ilyas dan Luna. Dio.

Ilyas terkejut, begitupun dengan Luna. Ini masalah besar.

"Dio, ini melanggar peraturan!" Ilyas berkata.

Ilyas paham hal-hal yang disebut peraturan tidak perlu diberi tahu lagi. Setiap dari mereka telah mengingatnya, bahkan tanpa tahu kapan mereka mulai menghafal teksnya.

"Aku tidak tahu ini apa dan aku juga tidak tahu rasanya. Tapi… benturannya sangat keras. Dia seperti sedang berusaha mendobrak agar bisa keluar. Apa kalian tidak pernah merasakannya?" Dio menatap Ilyas dan Luna bergantian, meletakkan tangannya tepat di depan dadanya. Dimana sebuah organ yang bernama jantung tertanam di sana.

Perasaan itu harusnya tidak ada, dan memang tidak boleh ada. Tapi terus menerus melihat bagaimana bocah itu menderita, diperlakukan dengan buruk, Dio tidak bisa memalingkan wajahnya. Seperti ada dum-dum dalam dadanya yang kosong. Seperti ada sesuatu yang sedang memberontak.

Bagimana bisa orang dewasa yang seharusnya melindungi, mengayomi, dan memberi rasa aman justru membuat kehidupan makhluk mungil itu serasa dalam neraka.

Bocah itu tidak berdosa, hanya tidak mampu menolak takdir kejam yang memilihnya.

"Aku muak dengan hal-hal seperti ini," Luna berkata tak acuh.

Sebenarnya Dio tidak perlu 'menculik' mereka untuk memperlihatkan apa yang ia lihat. Setiap dari mereka pun tidak pernah kekurangan tontonan hal-hal paling jahat dan mengerikan. Mereka sama.

"Dua hari lagi." Ilyas mengingatkan Dio bahwa waktu berkelananya hampir berakhir. "Jika kamu melakukannya, kamu tidak akan bisa menjadi roh dan terlahir sebagai manusia."

Dio terdiam. Mungkin mempertimbangkan. Di saat itulah Ilyas segera mengembalikan keadaan seperti semula. Dio setuju atau tidak, keadaan telah berubah.

Sepersekian detik sebelum Dio menyadari perubahan, garpu yang diayunkan telah berhasil mendapatkan tumbalnya.

Pekik kesakitan yang begitu memekakan telinga tiba-tiba membuat pilu. Terenyuh. Senandung menyayat memenuhi malam yang kelam. Cahaya mentari yang menjadi penerang, tenggelam dalam pelabuhannya.

Ilyas dan Luna menghilang. Ditarik kembali ke tempatnya.

"Aku ingin segera mengahkhiri ini." Luna berkata ketika mereka telah kembali ke kafe lantai dua.

Ilyas tidak membalas. Pandangannya masih tertinggal di rumah tembok sederhana itu. Pendengarannya masih tertinggal pada raung kesakitan bocah malang itu.

Tidak ada yang berubah selama mereka berpindah dimensi. Bahkan tidak mungkin ada yang menyadari kalau mereka sempat pergi selama beberapa saat. Suara-suara yang terputus tersambung lagi. Semua kembali seperti tidak ada yang pernah pergi.

Suasana kafe masih terasa sama. Cerita-cerita penuh suka cita terdengar timbul dan tenggelam, suara tawa, wajah-wajah bahagia. Dunia manusia benar-benar sebuah tempat dimana banyak hal terjadi saling tumpang tindih.

Ilyas pulang dengan berjalan kaki. Menikmati kesendirian sekaligus menggenapkan sisa harinya. Ia masih tidak mengerti.

Mereka adalah sisi yang berbeda. Tidak sama seperti makhluk hidup lain. Mereka ada tapi seperti tidak ada. Mereka memiliki aura yang tidak dominan sehingga mudah diabaikan, dan tidak mencolok.

Setelah perjalanan 40 hari berakhir, ingatan manusia tentang mereka akan memudar dan hilang sama sekali. Mereka adalah bagian yang lain dari kehidupan sehingga harus dilupakan.

Ilyas masih melangkah ketika ia merasa sesuatu akan terjadi. Ilyas mendapati tubuhnya berubah menjadi transparan.

Terus berjalan hingga lima langkah ke depan, Ilyas mendapati seseorang tengah berjalan mengendap-endap. Tubuhnya tinggi tegap. Tangannya mengepal, giginya bergemeletuk menahan amarah.

Pria itu menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya.

Sekitar 10 langkah di depan pria yang sedang mengendap-endap, terlihat tiga pemuda sedang bercengkrama dengan riang. Mereka baru pulang dari berlatih futsal.

Ketika berpisah jalan dan hanya menyisakan seseorang di jalur kiri, pria bertubuh tinggi mempercepat langkahnya.

Lima langkah mendekati targetnya, pria itu merendahkan bagian depan topinya. Empat langkah mendekati targetnya, ia celingukan ke sana kemari. Dua langkah mendekati targetnya, sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya mulai terlihat. Ujungnya mengkilap dan tajam. Ia mempererat pegangannya.

Ketika telah berada di depan targetnya, ia berbalik dan… jleb. Sekali, dua kali, tiga kali. Darah melumuri tangannya, menciprati pakaiannya.

Begitu tujuannya tercapai, ia meninggalkan korbannya yang mulai menggelepar. Darah terus tumpah, mengalir semakin banyak.

Pria itu melepas jaketnya, menggunakannya untuk menyembunyikan pisau yang penuh darah. Tatapannya bertemu dengan Ilyas, namun hanya jalan yang sepi yang tertangkap penglihatannya.

Menjelang magrib memang tidak banyak orang yang berkeliaran di jalan. Ketika akhirnya korban ditemukan, nyawanya telah melayang pergi.

Dua orang, tiga orang, ketika kerumuman semakin banyak, tubuh Ilyas kembali tampak. Ia ikut membaur bersama kerumunan yang menumpuk di pinggir jalan.

Tidak akan ada yang menyadari kapan Ilyas datang karena semua orang begitu serius dengan kepanikan dan keingin tahuan mereka. Bertambah satu atau dua orang lagi pun tetap tidak akan ada yang sadar.

Ilyas memasukkan tangannya ke dalam saku. Tatapan matanya lurus menatap korban. Darah yang tumpah begitu banyak. Luka yang diderita begitu serius. Ilyas satu-satunya saksi yang tidak bisa bersaksi.

Sekali lagi mereka berada di sisi yang berbeda. Terlibat dan ikut campur terlalu jauh adalah pantangan mutlak yang tidak bisa dilanggar.

Mereka bisa tiba-tiba tak kasat mata. Bisa hancur jika tetap memaksa terlibat. Janin tempat roh mereka juga akan ikut hancur. Tidak bisa terlahir, hanya menghilang selamanya.

*****

"Apa dibanding manusia kita lebih mengerikan?" Ilyas bertanya pada Yusuf setelah menyaksikan lagi pemberitaan mengenai apa yang ia saksikan.

Sebuah televisi berukuran 24 inch tergantung di dinding pojok bagian atas kafe lantai dua tempat biasa mereka menghabiskan hari libur di sore hari.

Berita mengenai kekerasan rumah tangga yang dilakukan, dimuat di setiap media. Mengenai kekerasan. Seorang suami yang gelap mata. Tidak hanya melakukan kekerasan terhadap istri, tapi juga melakukan kejahatan terhadap anak tirinya.

"Tidak." Yusuf menjawab singkat. "Karena kita memang tidak memiliki hak terhadap kehidupan ini."

Ilyas terdiam. Yusuf benar, tapi tetap saja ia tidak merasa lega.

Dum-dum seperti yang Dio katakan sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya kosong. Tidak benar-benar kosong. Jika sungguh kosong, Ilyas harusnya tidak akan mempertanyakan apapun.

Hanya menonton harusnya tidak sulit.

Harusnya.

Merasakan sebuah firasat, Ilyas dan Yusuf saling bertukar pandangan, kemudian mengangguk. Dengan satu petikan jari, Ilyas membuat dirinya dan Yusuf 'diculik'.

Pergeseran gradasi warna terjadi dengan cepat dan sebuah tempat baru terbentuk. Sebuah ruangan dalam rumah sakit.

Masih cerita yang sama mengenai bocah berumur 10 tahun. Masih pasien Dio.

Seorang wanita yang memegangi kakinya yang terluka mengangkat sebuah pisau dan hendak menikam. Sang ibu. Sebelum niatnya terlaksana, gerakannya mendadak terhenti. Mematung. Ada air yang menetes dan melayang di udara. Ekspresinya penuh kesedihan, perasaan putus asa.

"Berhenti!" Yusuf berkata tegas pada Dio.

Dio melakukannya lagi. Ikut campur dalam kehidupan manusia lagi. Menghentikan waktu lagi.

Padahal tindakan sebelumnya sudah terhitung pelanggaran. Sebagai hukuman, kehidupannya dalam rahim tidak akan berjalan mudah.

Kehadiran bocah itu tampaknya sudah mempengaruhi Dio begitu jauh. Melakukan kesalahan yang sama dua kali sama artinya dengan membangkang. Hukuman yang lebih berat telah menantinya.

"Setelah membunuh anaknya wanita itu juga akan bunuh diri." Dio menjelaskan tanpa ditanya. "Aku melihatnya akan tumbuh menjadi manusia yang mengerikan karena berada di antara orang dewasa yang egois dan tidak bertanggung jawab. Luka di wajahnya akan membuat orang melihatnya sebelah mata. Luka di hatinya akan menjadikannya sensitif. Mengetahui ibu yang ia lindungi ingin membunuhnya akan membuatnya benar-benar terpuruk."

Yusuf tahu. Ilyas tahu. Tanpa Dio jelaskan mereka juga tahu. Mereka bisa melihatnya. Mereka juga bisa merasakannya.

"Mungkin benar aku harus membiarkannya saja. Membiarkan ibunya mengakhiri penderitaannya saat ini, penderitaannya di masa depan. Dengan begitu tidak akan ada luka lagi. Tidak akan tumbuh penuh kebencian. Takdirnya yang menyedihkan akan selesai." Dio menyelesaikan kata-katanya.

"Masa depan… bukan kita yang menciptakan." Rahang Yusuf mengeras, "Tidak bisakah kamu berpaling sehari lagi? Setelah ini kamu akan melupakan semuanya dan memulai kehidupan barumu. Kamu rela menukar kehidupanmu sendiri?"

Hening. Dio bergeming. Ilyas belum mengatakan sepatah katapun sejak tadi.

Ketika Ilyas akan mengambil alih mengembalikan keadaan kembali normal seperti sebelumnya, Dio menjentikkan jarinya. Ilyas dan Yusuf terkesiap.

"Selama seseorang masih hidup, akan masih ada harapan. Anak itu masih bisa bertemu dengan orang yang bisa menyembuhkan lukanya. Masih ada kesempatan untuk bahagia." Dio tersenyum.

Bagai kelopak bunga yang bertebaran karena tertiup angin, tubuh Dio mulai terpecah. Seringan kapas. Berhambur, berpencar ke arah-arah yang berbeda. Terbang ke suatu tempat yang tak terjamah dan menghilang.

Keadaan kembali normal. Ibu yang hendak menikamkan pisau pada anak laki-lakinya tiba-tiba saja terpental. Orang-orang yang berada ruang sebelah, yang hanya dibatasi oleh gorden terkejut. Menjadi ribut.

"Lalu bagaimana denganmu?" Yusuf berkata dengan suara yang hanya ia sendiri yang bisa mendengarnya.

*****

Bakal manusia adalah sebutan untuk makhluk yang menghuni kehidupan sebelum rahim. Mereka membaur bersama manusia. Ada yang terlihat dan ada yang tak kasat mata. Mereka tanpa aroma.

Seolah terhubung oleh benang merah tak terlihat, mereka dapat mengetahui identitas satu sama lain bahkan tanpa membaui lebih dulu.

Saat salah satu dari mereka melakukan pelanggaran atau menghilang, mereka bisa saling merasakan. Mereka sama.

Kegelapan telah menghilang. Perlahan fajar merangkak naik, membangunkan mentari, membangunkan sunyi, memanggil hari baru.

Seorang anak yang mengenakan seragam pasien dengan perban yang melilit, menutupi sebelah matanya menjatuhkan batu yang berlumur darah. Seekor anjing Labrador hitam yang dirantai terkapar di depannya. Suara kik kik pendek menjadi sisa nafas terakhirnya.

"Apa… kamu juga merasakan rasa sakitku?" Bocah itu bertanya datar. Ada bekas gigitan di tangannya.

Ingatannya kembali pada hari itu. Hari ketika tiba-tiba terbangun karena mendengar suara yang begitu berisik. Ibunya, dengan kaki yang terpincang-pincang berlari menjauhi ruangannya. Ada sesuatu yang tertinggal di lantai. Sesuatu yang masih terpikirkan sampai saat ini.

Pisau.

Kenapa pisau? Kenapa benda itu ada di sana? Kenapa ada di lantai dekat ranjangnya? Kenapa ibu berlari meninggalkannya?

Cukup lama bocah itu berdiam di tempatnya. Perasaanya bercampur aduk, sesak.

"1-2 tahun keberadaan kita akan mulai memudar kemudian terlupakan sepenuhnya. Keberadaan kita terhapus. Itu adalah harga untuk sebuah pengorbanan. Apa itu sebanding?" Yusuf berkata setelah mengintip perasaan seorang bocah yang berdiri seorang diri di halaman belakang rumah sakit.

"Apa Yusuf masih tidak mengerti?" Ilyas juga ada di sana. Mereka berdiri bersisian.

"Apa?"

"Dio berkorban bukan untuk dikenang. Dia hanya tidak bisa mengabaikannya." Tatapan Ilyas ikut tertuju pada bocah yang sekarang telah menangis terisak-isak.

Satu tahun mereka akan mulai dilupakan. Ingatan setiap orang yang mengenal mereka akan memudar. Dua tahun mereka telah terlupakan. Kemudian hilang sepenuhnya. Tanpa jejak. Seolah tidak pernah ada.

Mereka adalah sisi yang berbeda. Mereka ada, tapi tidak ada.

-SELESAI-