webnovel

Mira

Mira mengenal Ryo semenjak mereka berada di sekolah menengah akhir. Ryo orang yang tertutup, tapi dapat meledak sewaktu ia terusik. Ledakannya lebih seperti rentetan kata yang ia gunakan sebagai pelindung atas lemah fisiknya.

Ryo aktif dalam berbagai kegiatan seni. Ia akan merancang apapun, menulis apapun, dan melakukan apapun kecuali jika ia harus tampil di muka umum. Dia lebih memilih jadi orang yang berdiri di belakang layar, dari pada harus memamerkan apa yang sebenarnya bisa ia tunjukkan di depan umum.

Waktu berlalu sangat cepat, sekitar sepuluh tahun yang terasa bagai hitungan jam. Mereka kembali dipertemukan saat insiden kopi jatuh. Mirip adegan romantis dengan lagu manis yang bersenandung sebagai musik latarnya, bedanya, mereka hanya berkata eh, dan kamu, lalu bla-bla-bla. Jauh dari kata romantis.

Selanjutnya mereka bertukar nomor, dan akun media sosial. Dan dari situ ingatan masa lalu mereka kembali dikenang. Mira mengingat lagi bagaimana dulu mereka terbiasa bekerja sama sebagai sebuah tim. Ryo membenarkan dan menambahi bahwa dulu ia kagum pada Mira yang luar biasa berenergi.

Entah bagaimana, Mira tahu jika Ryo masih suka menulis, dan bahkan mengirim beberapa karya di surat kabar tempat Mira bekerja. Dan benar saja, Mira yang didaulat memegang rubrik cerita menemukan nama Ryo tersangkut diantara ratusan email yang masuk.

Mira merasa dia jadi orang yang kurang beruntung di hari-hari yang ia lewati tanpa membaca cerita dari Ryo. Apa yang Ryo tulis luar biasa keluar dari zona aman. Sangat berkarakter namun layak dibaca.

"Aku suka ceritamu." pesannya terkirim ke nomer Ryo di suatu senja. "Coba tambahkan hingga genap 60.000 karakter, bisa?"

Ryo membalas "Bisa" dengan yakin. Sebenarnya ia sendiri tidak begitu yakin, namun jika bukan nekat, apa lagi yang bisa ia miliki sekarang.

Dua minggu setelah draft ceritanya terkirim, Mira mengabarkan berita bagus untuknya. Ryo berhasil membawa namanya di rubrik yang Mira kelola. Sebuah keberuntungan karena saat itu penulis langganan Mira tengah menjalani hiatus.

Bagi Mira, tulisan Ryo sungguh mengejutkannya. Tulisannya begitu sinting, beringas, dan kasar. Tak akan ada yang menyangka jika tulisan brutal berdarah-darah itu ditulis oleh mahluk tak percaya diri bernama Ryo.

Namun, makin hari Mira merasa Ryo semakin janggal. Tulisannya terlalu gelap, dan ia kadang merasa takut berada dekat dengannya. Namun Ryo meyakinkan jika isi otaknya masih terlalu waras untuk membunuh secara langsung. Untuk sementara, Mira mempercayainya.

Mira mengenal satu penulis sejenis Ryo. Kalian bisa menebak jika penulis itu adalah Anita. Dia bahkan lebih gila bila membahas hal-hal tak masuk akal yang ada di buku kumpulan hoax dunia. Dia teracuni dan kadang melantur tentang banyak hal tak masuk akal. Dan ajaibnya, ia seperti tutup botol bila berada di samping Ryo.

Ia mengenalkan Anita pada Ryo dengan harapan bahwa mereka bisa menelurkan satu masterpiece yang layak untuk dicetak. Tapi di luar rencana, Anita memilih untuk bersembunyi di belakang Ryo, dan membuat nama Ryo bersinar dengan hanya menuruti apa yang Anita nasehatkan padanya. Dan Anita benar, respon pembaca membludak saat cerita penulis psikopat yang mereka tulis terbit. Mira memberikan tepuk tangan untuk mereka berdua.

"Hey, dimana?" Mira menelepon Ryo. Ada suara alunan gitar dari seberang, dan yang terlintas di kepala Mira adalah sebuah warung tenda yang setiap lima menit berganti pengamen. "Oh, kau bersama Anita? Apa? Sedang menunggunya? Oke, kita bicara lain kali."

Di tengah perjalanan pulang, terlihat Mira berusaha membuka tasnya dengan kesusahan karena kedua tangannya yang penuh. Ia lantas menjatuhkan apapun yang ia pegang dan merutuk itu semua. Cepat-cepat ia menyatukan barangnya, dan membawa kembali barang-barang itu. Ia tak sadar seseorang mengintainya, membuntutinya dalam gelap, dan menariknya menuju celah sempit.

Mira terkejut, dan sebelum sempat menjerit, tangan itu membekap mulutnya.

Lalu bayangan keduanya hilang dalam gelap. 

***

Aku kembali bermain di duniaku. Merusak, dan menakuti siapapun yang sial karena sudah terkena candu dari tulisanku.

Kali ini korbanku seorang pria yang berhasil ku jebak dengan berbagai cara. Ban mobilnya meledak karena paku yang ku tebarkan di jalan, membuatnya mencari bantuan yang tak akan ia temukan walau meninggalkan tempat itu hingga berkilo-kilo meter.

Lampu di rumahku kali ini ku buat seterang mungkin, seakan mengajaknya untuk masuk, lalu meminta bantuan kepadaku. Aku menerimanya, mengantarnya dengan jamuan yang tak bisa ku habiskan seorang diri.

Pria itu berceloteh panjang lebar, seperti lupa bila ia sedang dalam kesulitan akibat pecahnya ban mobil. Tapi aku tak merasa ia mengganggu, aku menikmati, dan menimpali apapun yang ia suguhkan untuk ku dengar. Kami berdua bagai kenalan lama yang sudah lama tak bersua, dan punya banyak hal untuk dibicarakan. 

Perlahan tapi pasti, ia menguap, nampaknya obat yang ku teteskan di makanan itu membuatnya mengantuk. Reaksinya lambat, tapi pasti. Dan dalam hitungan yang sudah ku tentukan, ia jatuh tertidur.

Ku tarik kakinya bersamaku, membawanya jauh ke dalam sisi rumahku yang paling tersembunyi. Bibirku bersiul, dan mendendangkan lagu sebagai cerminan bahwa aku bahagia.

Ku letakkan tubuh itu pada papan yang akan berdiri jika katrol yang menghubungkan papan itu dengan pengungkit ku putar. Dan tampaklah tubuh yang ku telanjangi paksa mengerang di hadapanku. Liat, sedikit basah, dan beraroma lelaki. Aku menyukainya.

Aku menata apa saja yang ku perlukan untuk menghabisi tubuh buruanku ini. Ada sebuah gergaji besi yang akan sedikit tersendat bila digunakan untuk memotong kaki, melihat daging liat pria itu akan menyangkut pada setiap geriginya. Tapi sebuah sensasi akan timbul saat luka yang di dapat menjadi berserabut kasar dan berbeda dari daging yang di potong menggunakan golok. Ada pula kapak berat yang sudah ku asah hingga berkilat tajam, cocok untuk membelah daging liat korbanku ini. Tapi tetap, aku butuh sesuatu yang beda. Jadi aku kembali memutar pengungkit, dan membuatnya berbaring.

Ku dorong tubuh itu ke sebuah meja datar. Ada besi berat di atasnya yang lagi-lagi ku rubah sebagai alat penyiksaan yang luar biasa. Besi berat itu terhubung dengan tali yang diikat pada pengait. Ukurannya lebih besar dari tangan, namun bersisi kasar, dan di hadapkan lurus dengan kepala korban. Aku menghitung sebelum melepaskan ikatan pada besi itu.

Satu.

Dua.

Ti....

Telepon pintarku berbunyi. Anita memanggil di saat yang kurang tepat. Aku menghentikan aktifitas menulisku, dan mulai menjawab panggilan wanita berrambut ekor kuda itu.

"Ryo, apa kamu tahu kabar Mira?" tanyanya. Suaranya terdengar seperti jeritan.

"Tidak, beberapa hari ini dia hilang dari peradaban. Mungkin sibuk dengan urusan kantor." aku menjawab sebisaku. Mira memang begitu, jika sudah serius bekerja dia akan lupa segala hal, dan tak ingin diganggu. 

"Sial!" Anita seperti seseorang yang bingung.

"Kenapa, Ta?" tanyaku yang tampak cukup kaget karena Anita mengumpat.

"Dia tidak ada di manapun. Aku sudah mencarinya ke tempat kerjanya, tapi tak ada yang tahu kemana dia. Rumahnya juga kosong, dan saat ku buka dengan kunci cadangan yang ia simpan, rumah itu nampak sangat berantakan. Kau tahu? Rumah itu nampak seperti habis dirusak paksa."

Aku mencoba mencerna kalimat-kalimat Anita. Lalu sebuah ingatan tentang terror yang terjadi kepadaku melintas di kepala, aku merasa jika apa yang terjadi dengan Mira ada hubungannya dengan semua terror yang tertuju padaku.

"Ta, aku rasa dia dalam masalah." ujarku pelan. Anita terdiam, mungkin dia bingung dan tak tahu harus berbuat apa. "Sebenarnya ada yang mau ku katakan padamu. Mungkin ini bisa membantu menemukan Mira."

"Apa?" Anita nampak penasaran.

"Mari bertemu di rumahku sore ini!"

*

"Apa?" Anita terdengar tak percaya. Ia cukup terkejut dengan cerita yang ku sampaikan. Detil ku tuturkan apa yang terjadi padaku berbulan-bulan ini, bahkan tentang email aktif yang berisi kiriman foto-foto bar-bar yang tak pantas dijelaskan secara gamblang. Ada terlalu banyak darah, itu maksudku.

"Seperti yang kau dengar, Ta, aku mendapat banyak terror akhir-akhir ini, aku takut jika Mira mendapatkan hal yang sama denganku, atau lebih parah.

Ku lihat Anita mengetuk-ngetuk dagunya. "Ayo lapor polisi!" ujarnya. Entah kenapa aku menolak ide itu. Menurut pengalamanku di berbagai cerita horror, polisi tak banyak membantu. Mungkin aku salah, tapi jika polisi benar-benar membantu, maka pelaku itu sudah tertangkap di awal aku melaporkan kejadian yang menimpaku. "Lalu kita harus apa? Kau ada ide?" kini giliran aku yang mengetuk jari.

Bersambung