Hari ini, cukup menyenangkan. Walaupun awal pagiku kurang berkenan. Aku dapat mengikuti pelajaran dengan tenang. Dan ada beberapa ulangan harian yang nilainya sangat memuaskan. Aku memang berfokus pada sekolahku. Aku ingin memiliki prestasi yang cemerlang agar aku meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku sadar orang tuaku tidak akan bisa membiayai pendidikan di perguruan tinggi, jadi hanya meraih beasiswalah yang menjadi satu-satunya harapanku.
Aku memang pandai memanipulasi situasi keruwetan hidupku. Meskipun menghadapi seabrek masalah pribadi, aku tetap berusaha untuk meraih prestasi. Saat sekolah aku menghempaskan semua masalah. Berbeda dengan Oppo, yang sedari pagi ia tampak gelisah. Lebih banyak diam tak seperti biasanya. Semenjak ia mendapatkan ancaman dari salah satu kakak kelas ---Sony. Ia jadi lebih emosional dan tidak fokus.
Saat jam istirahat pertama tiba, Oppo langsung cabut dari dalam kelas. Kemudian ia pergi entah ke mana dan untuk menemui siapa. Aku tidak tahu. Karena ia tak bilang padaku. Ia hanya menampakan wajah cemberut seolah memendam rasa kekesalan yang absolut.
Ruang kelas ini sudah mulai sepi. Sebagian teman-temanku keluar untuk relaksasi setelah penat dijejali sejumlah materi. Hanya ada Advan dan Evcoss yang lagi sibuk bermain game online di smartphone mereka. Sesekali tawa mereka pecah saat mereka memenangkan permainan. Setiap hari hanya itu yang dilakukan oleh dua orang temanku saat mengisi waktu istirahat. Berjibaku dengan gadget tanpa memikirkan pelajaran sekolahnya. Mereka tak peduli dengan nilai mereka yang anjlok dan jeblok. Bagi mereka sekolah hanya sebuah rutinitas yang tak perlu jadi prioritas.

''Vivo ...!'' seru Advan tiba-tiba saat aku hendak keluar dari kelas.
''Ya ...'' sahutku.
''Mau ke mana?'' tanya Advan.
''Mau ke perpustakaan, kenapa?'' jawabku.
''Oh, kirain mau ke kantin. Gue mau nitip beliin makanan dan minuman.''
''Kenapa gak jalan sendiri?''
''Males, Vo ... lagi pewe ... posisi woenak!''
''Dasar!''
''Hahaha ...'' Advan dan Evcoss tertawa. Aku geleng-geleng kepala, lalu bergegas berjingkat menuju ke perpustakaan. Tak mempedulikan mereka lagi.
Aku ingin mencari sebuah buku panduan masuk ke universitas negeri. Ketika aku sedang menelusuri rak-rak buku yang tertata rapih, mataku menangkap sosok bayangan tubuh sexy Bang Sam dari kaca jendela. Ia sedang bermain bola bersama murid-muridnya. Pesonanya benar-benar mengalihkan perhatianku. Aku jadi melupakan buku yang kucari dan lebih memilih menonton kemolekan tubuh seorang laki-laki.
Dari kaca jendela ini, aku bisa melihat jelas pemandangan yang terdapat di lapangan bola. Mereka, terutama Bang Sam mampu mencuri perhatian yang lebih di mataku. Kaosnya yang ketat, mengukir lekukan bentuk dadanya yang bidang. Celana pendeknya juga menampakan tonjolan area selangkangan yang super menggairahkan. Indah. Menggemaskan.

Entah, setiap melihat Bang Sam, tiba-tiba saja aku menjadi pribadi yang berbeda. Apa yang ada padanya mampu menumbangkan pikiran rasionalku. Aku jadi tergila-gila. Mengagumi tiada henti. Memandangi hingga aku horny. Bedebah! Ada yang berontak di balik celana seragam abu-abuku. Bergerak-gerak seolah hendak berburu. Mencari tempat untuk melampiaskan nafsu. __Ah, tidak! Mengapa aku jadi begini? Bang Sam benar-benar membuatku jantungan. Detaknya membuat sekujur tubuhku berguncang. Bagai terbawa angin topan, jiwa ini terbang melayang.
Aku berlari meninggalkan ruang perpustakaan. Aku tidak ingin memandang gerak-gerik Bang Sam yang sangat memabukan. Seperti tablet amphetamin. Membuatku hilang akal. Tak waras dan lemah mental.
Aku bergerak cepat menuju toilet. Aku ingin membuang semua pikiran nyeleneh yang ada di memori otakku. Aku ingin meleburkan bayangan-bayangan Bang Sam yang terus melekat di pelupuk mata. Aku bagai dipelet. Semakin aku berusaha melupakan, sosoknya semakin lengket. Seperti lem. Maunya nempel enggan direm.
Saat di dalam toilet.
Napasku kembang kempis. Hampir habis. Niatku untuk menepis pikiran najis mendadak terkikis. Mataku terbelalak saat menatap tubuh seorang siswa tersungkur merapat tembok. Wajahnya penuh lebam seperti habis dikeroyok massa. Babak belur. Hampir hancur.

''Oppo!'' seruku tak percaya, kalau siswa itu ternyata teman sebangkuku. Buru-buru aku mendekatinya dan memeriksa seluruh luka-lukanya.
''Apa yang terjadi dengan diri lo, Po?'' tanyaku cemas.
Oppo bergeming.
''Siapa yang memukuli lo?'' introgasiku.
''Si Brengsek!'' jawab Oppo geram, ''beraninya main keroyokan! Pengecut! Anjing! Babi!'' imbuhnya.
''Maksud lo siapa, Po?''
''Kakak kelas tak tahu diri! Bego!'' Oppo hanya mengumpat.
''Sony Cs?''
Oppo mengangguk dengan sorot mata yang tajam. Setajam silet. Penuh dengan dendam dan kebencian.
''Kenapa mereka memukuli lo, Po?''
''Gue ketemuan sama Motorola ... mereka mengetahuinya terus mereka menghajar gue, hingga gue jadi begini ...''
''Ya, ampun, Po ... lo nekat sih, lo 'kan udah diperingatin sama mereka. Jangan dekatin Motorola ...''
''Gue suka sama Motorola, Vo ... apa gue salah?''
''Tidak salah sih, kecuali lo mau ngerebut pacar orang ...''
''Motorola bukan pacar siapa-siapa!''
''Lo yakin, Po? Gimana kalau yang diucapkan Sony benar, kalau Motorola itu pacarnya!''
''Gue tidak peduli, yang penting Motorola mau sama gue!''
''Jika Motorola pacar orang dan mau sama lo juga, itu berarti dia cewek yang gak bener! Murahan. Gampangan.''
Oppo jadi terdiam.
''Udah deh, lo tidak usah mikirin ini dulu, sebaiknya kita ke ruang UKS untuk mengobati luka-luka lo biar tidak bertambah bengkak!''
Oppo hanya terpekur. Merunduk lesu.
Selanjutnya aku memapah tubuh Oppo dan segera membawanya masuk ke ruang UKS.