webnovel

BAB 5 POV PUTRI

Yey, akhirnya liburan tiba. Setelah ujian semester kami semua dapat libur dua minggu dari sekolah, rencana aku akan ikut mengantar Nenek pulang ke desa.

"Besok, jadi Nek pulang." Tanyaku pada Nenek.

"Iya, kenapa cucu nenek yang cantik?"

"Aku mau ikut ngantar, Nek."

"Aku juga mau ikut!" Seru Dila.

"Iya, kalo begitu tidur cepat biar besok bangun pagi." Kata Nenek seraya mengelus kepala Dila.

"Ibu ikut juga?"  Tanyaku pada ibu.

"Kayaknya nggak, ibu nggak bisa bepergian jauh." Jawab ibu.

"Nanti ibu sendirian dong di rumah."

"Kita cuma sehari di sana, Put. Habis ngantar Nenek besoknya kita pulang." Jelas Ayah.

"Yah, aku pengennya di sana lama."

"Kalo lama ibu kesian, Put. Gih sana kamu tidur biar besok kita bisa berangkat pagi.

******

Pagi jam 8 semua sudah siap, Ayah juga sudah menyiapkan mobil yang baru dia sewa untuk mengantar Nenek.

Ibu di temani Tante Lidia adik dari Ayah.

"Dah ibu!" Seru Dila.

Mungkin sekitar 4 jam kami di perjalanan kini sudah sampai di perbatasan desa, di kiri kanan terlihat sawah membentang dengan padi menguning yang siap di panen.

Saat azan zhuhur berkumandang dari salah satu mushola kami telah tiba di rumah Nenek, rumah kayu yang tidak terlalu besar tapi di depan terdapat pohon petai dan belakangnya terdapat kebun singkong belum lagi tidak jauh dari rumah Nenek terdapat sungai. Aku tidak sabar ingin mandi di sungai itu.

"Dila, kita kesungai sana yuk nanti."

"Ayok! Sekarang aja yuk, kak." Sahut Dila.

"Bilang dulu sama Ayah." Kataku.

"Ayah kami mau mandi ke sungai." Ujar Dila pada Ayah.

"Nanti sore aja, ini bantu Ayah bawain barang Nenek." Pinta Ayah.

Aku pun membantu membawa barang Nenek, hanya tas kecil.

"Assalamualaikum, Pak!" Ujar Tante Ismi.

"Kayaknya bapak di Belakang." Ujar Nenek.

"Iya, ya. Tapi kan ini sudah tengah hari pasti bapak sudah pulang." Ujar Tante Ismi.

"Yuk masuk, ini pintunya sudah Nenek buka." Ujar Nenek.

Aku senang di sini hawanya sejuk, beda dengan di kota panas.

Jam 15:23 aku mengajak Dila ke sungai, tapi Ayah ikut karena takut kami kenapa-napa. Dari rumah nenek paling 10 menit berjalan kaki.

"Wih, kangen sekali aku sama sungai ini." Seruku.

"Hati-hati." Ujar Ayah.

Aku dan Dila berendam di sungai, airnya sangat jernih. Kami mengenakan celana pendek selutut dan kaos oblong.

Saat asik berendam Ayah ikut menceburkan diri ke sungai.

"Katanya Ayah nggak mau mandi." Ujarku.

"Habis kalian seru banget jadi Ayah ingin ikut deh." Jawab Ayah.

"Serang Ayah!" Seru Dila, Byuurr.... Dila menyiram Ayah dengan air sungai menggunakan tangannya, kami pun saling balas membalas.

"Sudah Ayah capek, kita duduk di situ yuk." Ajak Ayah, dia duduk di bawah arus air.

Kami mendekat dan Dila duduk di hadapan Ayah. Air sungai jadi sebatas dada Ayah, aku juga duduk di sebelahnya dengan kepala menyender ke batu. Ahh sangat enak.

"Ih, Ayah geli." Ujar Dila.

"Coba Dila diam, nanti enak lo." Ujar Ayah.

"Ngapain, Yah? Aku mau juga dong." Pintaku.

"Aku lagi..." Ujar Dila namun di sela Ayah.

"Kami lagi main tahan geli, ya nggak Dil, kalo nggak tahan dia kalah." Ujar Ayah.

"Nanti aku lagi ya kalo Dila kalah."

"Ih aku nggak bakalan kalah!" Seru Dila.

Terliat Dila menahan senyum merasakan tangan Ayah menggelitik perutnya, entahlah aku juga nggak bisa liat tapi Dila tahan juga yah dari tadi nggak menyerah di gelitik Ayah.

"Aku pingin pipis, Yah. Nggak tahan lagi." Ujar Dila.

"Giliran aku berarti." Seruku.

Aku menggantikan Dila duduk di hadapan Ayah.

"Kalo nggak tahan nanti dapat hukuman loh." Ujar Ayah berbicara ditelingaku.

"Iya."

Ayah memulai aksinya dia menggelitik pah*ku tapi itu tidak terlalu geli.

"Ayah kenapa sering bergerak?" Ujarku, karena sejak tadi pinggulnya selalu bergerak membuat aku juga ikut bergerak.

"Putri mau nggak Ayah belikan ponsel?" Tanya Ayah.

"Emang Ayah mau belikan kalo aku bilang mau." Ujarku.

"Iya, nanti Ayah belikan kalo kita sudah pulang." Sahut Ayah.

"Beneran, Yah."

"Iya, tapi ada syaratnya."

"Apa, Yah?"

"Kamu diam aja jangan bergerak, Ya. Dan jangan ngomong."

"Hah, kenapa?"

"Kalo bicara Ayah nggak jadi belikan."

"Iya, iya." Jawabku.

Ayah memegang perutku terus mengelusnya.

"Apa sih, Yah. Itu geli."

"Katanya mau diam, nanti nggak Ayah belikan nih." Ujar Ayah.

Aku sudah lama menginginkan ponsel karena semua temanku memikikinya hanya aku yang tidak punya, waktu pelajaran daring pun aku hanya memakai punya ibuku.

"Janji jangan bilang siapa-siapa, ya?"

"Emang kenapa, Yah?"

"Ini rahasia kita, kalo bilang nanti Ayah ambil lagi ponselnya." Kata Ayah.

"Iya, emang mau apa sih?" Tanyaku.

Ayah menuntun tanganku untuk memegang sesuatu.

"Apa ini Yah?"

"Sudah jangan banyak nanya, coba pijit maju mundur." Perintahnya.

"Ih geli, nggak mau ah."

"Ya sudah Ayah pinta Dila aja biar Dila aja yang Ayah belikan ponselnya."

"Eh jangan, biar aku aja."

Tangannya sekarang menyentuh area sensitif ku.

"Ayah jangan."

"Suutt diam, kan Ayah cuma pegang."

Aku diam menuruti perkataan Ayah lama-lama tangannya makin Liar.

"Ayah sudah, yuk. Aku laper." Ujar Dila.

"Kamu aja naik duluan." Ujar Ayah.

"Nggak mau, ayo Yah." Dila menarik tangan Ayah.

"Huh, ya sudah Ayo kita kembali." Kata Ayah.

"Ayah yang tadi tetap jadi kan?" Tanyaku memastikan.

"Iya, iya nanti." Ayah berdiri.

"Apa kak?" Tanya Dila.

"Ada deh rahasia."

"Ih, kakak."

"Yuk, katanya mau balik." Ujar Ayah yang sudah di tepi sungai.

Kami pun berjalan mengekor di belakang Ayah, aku masih bertanya-tanya apa yang tadi aku pegang.

*****

Sampai di rumah Nenek aku mengganti baju di belakang rumah, di belakang terdapat kamar mandi dari kayu. Aku berganti baju setelah Dila, tentunya Ayah yang mengambilkan tas berisi bajuku.

Setelah selesai aku bergantian dengan Ayah, aku menemui Nenek dan ada kakek juga ternyata.

"Eh cucu kakek sudah besar, sini-sini duduk. Nenek katanya mau menghidangkan makanan." Ujar Kakek.

"Aku bantu Nenek aja kek."

Aku ke dapur menghampiri Nenek dan Tante Ismi mereka menyiapkan beberapa piring. Aku lantas menawarkan diri untuk membawanya.