webnovel

Chapter 44~Father

~Rafael ~

Aku memutar-mutarkan handphone yang ada di genggamanku. Semenjak hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk mencoba berbicara dengan ayah. Namun sampai saat ini, aku belum mempunyai keberanian untuk menekan tombol call di handphoneku. Banyak keraguan yang muncul di kepalaku. Aku takut untuk memulai kembali semua ini.

Aku menghela nafas panjang sambil menyandarkan pelipisku ke kaca, meninggalkan jejak minyak di kaca tersebut. Sudah tiga hari aku bergelut dengan handphone yang ada di tanganku. Seseorang mengetuk pintu kamar membuatku mengangkat kepala dari kaca dan menoleh ke arah pintu. Mom tersenyum ke arahku dari arah pintu. Semenjak ulang tahunku, ke dua orang tuaku belum pulang kembali ke Jerman. Mereka ingin menghabiskan waktunya dengan diriku.

"Hei, sweet boy." Sapanya yang kubalas dengan sebuah senyuman dan menyenderkan punggungku ke arah kaca. Tubuhku sepenuhnya menghadap ke arahnya.

"Hai Mom." Sapaku. Dirinya melangkah menuju kasur dan mendudukan dirinya di ujung kasur. Entah mengapa dirinya terlihat sangat gugup.

"Beritahu saja apa yang akan kau sampaikan mom, ini hanya aku." Seruku menggodanya. Rencanaku berhasil dirinya tertawa ringan dan menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang.

"Apa yang kau pikirkan kalau kau mempunyai seorang adik?" Tanyanya membuat pikiranku dipenuhi spekulasi-spekulasi yang tidak dapat ku cegah.

"Apa kau hamil?" Tanyaku tidak yakin. Dirinya dengan pelan menggelengkan kepalanya.

"Kau tahu jika kita tidak bisa mempunyai anak lagi? Aku hanya ingin membuat keluarga ini semakin besar saja." Serunya membuatku kembali dipenuhi pertanyaan.

"Mengapa tiba-tiba kau berbicara seperti ini?" Tanyaku keheranan.

"Revan, kau tahukan jika sebentar lagi kau akan kuliah dan berjalan meninggalkanku untuk menjalani kehidupanmu sendiri? Aku hanya ingin mempunyai seorang anak sehingga aku bisa merawatnya. Kau sudah terlalu besar untuk ku rawat. Lagian kau sudah terlalu terbiasa untuk hidup mandiri." Godanya sambil tertawa pelan membuatku ikut tertawa.

"Itu tidak keren jika kau masih merawatku di umurku yang sudah remaja ini." Seruku.

"Baiklah aku mengerti maksudmu mom. Aku akan sangat senang untuk mempunyai seorang saudara lagi." Tuturku sambil berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya yang sekarang lebih kecil dari tubuhku.

Aku masih ingat dulu tubuh kecil ini adalah tempat di mana aku akan menangis. Di mana aku berlindung dari mimpi-mimpi burukku yang menyerang ketika aku masih sangat kecil dan ketakutan akan monster yang ada di kolong tempat tidur. Tubuh yang selalu memberikan kasih sayangnya walaupun di sisi lain dirinya sangat menderita. Mengingat semua ini, aku semakin tidak yakin jika aku harus menelpon ayahku.

Aku menghela nafas panjang dan melepaskan pelukanku dari dirinya. Senyum yang hangat kembali dia berikan kepadaku. Aku menaruh kepalaku di pangkuan mom dan langsung mendapatkan belaian kasih sayang dari dirinya.

"Jangan bilang-bilang yang lain. Aku mau seperti ini sebentar saja." Keluhku sambil menutup mataku menikmati buaian dari mom. Dirinya tertawa pelan melihat sikap manja yang sangat jarang kutunjukan.

"Walau bagaimanapun kau tetaplah my baby boy." Serunya membuatku menatapnya tajam akibat perkataannya.

"Aku tahu kau menghindari pertanyaan ini, namun sampai kapan kau akan berlama-lama menghubungi ayahmu?" Tanyanya membuatku mengeluarkan geraman tidak suka.

"Revan, kau tidak bisa selamanya seperti ini dan kau tahu hal itu. Ayahmu membutuhkanmu, dan jauh di dalam sana kau membutuhkannya. Walau sebesar apapun posisinya tergantikan oleh dad, namun tetap saja kau membutuhkannya." Ucapnya dengan penuh kelembutan.

"Itu tidak benar. Aku sudah terbiasa dengan ketidak hadirannya di hidupku. Menerimanya begitu saja, itu sangat mustahil." Geramku kesal.

"Siapa bilang kau harus langsung menerimanya? Dia telah merusak kepercayaanmu dan itu akan memerlukan proses yang lama untuk memulihkannya. Suatu saat nanti kau akan memafkannya, aku yakin akan hal itu."

"Kenapa semua orang membelanya! Kau dan juga bubblegum!" Seru kesal.

"Kami tidak membelanya Rev. Kami hanya mengatakan sesuatu hal yang benar. Kami tidak mau membiarkanmu menyesal suatu hari nanti." Tuturnya. Aku hendak akan memutuskan perkataannya namun dirinya menyela terlebih dahulu sebelum aku sempat mengutarakan satu kata pun.

"Telepon dia. Aku memaksa!" Ucapnya dengan tegas. Kalau sudah seperti ini aku tidak bisa mengelak lagi. Aku memutar bola mataku jengah.

"Aku memperhatikan!" Seru mom saat aku hendak mengabaikannya. Dengan menggerutu aku mengambil handphoneku dan menekan tombol call dengan paksaan.

Suara panggilan telepon terhubung membuat jantungku berdetak dengan cepat. Suara dari gesekkan handphone dengan benda lain dapat terdengar dari seberang sana. Sepertinya saat ini ayah sedang bergegas menuju ruangan lain. Suara gesekkan itu berhenti, digantikan dengan kesunyian sebelum terdengar suara lelaki tua yang sudah lama tidak aku dengar.

"Hello, son." Ucapnya di ujung sana yang tidak kutanggapi sama sekali. Saat aku hendak menyerahkan handphone ini kepada mamah, dirinya sudah hilang di balik pintu kamar yang tertutup.

"Halo." Jawabku singkat dengan ragu-ragu.

"I'm glad you call me." Ucapnya dengan nada lembut yang tak pernah kudengar dari mulutnya.

"Can we meet up? I'm willing to talk to you." Ucapku sambil menutup mata menunggu jawaban dari dirinya. Aku tidak menyangka aku akan se-nervous ini berbicara kepadanya.

"Okay. We can meet at lunch. I'll come to pick you up." Sarannya yang langsung aku tolak. Aku tidak bisa membayangkan betapa canggungnya nanti saat kita berada di mobil berdua.

"I'll go there by my self. Just text me where we will meet up." Seruku cepat dan mematikan sambungan telepon.

Aku langsung membaringkan diriku di atas tempat tidurku. Menutup kedua mataku dengan lengan kiriku. Eluhan nafas keluar dari mulutku tanpa bisa kucegah. Dalam beberapa jam lagi aku akan bertemu dengan orang yang paling ku benci.

Membayangkan kejadian masa kecilku ketika ayah mengabaikanku dan mom, membuat kebencian ini bertambah. Entah apa yang harus kulakukan untuk bisa memaafkan pria menyebalkan itu. Seandainya aku bisa memilih orang tuaku sendiri, aku akan memilih untuk dilahirkan di keluarga yang hangat seperti bubblegum.

Namun sayangnya seorang anak tidak pernah bisa memilih orang tua mereka. Setidaknya ke dua orang tuaku dapat memilih jika mereka ingin mempunyai seorang anak atau tidak, atau memilih siapa pasangan mereka. Kenapa juga mom harus menikah dengan orang tua itu jika pada akhirnya dirinya akan tersiksa dalam kesendirian.

Aku tidak bisa menyalahkan mom untuk semua hal ini. Dia tidak tahu apa-apa saat menikahi ayah. Itu yang aku percayai. Dia tidak tahu ujungnya akan berakhir seperti ini saat menikahi ayah. Satu hal yang sangat aku yakini, ayah mempunyaiku hanya demi kepentingan perusahaannya. Dirinya hanya peduli kepadaku sebagai penerus. Semua yang dia pedulikan hanyalah secarik kertas dengan keterangan nilai-nilai yang tinggi.

Semua kata-kata yang pernah keluar dari mulutnya hanyalah mengenai masa depanku dan juga nilai-nilaiku. Aku tidak pernah merasa dirinya menyayangi diriku. Kasih sayang dari seorang ayah tidak pernah kurasakan. Namun setidaknya sekarang aku memiliki seorang figur ayah dari dad. Aku sangat berterima kasih akan hal itu.

Tidak terasa waktu sudah berlalu begitu cepat. Sebentar lagi jam makan siang, dan ayah sudah mengirim pesan mengenai tempat pertemuan kami. Dengan malas aku berjalan ke lemari untuk mencari baju yang setidaknya lebih layak dari pada baju yang aku pakai. Ayah memilih hotel yang di tinggalinya sementara ini untuk bertemu denganku.

Aku memilih sepasang kaos pollo berwarna putih dan juga celana pendek coklat muda. Tanpa mengabari ke dua orang tuaku, aku bergegas menaiki kendaraan umum menuju hotel yang di tempati ayah. Hotel tersebut dapat di tempuh sekitar 20 menit dari apatermen ku.

Sesampainya di depan gedung hotel, aku dapat melihat ayah yang sedang menunggu di lobi dengan setelan kerjanya. Tanpa menunggu lebih lama, aku menggerakan kakiku menuju tempat ayah menunggu. Dirinya tersenyum begitu menyadari keberadaanku dan berjalan mendekat.

Keadaan canggung meliputi kami. Tidak ada satupun diantara kami yang berinisiatif untuk memulai percakapan, bahkan setelah kami makan siang. Aku memandang ke arah sekitar, menghindari tatapan yang di berikannya kepadaku. Walau segala cara coba kulakukan untuk mengabaikan tatapan itu, tapi tetap saja aku dapat merasakan tatapan itu menusuk ke dalam jiwaku.

Pasrah dengan semua ini, akhirnya aku menatap dirinya. Orang itu langsung memberikan senyuman tulus yang tidak ku sangka dapat di berikannya.

"Sekarang apa?" Tanyaku kepada diriku sendiri yang ternyata di dengarnya.

"Well, I'll try to give my side story to you. I hope you can understand me after that." Jawabnya. Aku tidak membalas perkataannya dan sibuk bermain dengan minuman yang ada di depanku. Setalah lama menunggu dirinya untuk meneruskan perkataannya, akhirnya dia memiliki keberanian untuk memulai.

"I'm sorry, for neglecting you. I'm sorry for not being a father figure."

"Honestly I never love your mother. I think I loved her, but it is not. It's just a disguise that my mind created. Since a little, all I know it's working hard and never get rest. I have my own earned company. I'm scared that what I earned is gone. So I work harder just to keep my company in top bussiness. Then your mother come. The married is arranged but your mother love me, and so do I at that time. Then we have you. But I overwhelmed by my hectic work. I do not have time to talk to my family, I even rarely go to sleep."

"I know, I'm the most stupidest person in the world. I waste you and your mother. When you begged me for stop the divorce, I ignored it. Because I know, it's too late to start begin the relationship. It's much better for I let her go. She's happier with her new boyfriend. I'm happy she finally got somebody who deserve her. I don't regret for letting her go. What I regret is loosing you."

"I loosing you for something that not important. It's the biggest mistake that I everdone in my life. So I try to take back my son, in your permission."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Baru kusadari aku tidak pernah mengetahui apapun mengenai ayahku. Kita memang tinggal serumah, namun sepanjang hidupku aku selalu menunggunya menghampiriku tanpa berinisiatif untuk mendekatinya jauh lebih dalam. Selama ini aku hanya mengajaknya bermain yang tentu di tolaknya tanpa mengetahui alasan dan mengapa dia menolak. Sebagai anak kecil mungkin itu wajar, namun kebiasaan untuk mengacuhkan dirinya sudah terbentuk sejak aku kecil. Sejujurnya aku hanya peduli terhadap ayah jika dia melakukan yang aku mau.

"I think what I done, spent my time in work, it's for your future. It's for your own goodness. But I'm wrong, you need more than materialistic, you need me to be a real dad. I missed every step of your growth. And I'm sorry to you for not being there in every step."

"I...I don't know what to say, but I'll think about this later." Sejujurnya perasaanku di penuhi perasaan bingung. Rasa sakit yang kupendam selama ini berlawanan dengan keinginanku untuk mempunyai ayah yang sebenarnya.

"It's okay. I'm just happy that you had called me to talk. I believe this is the beginning in our relationship."

"One more thing, if you need anything you, don't hesitate to ask me. I'm still your father, and all of my money is for you."

"Thanks... Fa...Father." Aku sangat canggung dalam mengatakannya. Namun sebuah senyum lebar terekah di wajahnya, bahkan matanya pun memancarkan kebahagiaan.

Beberapa menit kecanggungan terjadi di antara kami, sebelum ayah memutuskan untuk pergi kembali mengurusi pekerjaannya. Dirinya memaksa untuk mengantarku sampai apatermen. Aku menerimanya, aku tidak mau apa yang sudah di mulai hancur dengan singkat.

Selama di perjalan dirinya berusaha untuk mengobrol denganku. Aku sangat menghargai usahanya, namun tetap saja kecanggungan meliputi kami. Hubungan yang secara tiba-tiba ini harus di bangun dengan waktu yang cukup lama.

Sesampainya di apatermen, aku tidak langsung pergi ke dalam. Aku memilih untuk berjalan-jalan sambil memikirkan segala hal yang telah di katakan oleh ayahku. Segala sesuatu hanya terjadi karena kami tidak mau memikirkan segala sesuatu dari sudut pandang orang lain. Ayah tidak mungkin bekerja terlalu keras jika ia mengerti apa yang dibutuhkan aku dan mom. Mom tidak akan meninggalkan ayah jika dia mengerti bahwa ayah melakukan semua ini untuk kita. Aku pun tidak akan membenci ayah jika aku mengerti apa yang dirasakannya.

Aku berjalan cukup jauh dan akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi bubblegum. Aku memerlukan seseorang untuk melegakan hatiku. Hanya ada dirinya yang ada dipikiranku sekarang. Setidaknya dengan melihat mukanya aku dapat melegakan hatiku. She's all I need right now