webnovel

Still Survive

Arya memang sudah bangun namun tak memungkiri jika pandangannya masih sedikit kabur setelah cukup lama dipejamkan. Hanya saja begitu melihat sebuah foto yang dikirim oleh seniornya, ia tak bisa berbohong pada dirinya kalau tidak terkejut. Bagaimana tidak, semua yang dikatakan oleh seniornya sama sekali bukanlah sekedar bualan saja. Arya sempat melepaskan ponsel dari tangannya saking kagetnya.

Pasalnya foto yang dikirim Indra benar-benar menunjukkan kalau suasana di parkiran stadion sudah sangat ramai. Memang tak terlihat siapa saja yang berada di sana, namun ia mengenali salah satu dari mereka dengan tubuh kekar, berkulit hitam, dan berkepala botak. Ya, itu adalah Coach Greg, dan di depannya kelihatannya seperti para pemain atau staff dari Karesso.

Tak punya waktu untuk bertanya-tanya, Arya langsung melempar ponselnya tepat di atas bantal, bangkit dari kasur, lalu keluar dari kamar menuju kamar mandi. Ketika selesai mandi dan menggunakan pakaiannya, Arya langsung menurunkan tas besert kopernya sesuai perintah ibunya. Memang terlihat senang ketika sang ibu melihat anaknya menjalankan perintahnya dengan cepat, namun raut wajah Arya seperti sekarang sama sekali tak terlihat tenang. Ibunya terheran sambil mengerutkan keningnya.

"Nak, kamu kenapa buru-buru? Ini masih jam 3 lho. Tempat latihanmu kan tidak terlalu jauh dari sini."

Arya terdiam sejenak, berpikir apakah mengatakan pada ibunya akan membuat suasanya jauh lebih baik jika dirinya tak mengerti bagaimana sekumpulan orang itu sudah berada di sana. "Ah… tidak apa-apa, Bu. Arya hanya sempat berpikir kalau berangkat lebih awal… kelihatannya tidak terlalu buruk juga. Kebetulan sudah ada beberapa senior di sana dan Arya ingin bicara dengan mereka lebih banyak lagi di luar latihan kami." Arya terbata-bata serta bola matanya teralihkan ke segala arah.

Spontan raut penasaran di wajah ibunya seketika sirna, silih berganti napas lega seakan lepas dari situasi yang mencekam. "Ya ampun, Nak. Ibu pikir ada apa, hampir saja ibu menduga kalau kamu terlambat sedangkan ini masih jam 3."

Pemuda itu sampai tak bisa berkata-kata selain meringis lebar lalu berjalan kembali menaruh tas dan kopernya di dekat pintu depan. Setelah mau tak mau harus menutupi alasan sebenarnya dari sang ibu, Arya mengambil tas selempangnya yang dan memasukkan semua barang-barang penting atau yang sering ia gunakan. Tak sampai 5 menit Arya turun kembali dan memesan sebuah taxi.

Ketika taxi sudah sampai, Arya langsung berpamitan pada ibunya seorang, mengingat ayah dan kakak sepupunya belum pulang dari tempat kerja. Sang ibu tak bisa menahan rasa beratnya melepaskan anaknya terlalu lama bepergian ke berbagai kota.

"Kamu hati-hati di jalan, ya, Nak. Jangan nakal di sana dan patuhilah pelatih dan hormati para pemain yang jauh lebih tua darimu." Sang ibu langsung memeluk anaknya sangat erat sampai Arya tak bisa bernapas dengan benar.

"Hahaha, padahal Arya sudah biasa pergi ke luar kota. Kenapa ibu baru kayak gini sekarang?"

"Sudah jelas berberda. Sebelumnya kamu hanya pergi 1-2 minggu saja, ini sampai 3 bulan."

"Hahaha, ibu bisa saja. Kalau begitu titip salam untuk ayah dan Kak Sherla, Bu. Arya berangkat dulu," ujarnya sembari mencium tangan ibunya, lalu mengangkat tas dan kopernya secara bersamaan menuju mobil taxi yang sudah berhenti di depan rumahnya.

Begitu sudah tertata rapi di bagasi mobil, Arya melambaikan tangan pada ibunya yang ternyata mengikuti anaknya sampai ke depan gerbang. Mungkin ini pertama kalinya ibunya melihat sang anak sudah mandiri hingga sering meninggalkan kota asalnya demi mencapai impiannya yang masih begitu jauh untuk digapai. Arya sendiri sama sekali tak merasa keberatan sekalipun mengingat ia sudah terbiasa dengan rutinitas semacam ini.

***

Setelah mendapat desakan dari Arya untuk menjalankan mobil lebih cepat lagi, supir taksi mengiyakan perintahnya dan melaju begitu cepat. Sesuai foto yang dikirim oleh Indra, suasana di luar stadion sudah sangat ramai sampai ia tak bisa menghitung jumlah keseluruhannya. Dengan bantuan supir taxi, Arya menurunkan barang bawaannya, membayar dengan uang lebih lalu meninggalkan supir tersebut tanpa menerima uang kembalian.

Sampai membopong tas ransel serta menyeret kopernya, Arya berlari kecil mendekati kerumunan tersebut. Terdengar di sana sangat tenang dan sunyi, hanya ada satu suara saja yang terdengar dan itu keluar dari mulut sang pelatih. Selama menuju ke sana ia melihat Denny dan Indrea yang ternyata sudah lebih dulu sampai. Arya berpikir akan protes kedua kakak tingkatnya tersebut sebab tak mengatakan apapun padanya tentang ini. Jika sudah begini rasanya sudah sseperti anak baru yang kurang ajar. Datang terlambat sedangkan para senior sudah berbaris rapi di hadapannya.

Semua mata pemain tertuju pada Arya yang semakin mendekat. Melihat semuanya bertingkah kebingungan, spontan Coach Greg terpaksa menghentikan ucapannya lalu menoleh ke samping kanan, mendapati salah satu pemainnya sudah tiba.

"Ah, Arya Chayton. Aku tak mengira kalau kau datang secepat ini. Siapa yang memberitahumu?

"Kenapa semua sudah pada berkumpul di sini sedangkan masih ada waktu yang cukup banyak sebelum keberangkatan?" tanya Arya kebingungan.

"Oh, sebenarnya aku lupa memberitahumu kalau kami memang selalu seperti ini sebelum berangkat turnamen. Berdiri, berbaris rapi, dan saling bertukar pikiran mengenai setiap permainan tim-tim besar yang akan bertanding. Ini sudah menjadi kebiasaan kami mengingat tim ini belum terlalu besar hingga sangat sulit mendapat pengakuan dari banyak orang."

"Bukannya semua berkumpul di sini karena akan berangkat setelah ini?"

"Eh? Siapa yang bilang seperti itu? Aku memang memasang waktu jam 4 sore untuk batas waktu toleran, namun jika sudah banyak yang datang sebelum jam tersebut, tetap tidak akan berangkat sampai semua pemain sudah datang dan waktu yang ditentukan telah tepat pada waktunya." Coach Greg tak mengerti mengapa Arya berpikir kalau dirinya akan meninggalkan pemain baru tersebut sedangkan ia tak mengatakan apapun selain batas kehadiran maksimal jam 4 sore.

"Lalu… kalau begitu…" Mendadak Arya memandang dua seniornya saling sedari tadi ribut ketika ia terbangun hingga berada di taxi. Giginya menggertak, tangannya mengepal kencang, ada keinginan untuk memukul namun ia sadar posisiny sebagai pemain baru… juga postur tubuhnya yang sangat kecil jika dibandingkan dengan Denny dan Indra.

Di lain sisi kedua orang tersebut hanya terkekeh di balik punggung para pemain lainnya, menertawakan ketidaktahuan Arya mengenai kebiasaan para pemainnya. Meluapkan amarah di pelatih dan teman-teman lainnya pun juga bukan hal baik. Namun ada salah satu dari mereka memanggil Arya agar berdiri di dekatnya. Orang tersebut adalah pemain yang bertanya tentang Arya terlebih dulu ketika latihan masih berjalan. Walau Arya belum kenal dekat dengan orang itu, tak ada salahnya mengenal pemain lainnya selain Denny dan Indra.