Setiap saat dan setiap waktu, ketika ada seorang yang lewat di depan kelasku pasti menjadi sasaranku. Berharap bahwa itu kamu, dan pasti akan selalu kuikuti ke mana kau melangkah. Sampai-sampai begitu banyak puisi tercipta karena semua itu. Ada dilema dan rasa suka yang dicampur aduk dengan rasa penasaran dan malu yang selalu membalut hatiku.
* Wah, dalam sekali perasaanmu Ad, sepertinya aku tak sedalam itu ketika memikirkanmu. Kau tampan si, kalem juga kelihatannya, dan aku suka. Tapi, pastinya kau tak mampu melihatku di beberapa waktu. Karena ya kau tahu sendiri bahwa kondisiku tak baik. Badanku sering merasakan sakit di semester pertama. Entah karena apa, yang pasti itulah waktu di mana aku sering terkapar lemah.
# Benar apa yang kau katakan. Setelah sekian lama diriku menghafal tingkahmu, seperti ada yang hilang ketika tak lagi kulihat dirimu. Apakah yang terjadi? Dan kabar burung pun sampai ke telingaku bahwa kau tak berangkat karena sakit. Setelah 3 bulan sekolah berjalan seperti biasanya, aku pun jatuh sakit.
Di waktu yang sama, kau pun juga terkulai lemah di atas ranjang. Sebelum itu, ada beberapa hari di setiap minggunya diriku tak melihatmu. Seperti telah kau jadwal, tapi aku tak terlalu memperhatikan hal itu. Aku tak tahu kenapa kau tak berangkat. Seketika pun ada rasa cemas menyelimuti hatiku.
Kembali ke sakitku, aku terkena tipes dan harus tumbang 1 minggu penuh. Bertepatan dengan ulangan tengah semester kita. Kita pun harus mengikuti ujian susulan. Dan otomatis kita tak saling jumpa dalam waktu satu minggu. Walaupun sakitmu tak selama diriki, paling tidak kita sama-sama sakit. Selepas sembuh, ada saatnya di mana ujian susulan berlangsung. Hanya diriku yang belum mengikuti ujian di kelas, dan kau dari kelas yang berlainan.
Kita dihadapkan pada kesamaan nasib. Namun sayang, belum disamakan dalam takdir. Tak ada satu hari pun kita ujian bersama. Hanya di hari Jumat, kita hampir bersama, hampir. Alasannya, karena aku pun tak tahu karena apa. Ibu guru yang memberitahukan perihal ujian susulanku dan kau.
Di saat itu, aku tak tahu siapa namamu. Jadi, jelas aku bingung di kala ibu guru bertanya padaku pasal dirimu yang belum ujian susulan. Ah, aku jawab sebisaku saja.
* Perihal waktu itu, kau tahulah bahwa aku sering sakit. Jadi ada hari-hari di mana aku tak masuk sekolah. Dan ketika kau tak berangkat sekolah, aku pun merasa cemas akan kau. Seperti suatu hal yang berharga hilang dengan seketika.
# Aku pun merasa sendiri di rumah kala itu. Temanku pun tak ada yang menjenguk. Tapi tak apa, masih ada udara yang selalu setia menemaniku.
* Jujur saja, ketika ujian susulan pun diriku selalu sendiri. Berharap akan ada seseorang yang menemaniku, dan itu adalah kamu. Namun waktu masih saja belum mengizinkan kita bertemu. Bener gak sih?
# Bener banget, dan ketidaksengajaan itu pun perlahan menjadi suatu kejarangan yang hakiki. Setelah beberapa lama kita di SMK, barulah kebiasaan itu menjadi rutinitas yang hakiki. Dimulai dari kau yang mulai membalas senyumku, dan itu manis sekali. Seperti melayang hati ini, setelah sekian lama aku menunggu.
* Aku pun sebenarnya malu ketika mulai membalas senyummu. Aku tahu bahwa kau adalah pria yang ramah. Dan setiap orang pun mendapat senyummu. Tapi, di saat itu aku terlalu yakin bahwa senyummu berbeda ketika berpapasan denganku. Jadi, aku tak ragu membalas senyummu. Toh kita juga sudah lama seperti itu, dan tetangga kelas juga. Hingga rasa itu tumbuh hari demi hari. Aku masih saja si gak bilang ke temen aku, malu soalnya. Intinya perasaan ini aku pendam dalam dalam.
# Iya, aku bisa melihatnya dari raut wajahmu. Tapi, terlepas dari hal itu, keraguan pun menghampiriku. Wanita secantik kamu, apakah iya tak punya pacar? Hingga ya hal itu menghantuiku. Kita sudah masuk di bulan ke-4 sekolah, dengan kelas bersebelahan. Dan tak ada sebutir kalimat yang mampu terucap. Pernah aku membulatkan tekad untuk berkenalan denganmu. Hingga segenap cara kupersiapkan.
* Caranya di skip dulu ya, aku mau cerita lagi, hehehe. Walaupun ingatanku mulai berkurang tentang semua itu. Tadi, aku udah sampai mana ya? Sebentar, aku inget-inget dulu, hemmm. . . . Oiya senyumanmu yang kubalas. Tapi, sebelumnya akan kuulas sedikit pasal kebiasaan kita dulu yang sering jumpa di pagi hari di depan kelas. Dalam keadaan yang tak saling kenal, dan saling penasaran satu sama lain.
Ketika kau berangkat pagi dan aku di depan kelas. Tak banyak yang kulihat, hanya sebatas cakrawala yang selalu melekat. Tak sadar diriku akan kau yang selalu menunggu. Menunggu perjumpaan denganku, dan aku tak sadar itu. Hari-hari berjalan begitu saja, dan tak ada yang istimewa. Istimewa hadir ketika kita berpapasan tanpa disengaja. Aku pun bahagia dengan itu semua.
Pernah di suatu ketika, tepatnya ketika kita telah selesai mengikuti UTS. Berlangsung class meeting, dengan kegiatan futsal putra dan putri. Alangkah nasib yang sudah pupus, tim putra kandas di penyisihan. Namun, berbanding terbalik dengan tim putri. Menuju perempat final adalah hal yang di luar dugaan. Tapi, aku tak ada kesempatan ikut mendukung ketika perempat final. Karena, hari libur menjadi hari penentu di pertandingan itu. Banyak dari temanku yang mendukung, aku pun mendukung tetapi dengan doa.
Doaku terjawab, jurusan kami masuk ke putaran final, WOW! Pertandingan pun telah di jadwalkan ketika waktu sekolah, bukan saat libur. Jadi, kami pun seluruh siswa jurusan akuntansi diberi kesempatan untuk mendukung. Aku perempuan, mendapat tempat ternyaman di tribun. Mereka para lelaki menempati posisi di belakang gawang. Intinya di bawah tribun, karena sudah tak ada tempat lagi. Begitu pun dia yang selama ini memandangku tanpa pernah bosan. Padahal aku tak pernah membalas senyumnya selama ini. Walau dalam batinku ada rasa aneh yang ingin membalas senyumnya itu.
Jadi, hari pun berlalu begitu cepat. Sekarang adalah saatnya kami para suporter akuntansi untuk menunjukkan diri dan mendukung tim kesayangan kami. Akuntansi Jaya!
Pakaian serba putih-putih dan lengkap dengan setiap peralatan suporter, mulut.
"Yo ayo, akuntansi jaya!
Kuingin kita harus menang."
"Dung deng dung deng."
Eh tunggu bentar, kayanya ada yang ketinggalan. Eh, gak ada deng, aku lupa. Hari pun diawali dengan pelajaran, tapi gak lama. Sebatas sampai jam ke-3 dan berbondong-bondong kita menuju GOR. Posisi ternyaman ku tempati persis di bangku penonton paling tinggi, tapi satu tingkat di bawahnya yang paling tinggi. Well, kami pun belum memulai kisah di tahapan ini.
Kita sama-sama berharap saja semuanya berjalan lancar.
To be continue . . .