Janji tetaplah janji.
Ashela bangun pagi ini. Sudah setahun sejak kepergian Defansa.
Hari ini pun sama, Ashlea berhenti sejenak di jembatan yang menjadi sumber lukanya selama ini. Tak lupa juga sekuntum mawar putih kesukaannya ia letakkan di pinggir jembatan itu, entah siapa saja mengambil bunga yang ditaruhnya setiap hari, atau bisa saja bunga itu terbang terbawa angin atau tergilas ban kendaraan. Sayang sekali.
Dengan tatapan nanar, Ashlea juga menghirup nafas panjang, menutup matanya sebentar membiarkan angin menerpa wajahnya yang kian semakin berseri setiap harinya.
Ah, gadis itu juga masih tahap rehabilitasi, dan sebulan lagi itu akan berakhir, maka Ashlea sudah dinyatakan sembuh dari berbagai trauma obat-obatan yang ia konsumsi dulu. Ada cerita menyakitkan di sana, dan Defansa adalah penyembuhnya sehingga timbul luka baru, sayang Defansa juga penyebabnya.
Setelah naik bus kota dengan satu kali turun, gadis itu telah sampai di tempatnya menjalani hidup sepertiga banyaknya dari dua puluh empat jam.
Perusahaan pengiklan. Di sanalah ia bekerja selama ini. Sejak kepergian Defansa yang membuatnya bangkit demi lelaki itu.
Sebenarnya berat, Ashlea hanya ingin mengurung diri seperti dulu, membatasi hidupnya dengan dunia luar seperti dulu, seperti saa belum bertemu dengan Defansa. Ada penghalang antara dirinya dan dunia.
Tapi nampaknya itu sulit. Sebagau balasan atas rasa bersalahnya, Ashlea harus menghukum dirinya dengan berkontak penuh pada dunia, kembali menjadi bagian dunia hina yang menyakitinya itu.
"Ashlea!"
Panggilan itu membuat Ashlea berbalik dengan satu gelas kopi di tangan kirinya dan ponsel hitam di tangan kanan. Setelah ia melihat siapa yang memanggil, gadis itu kembali berjalan.
Selalu gadis itu. Gadis cantik jelita pujaan semua orang yang ada di divisinya. Gadis ceria dengan latar belakang indah. Konon ayahnya adalah pemilik saham terbesar di perusahaan ini.
"Kau mengabaikan aku lagi?"
Memangnya kapan Ashlea pernah tidak mengabaikan gadis yang dipanggil Arsyi ini.
"Jika kau mengajakku makan siang, maaf aku tidak tertarik."
Arsyi menyamai langkah Ashlea. Bertolak belakang dengan kepribadian Ahslea yang suram, Arsyi ini sangat ceria dan berwarna.
Jika Ashlea disegani banyak orang, maka Arsyi sangat disukai banyak orang. Ashlea banyak diam, Arsyi banyak bicara. Ashlea mahal senyum, Arsyi sangat murah senyum.
Perbedaan itu saja sudah menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak cocok ubtuk berteman. Meski setahun lamanya ini Arsyi tetap menempeli Ashlea tapi sama sekali tak tergugah hati gadis itu untuk membukan bentengnya pada manusia, cukup ia buka bentengnya pada dunia saja.
"Kali ini tidak."
Ashela terhenti.
"Kau belum menerima kabar? Email dari tim penyusun?"
Ah, Ashlea khilap. Mungkin ia hilang kesadaran karena terlalu banyak minum obat tidur semalam.
Setahun lamanya, memang terbebas dari obat bahaya, tapi gadis itu malah rutin mengkonsumsi obat tidur, sebab susah baginya untuk tidur saat sudah matahari terbenam. Sejak saat itu, saat Defansa meniggalkannya bersama senja yang mulai menghilang kala itu.
"Tim penyusun?"
"Waw?!" Arsyi terkaget hingga menutup mulutnya. "Kau bicara padaku?"
Ini yang membuat Ashlea malas. Selalu saja gadis ini menanggapi hal-hal kecil menjadi lebih besar.
"Aku ketiduran."
"Emm, jika mau tau lanjutannya, makanlah bersamaku siang ini!"
Sial.
Gadis brengsek ini selalu saja membuat Ashlea terperangkap.
"Tidak perlu," jawab Ashlea singkat.
Lagipula dia bisa mengecek emailnya nanti.
********
"Saya?" tanya Ashlea datar.
"Lantas? Siapa yang ada di ruangan ini selain kau? Tidak mungkin saya, kan?" tunjuk ketua tim desain kepada dirinya sendiri.
"Tim penyusun?"
Ashlea bergeming sendiri sembari keluar mengikuti lajur usiran ketua tim yang tak pernah ia sukai sejak bergabung di dalam tim desain ini.
Tim penyusun. Mari kita bahas tentang tim ini.
Ketua tim yang sangat terkenal. Terkenal dengan ketampanan juga kekejaman terhadap anggota tim.
Siapa namanya? Jika Ashlea tak salah ingat nama ketua tim penyusun itu adalah ... Devano!
Mimpi buruk untuk Ashlea.
Lelaki yang dilihatnya saat ini ... katakan ia sedang tidak menghayal.
Beberapa kali Ashlea menggelengkan kepala, serta mencubit sedikit lengannya hingga nampak warna merah di kulitnya yang putih.
Dia tidak sedang bermimpi. Selama ini Ashlea hanya tau nama dan watak dari orang yang ada di depannya itu, membuka kertas portofolio dirinya dengan tenang membaca.
Setelah Ashlea bertemu langsung denga lelaki itu, untuk kali pertama jantungnya berhenti berdetak, wajahnya pucat serta sarafnya menegang. Ada rasa kerinduan yang ia tahan.
Kenapa lelaki itu sangat mirip dengan Defansa?
"Kau tuli?"
"Ya?"
Ashlea langsung mengerjap setelah mendengar suara berat yang menggelegar memenuhi ruangan itu. Beberapa anggota tim pun sampai heran dari balik jendela yang tak tertutup tirainya.
"Ah maaf," ucap Ashlea singkat dengan nada dinginnya. Seperti biasa.
"Ini yang membuat ketua tim sialan itu mentransfermu kepadaku?"
Ashlea menatap datar, tak mengerti.
"Karena kau pembawa sial."
Tak terima dengan ucapan barusan. Ashela langsung menatap tajam. Bukankah ini pertama kali mereka bertemu? Bukankah tidak sopan mengatakan pembawa sial kepada seorang yang baru pertama kali kau temui?
Sebodohnya Ashlea setidaknya ia paham mana hal sopan dan tidak.
"Bukankah kau keterlaluan?!" bentam Ashlea.
Pikirnya Ashlea tak bisa membentak seperti yang dilakukannya.
"Ini kali pertama kita bertemu dan kau sudah mengataiku pembawa sial?"
"Bukankah itu faktanya?" Devano tak mau kalah, memang laki-laki ini sangat tidak menyukai kata kalah. "Kau pembawa sial, aku banyak mendengarmu, dan ternyata benar, belum tepat sejam kau datang ke divisiku, aku kehilangan sebuah proyek besar!"
Lantas, apa itu salah Ashlea?
Ashlea pun tak berharap ada di tim ini.
Tak bisa menyahut karena tau diri atas statusnya yang masih bawahan, Ashlea menggenggam erat tangannya, menyimpan dendam jauh di lubuk hatinya, kepada lelaki bernana Devano ini.
"Akan kubawa kembali proyek itu!"
Ashlea pasti sudah tidak waras. Apa yang ia katakan tadi?
Mendengar ucapan Ashlea yang tak masuk akal, Devano tertawa ringan, menertawai kekonyolan Ashlea.
"Kau cukup berani, Ashlea."
Dengan tatapan mengejek sebuah tumpukan kertas proposal Devano serahkan kepada Ashlea.
"Tinjau itu! Dan bawa kembali proyek itu kepadaku, maka aku tak akan pernah menganggapmu pembawa sial."
Untuk apa sebenarnya Ashlea lakukan ini? Sejak duli dia tahu semua orang menganggapnya pembawa sial, tapi kenaoa ia hanya tersinggung saat Devani yang mengatakan itu?
Tak perlu bukti sebenarnya, sebab dirinya memang pembawa sial.
Sekarang apa yang harus dilakukannya dengan setumpuk kertas dengan corat-coret tinta merah ini?
Hari pertama pindah tim, dan dia sudah merasa menderita.
Untung saja seriap harinya memang sama ia rasakan, mencekik, membunuh, dunia memang selalu memaksanya untuk mati. Sebab demi Defansa dia harus tetap hidup dan pura-pura bahagia.
Ashlea tahu, Defansa melihatnya dari atas sana.
"Aku merindukanmu, Defansa."