webnovel

3

"...."

Adrian tidak bisa bergerak. Tenggorokannya tercekat. Tubuhnya menjadi kaku. Matanya terbuka lebar. Bibirnya perlahan bergerak seolah ingin bersuara namun tidak ada suara apapun yang keluar.

Perempuan yang bernama Arlyn itu, mengernyit melihat keberadaan sosok laki-laki yang tampak seumuran dengannya, memandanginya dengan ekspresi aneh.

"Siapa dia?" tanya Arlyn. Menunggu jawaban dari tamunya. Bu Leta.

Leta menyadari sosok Adrian yang berdiri di samping mobil dengan tas belanjaan miliknya.

"Oh ya ampun saya lupa. Mas, terimakasih sudah mengantar saya. Mas sudah mau pulang?"

Adrian merasakan beban di tangannya ditarik pergi. Tapi matanya masih tidak bergerak pergi dari wajah si perempuan.

Arlyn memasang ekspresi terganggu.

"Kau lihat apa?" tanyanya sinis.

Adrian, mendengar suara familiar itu lagi setelah begitu lama kembali mendapatkan kesadaran dirinya.

"S- Saya.."

Adrian bergumam.

Sekarang dia harus apa? Mengajak berkenalan, meminta nomor HP?

Adrian merapatkan kedua bibirnya. Memaksa dirinya untuk berpikir.

"Oh, Mba Arlyn. Tadi saya terserempet motor. Saya tidak apa-apa tapi mas ini menawarkan diri mengantar saya kemari. ...Mas?"

Leta juga, mulai menyadari keanehan si pemuda.

Ada apa dengannya?

Arlyn tidak repot-repot menyembunyikan ekspresi terganggunya. Dia hanya berniat keluar rumah untuk membuang sampah. Lalu Leta datang bertamu. Kini seorang laki-laki muncul di depan rumahnya. Menunjukkan sikap aneh.

"Bu Leta. Aku akan masuk. Ibu akan pulang atau bagaimana?"

Leta yang ditanya langsung mengalihkan perhatiannya dari si pemuda yang mengantarnya kemari. "Oh. Iya. Saya pulang sekarang. Ini isinya makanan. Jangan lupa dimasukkan ke kulkas."

Dia menyerahkan tas bawaannya kepada si perempuan yang langsung menerimanya dengan wajah datar. Dia kemudian kembali menolehkan wajahnya pada Adrian.

"Mas? Saya duluan ya. Terimakasih sudah mengantar."

Dirinya sudah lelah dan ingin cepat pulang. Rumahnya juga di daerah itu jadi dia hanya perlu berjalan kaki. Dia berbalik pergi. Kini hanya ada perempuan bernama Arlyn dan Adrian di depan sebuah rumah.

Arlyn menonton kepergian Leta sebelum menoleh ke arah laki-laki yang secara mengejutkannya, masih memandanginya dengan ekspresi yang.. terpana?

Arlyn mengernyit. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia memperhatikannya seperti itu? Tidakkah dia ingin pulang? Dia hanya menawarkan diri untuk mengantar Leta yang habis mengalami kecelakaan. Lalu kenapa dia tidak pulang juga?

Arlyn memutuskan untuk mengabaikan keberadaan si laki-laki dan berbalik masuk ke dalam rumahnya.

Adrian menyadari pergerakan si penarik hati reflek menggerakkan tangannya. Membuat pose meminta agar si perempuan tidak pergi menjauh dulu.

"A- Arlyn."

Arlyn yang merasa dipanggil kembali berbalik. Dahinya berkerut.

Orang ini. Belum pernah berjumpa dengan Arlyn sebelumnya, dan sekarang dengan begitu berani menyebut namanya? Lagipula kenapa dia tahu namanya? Mungkin dia mengenal Arlyn? Tapi di mana?

Arlyn tidak begitu peduli juga sebenarnya. Siapa dia tidaklah penting. Lebih baik menyuruh laki-laki itu berterus terang dengan alasan dia masih berdiri di sana, dan langsung kembali beristirahat di dalam rumahnya.

Arlyn memasang senyum khasnya.

A- Ah..

Adrian terdiam.

Senyum itu..

Akhirnya Adrian bisa melihatnya lagi.

"Kau punya urusan denganku?"

Orang itu memanggilnya dengan namanya meski mereka baru bertemu. Jadi Arlyn juga akan bersikap seolah mereka sudah akrab.

Adrian tersadar lagi. Mulutnya terbuka. Mengeluarkan suara yang terbata-bata.

"A- Aku," Dia memutuskan untuk mengeluarkan apa saja yang ada di pikirannya. Dia terlalu buta tentang situasi seperti sekarang. Dia tidak tahu cara mengajak berkenalan yang benar. Nevan pasti akan menertawakannya jika dia mengetahuinya.

"K..Kita, minggu lalu, di supermarket.."

Arlyn menaikkan sebelah alisnya. Memang benar dia ke supermarket untuk berbelanja minggu lalu. Orang ini melihatnya di sana?

"Hm. Ya. Aku ke supermarket waktu itu. Jadi, apa kita pernah saling kenal?"

Adrian menerima pertanyaan itu dengan perlahan menggeleng.

"Tidak.. Waktu itu pertama kalinya aku bertemu denganmu.."

Adrian menundukkan kepalanya. Memandangi beton trotoar yang dipijaknya.

Arlyn dengan tenang mengamati gerak-gerik Adrian. Ah. Dia menyadari warna merah di ujung telinga si laki-laki.

Arlyn tercengang.

Orang ini. Jangan-jangan..

"Hei."

Mendengar itu Adrian langsung mengangkat wajahnya. Perempuan di depannya memiringkan kepalanya.

"Kau mau mendekatiku? Kau.. Jatuh cinta pada pandangan pertama padaku?"

Arlyn melihatnya. Wajah laki-laki itu berubah kaku. Bibirnya bergerak-gerak. Dia pasti tidak menyangka Arlyn akan merespon seperti itu. Wajahnya agak memerah.

Sungguh?

Arlyn tercengang.

"Kau.. Jangan bilang, kau tidak membuntutiku kan?"

Adrian yang sebelumnya merasa tenggorokannya tercekat menerima tuduhan langsung memaksakan dirinya berbicara. "T- Tidak! I- Ini hanya kebetulan. Aku tidak membuntutimu. Membuntuti seseorang adalah kejahatan."

Adrian menggoyangkan kedua tangannya. Berusaha meyakinkan si perempuan bahwa tuduhannya tidaklah benar.

Arlyn diam memandangi Adrian.

"Sekarang. Apa yang akan kau lakukan? Meminta kontakku?"

Menerima pertanyaan itu Adrian membulatkan matanya. "..Apakah boleh?"

"Tidak."

"...."

Adrian memiliki ekspresi lucu di wajahnya. Setidaknya bagi Arlyn.

"Sebenarnya, aku tidak peduli apa kau jatuh cinta padaku atau tidak. Aku tidak mengenalmu. Dan aku tidak punya keinginan untuk memiliki hubungan dengan siapapun. Aku akan masuk ke rumahku. Kau pulanglah ke rumahmu. Lupakan aku."

Si perempuan berbalik masuk ke area pekarangan rumahnya. Mengabaikan Adrian yang ingin mengucapkan sesuatu, tapi terlalu bingung apakah dia harus mengucapkannya atau tidak.

Pintu tertutup. Lampu luar bersinar nyala. Adrian diam sejenak memandangi rupa luar rumah sang perempuan sebelum dengan langkah tak bersemangat masuk ke dalam mobilnya, membawa dirinya pulang ke rumahnya sesuai ucapan si perempuan.

****

".....Apa?"

Adrian dengan lesu mengulangi ucapannya. "Aku sudah tau tempat tinggalnya."

"Tempat tinggal siapa?"

"Arlyn."

"Siapa itu Arlyn?"

Ujung telinga Adrian berubah merah.

"Perempuan itu."

"...What?"

Nevan meluruskan pikirannya.

"WHAT?!"

Baru saja kemarin temannya memberitahunya soal sosok perempuan yang membuat Adrian jatuh cinta—yang jejaknya tidak ditemukan olehnya. Lalu esoknya, hari ini, dia bilang dia sudah tau tempat tinggal dan nama sosok perempuan itu?

Bukankah itu terlalu beruntung?

"Oke, oke. Jadi kau sudah tau nama dan tempat tinggalnya? Bagaimana bisa?"

Adrian menceritakan awal mulanya. Nevan mendengarkan dengan mulut terbuka.

"Kau tidak mengajaknya berkenalan? Kau bahkan tidak memberitahunya namamu? Lalu apa yang akan kau lakukan nanti? Apa kau akan mengunjungi rumahnya lagi?"

"...Tapi dia bilang dia tidak peduli soal aku. ....Dan dia bilang dia tidak mau memiliki hubungan dengan siapapun.."

Nevan memandangi tubuh lemas temannya. Kepalanya tertunduk. Membuat temannya itu tampak seperti anak anjing yang hilang.

Nevan belum pernah melihat Adrian seperti itu.

Temannya jatuh cinta pada seseorang, dan Nevan akan membantunya mendapatkan perempuan itu.

"Hei. Siang nanti kita ke mall. Kita akan belanja, dan nanti sore, kita akan ke rumah perempuan itu." ucap Nevan.

Adrian mengangkat wajahnya. ".....Kau ingin aku mendatanginya dengan membawakan sesuatu?"

Nevan menyeringai. "Semua perempuan tidak bisa menolak laki-laki dengan bunga, wajah tampan, dan dompet tebal. Hey. Kita diberkati dengan wajah tampan, sobat. Kau pikir kenapa perempuan-perempuan itu mendekatimu?

"Kau berwajah atraktif. Kau pintar. Juara kelas. Keluargamu keluarga berada. Dan kau, seseorang yang memiliki perusahaannya sendiri. Kau dan aku adalah sosok laki-laki di buku-buku kesukaan perempuan. Tidak ada yang akan menolak kita!"

Adrian menyimak ucapan percaya diri sahabatnya. "....Tapi dia menolakku.."

Nevan mendengus. "Waktu itu malam hari. Dia tidak melihat wajahmu dengan jelas. Kau menemuinya kemarin, kan? Kemarin pakaianmu terlalu biasa! Coba temui dia dengan dandanan yang lebih keren. Dan bawa dia ke tempat bagus. Gunakan uang di rekeningmu."

Nevan mengoceh menggebu-gebu. Begitu percaya diri dengan pemikirannya.

Adrian ragu dengan pendapat sahabatnya. Namun tentang berkunjung dengan bingkisan bukanlah ide buruk.

***

"Mba. Kami mau yang itu, yang itu, lalu yang ini."

"Mohon ditunggu."

"....Van. Apakah yang kau tunjuk itu tidak terlalu banyak?"

Nevan menepuk-nepuk bahu sahabatnya. "Banyak? Tidak sama sekali. Setelah ini kita akan ke toko boneka."

"....."

Keduanya sedang di toko perhiasan, dan sang sahabat yang memilihkan semuanya, sedangkan Adrian hanya terdiam. Tidak tahu apakah dia harus menghentikan temannya atau tidak.

Semuanya dibayar dengan kartu milik Adrian. Namun Nevan lah yang menekan tombol pin dan pergi ke kasir, sebelum menyerahkan kantong berisi perhiasan yang sudah dibeli pada si pemilik kartu.

Adrian menerima kantong jinjing yang diulurkan Nevan. Sahabatnya itu kemudian merangkul bahunya. Menggiringnya ke toko tujuan selanjutnya.

"Nanti kita akan ke rumahku. Akan kupinjamkan baju milikku. Lalu kita akan pergi ke tempat biasa aku membeli bunga untuk Grace. Lalu coklat. Arlyn mu pasti suka."

Adrian hanya menyimak. Membiarkan bahunya menanggung beban tangan Nevan.

"Hei. Lihat perempuan itu. Barang bawaannya banyak sekali. Kau ingin membantunya?"

Adriannya adalah laki-laki berhati malaikat. Nevan tidak berlebihan berpikir seperti itu.

Adrian langsung menoleh ke arah yang ditunjuk dengan dagu temannya.

Matanya langsung melebar begitu melihat sosok perempuan dengan banyak tas belanja di kedua tangannya.

04/06/2022

Measly033