webnovel

2

"....."

Nevan memandangi temannya dalam diam. Berhari-hari berlalu. Nevan bahkan sudah kehilangan hitungan harinya. Dia tidak menyadari hal itu sebelumnya. Namun setelah dipikir-pikir lagi, temannya bertingkah aneh beberapa hari ini.

Sudah berapa lama? Nevan bertanya pada dirinya sendiri.

Temannya itu, Adrian, selalu terlihat terkejut begitu melihat sosok seorang perempuan.

Adrian belum pernah bertingkah seperti itu sebelumnya. Adrian nya adalah laki-laki paling cuek yang tidak memiliki ketertarikan dengan perempuan. Tapi sudah beberapa kali, Nevan mendapati sang sahabat terdiam dikala dia sedang berjalan bersamanya, untuk membuat matanya menontoni pergerakan sesuatu.

Yang ketika Nevan teliti selama beberapa hari ini, Adriannya selalu memperhatikan perempuan. Dengan rambut terikat longgar.

Nevan memiliki ekspresi curiga di wajahnya.

Adrian duduk di bangku kerjanya seperti biasa. Saat ini dia terlihat seperti Adrian biasanya. Si laki-laki yang memiliki fokus penuh terhadap pekerjaannya.

"....Ian."

Adrian yang mendengar dirinya dipanggil menolehkan wajahnya pada si pemanggil. Satu alisnya terangkat naik. Nevan mengerutkan keningnya tipis.

"Tinggalkan dulu komputermu dan dengarkan aku."

Adrian merasa bingung tapi menuruti ucapan temannya. Pekerjaannya sudah selesai. Dia baru saja menekan tombol keluar dari aplikasi pembuat dokumen dan berniat untuk menelepon ibunya. Tapi sang rekan kerja sekaligus sahabatnya mengajaknya berbincang.

Nevan melihat Adrian meletakkan kedua tangannya di atas pahanya. Dia merubah arah duduknya, menjadi kearah Nevan. Nevan yang melihat sikap siap mendengarkan itu mulai membuka mulutnya.

"Kau sadar kau sudah bersikap aneh belakangan hari ini kan?"

Adrian yang menerima pertanyaan secara reflek menaikkan kedua alisnya sedikit.

"Aneh bagaimana?"

Nevan menggerutu. "Aku melihatmu memperhatikan perempuan lewat di saat kita makan siang tadi. Lalu kemarin. Kemarinnya kemarin. Lalu kemarin kemarinnya kemarin."

Adrian terperangah dengan cara bicara temannya namun tetap menangkap maksud ucapannya.

Adrian terdiam. Sudah seminggu berlalu. Adrian merasa gelisah. Perempuan di supermarket waktu itu, Adrian ingin melihatnya lagi. Dia ingin melihat senyum licik itu lagi. Dia ingin mendengar suara tanpa perasaan itu lagi.

Dia masih tidak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri kenapa waktu itu dia bergerak begitu lambat. Dia kehilangan jejak sang perempuan.

Sejak hari itu, sejak dia pulang dari supermarket, dia tidak berhenti mencari. Setiap dia keluar, setiap dia melihat sosok perempuan berambut panjang, dia akan menyisihkan waktunya meneliti wajah mereka. Namun dia tidak kunjung menemukan wajah menarik itu.

Setiap dia melihat siluet perempuan dengan rambut diikat longgar, jantungnya berdetak lebih cepat. Dingin menusuk dadanya, dan kekecewaan memenuhi hati dan benaknya di kala dia menyadari bahwa siluet itu bukanlah perempuan yang dia cari.

Adrian menundukkan kepalanya. Kedua tangannya bergerak di atas pahanya, membuat pose jari mengatup longgar.

Dengan perlahan dia membuka mulutnya.

"...Ada perempuan.."

Adrian berujar dengan suara pelan. Nyaris bergumam. Namun mereka sedang berada di ruangan tertutup dan sunyi. Nevan bisa menangkap ucapan Adrian dengan jelas.

"....Perempuan?"

Nevan mulai bertanya-tanya apakah dia salah dengar atau tidak.

Tapi Adrian mengangguk. Membuat Nevan terdiam, menunggu laki-laki yang merupakan sahabat sejak taman kanak-kanaknya itu melanjutkan kalimatnya.

"Aku bertemu dengannya di supermarket. Di hari kau menunjukkanku artikel tentang cara menjadi suami yang baik waktu itu."

Nevan mengingat ingat kapan waktu persisnya. Dan tercengang begitu dia ingat. Itu sudah seminggu yang lalu. Dia ingat dengan jelas karena di hari itu juga Grace berulang tahun. Dia tentu tidak akan melupakan hari menyenangkan itu.

"....Kau mencoba memasak?"

Adrian mendengar pertanyaan itu dan mengangguk lagi. Nevan tentu tau fakta bahwa Adrian belum pernah memasak. Supermarket dan artikel. Kesimpulan yang Nevan ambil adalah temannya itu mengikuti tulisan yang tertulis di artikel dan mulai mengambil langkah baru.

Lalu di saat itu, dia bertemu dengan seseorang? Yang menarik perhatiannya? Seorang Adrian?

Mulut Nevan bergerak terbuka. Mengucapkan 'wow' tanpa suara.

".....Kau tidak sempat berkenalan dengannya?"

Kali ini sang sahabat menggeleng.

Nevan merasa bahunya menurun. Memahami dengan jelas perasaan yang pasti tengah dirasakan oleh sahabatnya itu.

"Aku akan membantumu mencarinya. Beritahu aku ciri-cirinya. Ha.. pantas saja kau selalu melamun dan memperhatikan perempuan yang lewat."

Dia pasti ingin bertemu dengan perempuan itu lagi.

Nevan perlahan tersenyum.

"Apakah dia cantik?"

Ujung telinga Adrian perlahan memerah.

"Ha."

Adrian. Sahabatnya. Sedang jatuh cinta. Untuk pertama kalinya.

Nevan tentu tahu arti warna merah di telinga itu. Warna merah di telinga temannya itu hanya muncul ketika seorang guru memberi Adrian pujian di depan orang banyak.

Tapi sekarang tidak ada siapapun yang memujinya. Tapi, telinga laki-laki itu memerah.

Dia pasti cantik.

Nevan tersenyum puas.

Dia mulai penasaran. Kecantikan sehebat apa yang mampu menarik rasa suka seorang Adrian.

***

Adrian keluar dari bangunan kantornya. Hari sudah sore menjelang malam. Dia hendak masuk ke dalam mobilnya ketika seorang ibu dengan tas belanjaan di tangannya, menggerakkan kakinya hendak menyeberang. Namun seorang pengendara motor dengan lalai tidak menyadari keberadaan seorang penyeberang, dan ibu itu pun terserempet.

"Ya Tuhan!"

Sang ibu berseru kaget dan terjatuh. Si pengendara berhenti sebentar, menengok keadaan sang korban, sebelum dengan buru-buru kembali melajukan motornya.

Adrian, mengabaikan mobilnya yang sudah terbuka, berlari menghampiri sang ibu.

"Bu. Ibu tidak apa-apa?"

Dia membantu sang ibu bangun. Beliau tampak baik-baik saja. Hanya sedikit syok dengan kejadian yang baru saja terjadi barusan.

"Ya ampun. Orang itu. Untung saja aku tidak mati." Gerutunya. Dia menepuk nepuk rok pakaiannya, menyingkirkan debu pasir jalanan dari baju dan tangannya.

Adrian membungkukkan tubuhnya mengambil tas belanjaan milik sang ibu.

"Terimakasih ya mas. Saya sudah tidak apa-apa." Ucapnya tersenyum lembut. Ujung matanya mengerut akibat matanya yang menyipit kala tersenyum. Dua tangan yang sudah mulai keriput bergerak mengambil tas belanjaan dari tangan Adrian. Adrian yang tidak merasa punya urusan membuka mulutnya.

"Ibu mau kemana. Boleh saya antar?" Tanyanya.

"Ya? Oh. Saya mau mengunjungi keponakan. Tidak perlu, mas. Tidak perlu repot-repot."

Beliau memberi penolakannya dengan senyum. Tapi Adrian bukan tipe orang yang bisa meninggalkan orang yang sedang dalam kesulitan begitu saja. Adrian mencoba lagi.

"Saya bawa mobil. Ibu bisa menumpang sama saya. Ibu tidak mau?"

Sang ibu memandangi wajah Adrian. Adrian adalah pemuda yang tampan. Sang ibu berpikir-pikir lagi, dan akhirnya dengan senyum lebar menerima tawaran Adrian.

"Boleh deh mas." Tanggap wanita itu. Memasang senyum malu-malu. Adrian tersenyum ramah. Dia mengambil tas belanjaan dari sang ibu. Mengajaknya menuju mobilnya.

Sang ibu mengarahkannya ke sebuah area perumahan. Adrian membawa mobilnya melewati area perkomplekan hingga sang ibu akhirnya menunjuk sebuah rumah sebagai tempat pemberhentian.

Adrian menekan tombol kunci pintu. Sang ibu yang mendengar suara kunci pintu terbuka langsung menggerakkan kedua tangannya membuka pintu.

"Mba Arlyn."

Sang ibu meninggalkan tas belanjanya. Jadi Adrian mengambilnya, keluar dari mobil, berniat menyerahkan tas itu pada sang ibu.

Ketika matanya menangkap rupa wajah yang selama seminggu ini tersangkut di benaknya.

04/06/2022

Measly033