webnovel

14

Ketika Riel ke kelasnya, dia mendengar kabar bahwa Raees pindah sekolah. Riel tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.

Nura merasa dirinya tidak memiliki wajah untuk tetap bekerja di perusahaan Adrian dan mengundurkan diri. Adrian tidak mengerti kenapa Nura mengambil keputusan itu tapi tetap memberi persetujuan. Dia pikir, jika memang Nura berkeinginan seperti itu, maka Adrian akan mengijinkannya. Tidak bagus untuk seseorang berkerja ketika seseorang itu tidak merasa nyaman.

Nevan yang melihat penyerahan surat pengunduran diri Nura hanya bisa bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sesuatu terjadi. Nevan tau. Sesuatu terjadi di antara Adrian dan Nura.

Begitu Nura meninggalkan ruangan Adrian dan Nevan, sang sahabat langsung menuntut jawaban.

"Kau, tidak berpaling dari Arlyn kan?"

Mata Adrian melebar. Kedua alisnya tertarik ke atas. "Ya?"

"Kau, tidak melakukan sesuatu pada Nura kan?" Nevan bertanya lagi. Matanya memicing penuh kecurigaan.

Yang membuat Adrian dipenuhi tanda tanya. "Melakukan apa?"

Mata Nevan memicing. Namun kemudian dia sadar bahwa yang kini berada di depannya adalah Adrian. Laki-laki yang tidak pernah berhubungan dengan wanita. Tidak mungkin Adrian berinteraksi dengan seorang lawan jenis kecuali untuk alasan pekerjaan. Adrian tidak mungkin berinteraksi dengan Nura. Jadi, apa yang terjadi di antara mereka? Nevan sangat yakin sesuatu terjadi.

"Haa.... Kalau begitu beritahu aku. Kenapa Nura tiba-tiba mengundurkan diri. Sesuatu terjadi, dan itu berhubungan denganmu."

Adrian terdiam. Menangkap maksud Nevan.

Dia kemudian mengalihkan pandangannya. "Kemarin, aku menemui Arlyn." Nevan mendengarkan dengan penuh antusias.

"Dia buru-buru. Memintaku untuk mengantarnya ke sekolah Riel." Lagi-lagi Adrian menyebut nama seseorang yang Nevan tidak kenal. Tapi dia bisa menebak bahwa itu nama salah satu anak Arlyn. Entah yang ke-berapa.

"Ketika sampai, aku melihat Nura. Anaknya punya masalah dengan Riel. Nura," Adrian menghentikan ucapannya sampai di situ. Dia tidak mau menyebar keburukan seseorang.

"Sesuatu terjadi."

Nevan di mejanya menggerutu. Dia duduk di pinggiran meja nya.

Sesuatu terjadi? Tentu saja sesuatu terjadi. Tapi apa?

"Dia, tidak mencoba untuk menyatakan perasaannya padamu kan?"

Mata Adrian melebar. Dia menoleh pada Nevan. Alisnya bertaut bingung. Tidak mengerti kenapa Nevan memiliki pemikiran itu.

"Sampai kapan kau akan tidak menyadarinya? Tidakkah kau sadar hampir semua perempuan di sini punya perasaan padamu? Mereka semua berharap mereka bisa menjadi sosok wanita untukmu. Yang sudah menikah berharap kau akan menjadi ayah untuk anak mereka. Membebaskan mereka dari status janda." Nevan mendengus. "Nura salah satu dari mereka. Salah satu alasannya melamar kerja di sini adalah karena ingin mendekatkan dirinya padamu."

Dia meringis. "Tapi apa yang sebenarnya dia harapkan? Adrian sahabatku adalah orang yang tidak punya ketertarikan dengan lawan jenis. Dia hanya tertarik padaku." Nevan memasang wajah sedih dramatis. Memeluk dirinya sendiri. Adrian tidak mampu berkata-kata di tempat duduknya.

"Syukurlah kau sudah menemukan sosok pemilik hatimu, wahai sahabat. Aku benar-benar sempat khawatir kau adalah pria belok! Kau tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada siapapun dan merasa sangat nyaman dengan hanya berteman denganku. Kau bahkan tidak mendekatkan diri pada teman-teman kita yang lain! Hanya denganku. Sahabatmu sejak taman kanak-kanak." Nevan meringis. Jarinya menempel pada matanya yang memejam seolah dia sedang menyingkirkan air mata. Nyatanya dia tidak menangis. Tentu saja dia tidak menangis. Dia hanya menggoda Adrian

Meski memang benar dia pernah punya kekhawatiran itu. Dia tidak bohong.

Tapi syukurlah Adrian hanya sekedar belum menemukan sosok perempuan untuknya. Karena dia sekarang sudah menemukannya, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Adrian hanya bisa terdiam dengan bibir sedikit terbuka di tempat duduknya. Memandang Nevan dengan wajah syok. Tidak menyangka itulah yang terjadi dan tidak menyangka Nevan punya pemikiran seperti itu tentangnya. Nyatanya dia bukanlah pria belok. Dia tidak pernah menduga pemikiran itu akan muncul terhadapnya. Adrian tidak bisa berkata-kata.

***

Ketiga anak sekolah dasar di sebuah rumah sedang menggambar di atas meja makan. Mereka berlomba-lomba membuat gambar yang paling bagus di antara yang lain.

Hal yang selalu mereka lakukan.

Kali ini mereka akan menggambar wajah Arlyn. Umi mereka.

Arlyn sedang tidak ada di rumah. Dia pergi ke toko kue nya. Melakukan perannya sebagai pemilik toko. Memeriksa beberapa hal. Mengurus beberapa hal. Leta juga ada bersamanya. Azel, Riel dan Abi bertiga sendirian di dalam rumah. Menunggu kepulangan Arlyn. Memastikan semua pintu sudah terkunci. Jendela tertutup rapat. Bahkan lampu dimatikan. Menunjukkan seolah tidak ada orang di dalam rumah. Hal yang selalu Arlyn instruksikan pada mereka.

"Sudah jadi!" seru Riel semangat. Dia memeluk kertas gambar ke dadanya. Menyembunyikan gambar di baliknya dari kedua saudaranya.

Abi terperanjat dan buru-buru menyelesaikan gambarnya. Tidak mau kalah. "Aku juga!" Dia ikut memeluk hasil gambarnya. Azel yang paling tenang. Dia tidak peduli jika kedua adiknya selesai lebih dulu. Dia akan memberikan yang terbaik untuk gambar umi nya.

Azel akhirnya meletakkan pewarna di tangannya di atas meja. Riel tersenyum dan langsung berseru. "Satu, dua, tiga!"

Ketiganya mengangkat hasil gambar mereka. Memamerkannya pada satu sama lain. Azel memejamkan mata. Tidak begitu penasaran dengan hasil gambar kedua adiknya. Dia diam-diam punya cukup percaya diri bahwa gambar nya lah yang paling bagus.

Riel dan Abi saling melihat gambar satu sama lain. Abi menggerutu. Riel merengek.

"Tidak!!! Kakak!! Kenapa kakak pandai sekali menggambar??! Aku juga mau!!" Riel memukulkan gambarnya ke meja sekaligus memukul permukaan furnitur kayu itu.

"Ajari aku!!"

Azel tidak menjawab. "Aku sudah sering mengajarimu. Kau tidak pernah mengikuti ucapanku."

"A- Aku lupa!! Ajari aku lagi!!" pinta Riel.

"Tidak."

"Kakak!!!" Riel merengek.

Seketika mereka mendengar seseorang membuka kunci pintu. Ketiganya sama-sama menoleh. Hari sudah sore. Langit menggelap. Tidak ada cahaya yang cukup untuk menerangi ruangan tapi ketiga anak itu menggambar dalam gelap.

Pintu terdorong terbuka. Lampu ruang tamu dan lampu luar dinyalakan. Termasuk lampu di atas meja makan tempat ketiga anak itu duduk menggambar. Sosok Arlyn muncul dari balik pintu. Melepaskan alas kakinya.

"Umi!!" Abi berlari ke arah Arlyn. Memeluk pahanya. Arlyn langsung meletakkan tangannya di kepala anak itu. Sudah tahu Abi akan langsung menerjangnya. Anak itu selalu melakukannya. Tidak pernah tidak. Jika tidak, maka ada sesuatu pada anak itu. Dan Arlyn jadi akan harus menenangkannya.

Arlyn tidak tahu bagaimana dia harus menghadapi Abi. Jika mood anak itu sedang baik, dia akan menjadi berisik dan rewel. Meminta Arlyn untuk memanjakannya. Mengganggu ketenangannya. Tapi jika mood anak itu sedang tidak baik, anak itu tidak akan mengganggunya. Arlyn akan mendapatkan ketenangan yang dia mau.

Tapi sayangnya justru ketika Abi sedang murung Arlyn merasakan ketidaknyamanan di hatinya. Seolah dia terpengaruh oleh aura gelap yang dikeluarkan Abi. Itu membuatnya kesal. Sesak. Dan tidak nyaman. Dia akan mencari cara untuk menenangkan anak itu. Menghiburnya. Mencari cara agar anak itu tidak lagi murung. Tidak lagi mengeluarkan aura gelap yang akan menyesakkan Arlyn.

"Kue?" Riel ikut lari menghampiri Arlyn. Bertanya dengan wajah antusias.

Riel senang ketika Arlyn pergi ke toko kue nya. Akan ada beberapa kue yang tidak habis terjual. Dan kue-kue itu akan dibagikan kepada para orangtua pekerja. Untuk diberikan kepada keluarga mereka. Begitu juga dengan Arlyn. Dia akan membawa kue yang tersisa untuk ketiga anak di rumahnya.

"Hanya ada satu." Hari ini semuanya habis terjual. Hanya ada satu yang tersisa karena ketidaksempurnaan pemberian krim. Krimnya tidak terbentuk dengan sempurna. Leta yang merupakan seorang perfeksionis tidak menerima kue dengan kesalahan pemberian krim itu untuk muncul di kaca toko kue Arlyn. Leta mengambil kue cacat itu dan menyimpannya untuk Riel. Tau Riel akan suka.

"Kakak dan Abi tidak mau, kan?" tanya Riel dengan senyum lebar. Kedua saudaranya menggeleng. Di antara mereka hanya Riel yang gemar makan. Tapi anak itu tidak pernah gemuk karena dia selalu bermain. Keceriaannya membuat semua makanan itu habis terbakar seiring pergerakannya.

"Ini akan menjadi kue terakhirmu minggu ini." Arlyn bersuara. Menutup pintu di belakangnya.

Riel melebarkan matanya terkejut. "Apa?!! Kenapa????" tartarnya tidak terima.

"Kau terlalu banyak makan gula. Itu tidak baik untukmu." sebut Arlyn. "Jangan sampai aku melihatmu memakan manis lagi atau aku tidak akan pernah membiarkanmu memakan kue lagi."

"Tidak!!!!" Riel merengek menderita. Dia menunduk. Memandangi lantai dengan mata memelas. Mencari-cari sesuatu. "B, baiklah! Aku tidak akan makan kue lagi. Tapi minggu depan aku mau kue buatan umi!"

Arlyn hanya bergumam. Dia mengulurkan tas kertas berisi kue dan langsung diambil oleh Riel. Membawanya ke meja makan. Sudah tau kue yang dibawa Arlyn akan bisa dimakan tanpa sendok.

"Umi! Kami menggambar umi!" Abi berseru dari bawah. Memasang senyum cerah.

Arlyn terdiam sebelum mengeluarkan gumaman.

Dia sudah sering menerima hadiah seperti gambar dari ketiga anak asuhnya tapi dia tidak pernah mampu membiasakan diri. Akan selalu terkejut seperti pertama kalinya. Tidak percaya ketiga anak itu akan memberikan sesuatu seperti gambar padanya.

Abi menarik Arlyn untuk ke meja makan. Riel menyadari kedatangan Arlyn dan langsung menurunkan kuenya. Masih dengan mulut penuh oleh kue yang belum terkunyah. Mengelapkan tangan yang licin oleh mentega dari kue ke bajunya. Dia mengambil hasil gambar miliknya. Memegangnya dengan kedua tangan dan mempertunjukkannya pada Arlyn. Abi memanjat kursi dan mengambil hasil gambar Azel dan dirinya. Menyeretnya ke arah Arlyn. Menunjukkannya pada perempuan itu.

Mereka adalah gambar wajah Arlyn.

Rambut lurus panjang. Alis yang tajam namun tipis. Bentuk mata yang ujungnya sedikit tertarik ke atas, hidung terbentuk, dan bibir yang tipis. Itu Arlyn.

Mungkin gambar milik Riel dan Abi masih hanya berupa coretan coretan warna. Tapi siapapun bisa melihat bahwa mereka menggambar umi mereka. Orang yang sudah menjadi sosok orangtua untuk mereka.

Gambar Azel, dia benar-benar menggambar wajah Arlyn. Masih ada beberapa kekurangan tapi anak itu memiliki bakat dalam menggambar. Arlyn berpikir bahwa Azel memiliki jiwa seni yang sudah bisa terlihat. Arlyn bertanya-tanya apakah dia harus mendaftarkan Azel pada sebuah kursus menggambar, mengarahkannya untuk menjadi seorang artis. Mungkin desainer grafis. Arlyn pikir itu akan cocok untuk anak itu.

"Hm. Kalian melakukan pekerjaan bagus."

Sama dengan Arlyn yang tidak pernah bisa membiasakan dirinya pada sebuah gambar yang dipersembahkan padanya, ketiga anak itu juga akan selalu merasa gembira ketika Arlyn memberikan pujian pada mereka. Riel dan Abi tersenyum sumringah. Azel mungkin tidak menunjukkannya. Tapi siapapun yang sudah mengenal Azel pasti bisa melihatnya. Dia terhibur oleh pujian Arlyn.

Arlyn menoleh pada Azel dan menepuk kepala anak itu. Azel menundukkan kepalanya. Merapatkan bibirnya malu-malu. Sedangkan Arlyn tengah berpikir untuk mengarahkan Azel menjadi seorang penggambar.

"Kalian sudah makan?" tanya Arlyn

"Belum!" Riel berseru sedangkan kedua anak yang lain menggeleng. Gelengan Azel tenang sedangkan Abi menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tidak sabar untuk makan bersama Arlyn.

Arlyn memasak. Azel membantunya memotong beberapa sayuran. Riel dan Abi menonton dari sofa. Menyenderkan tubuh bagian depan mereka pada senderan tempat duduk empuk itu. Riel selalu bilang dia ingin menjadi koki. Dia ingin ikut memasak. Tapi setiap dia melakukannya dia hanya akan membuat keributan di dapur. Mengundang wajah gelap dari Arlyn. Dan akhirnya Azel lah yang akan membereskan kekacauan adiknya itu.

Arlyn bertanya-tanya bakat apa yang akan dimiliki Riel. Tidak mungkin memasak, kan? Anak itu suka makan dan selalu bilang kalau dia mau menjadi koki tapi Arlyn belum bisa melihat kemampuan anak itu dalam memasak. Justru Azel lah yang lebih banyak menunjukkan keahlian memasaknya. Anak itu sudah bisa membuat beberapa masakan seperti sup dan pasta tanpa bantuan Arlyn. Entah darimana dia belajar.

Mungkin ketika dia dan kedua saudaranya masih di panti asuhan? Atau dari menonton televisi? Arlyn melihat bahwa anak-anak seumuran Azel Riel dan Abi bisa mempelajari sesuatu hanya dengan menonton sebuah video di tv. Mungkin itulah yang terjadi. Ketiga anak itu cukup sering menonton televisi di kala senggang. Kalau tidak mereka akan menggambar, menulis, atau bermain di taman belakang. Hanya dengan mereka bertiga. Mereka selalu melakukan segala hal bersama. Menjadi rekan untuk satu sama lain.

Sedangkan Abi, Arlyn belum bisa melihat apapun dari anak itu. Abi tidak pernah menunjukkan apa yang dia suka atau cita-cita apa yang dia punya. Dia selalu memasang senyum lebar ketika ditanya. Tapi tidak pernah menjawab. Dia hanya berkata bahwa dia ingin tinggal bersama Arlyn selama-lamanya. Terus berempat bersama kedua saudaranya. Di rumah mereka. Di rumah Arlyn.

Yang mengundang kegerutuan dari Arlyn tapi dia tidak protes. Itu respon yang wajar dari Abi.

Abi selalu begitu sederhana. Dia hanya ingin bersama Arlyn. Tinggal bersama Arlyn. Mendapat manjaan dari Arlyn. Dia tidak pernah meminta lebih. Berbeda dengan Riel yang banyak merengek untuk dibelikan makanan manis. Sedangkan Azel sejak awal adalah anak yang malu-malu. Tidak pernah meminta apapun kepada Arlyn kecuali untuk kepentingan mendesak. Seperti acara sekolah atau uang kas kelas.

Malam sore itu, sebuah keluarga kecil berisikan empat orang makan makan malam bersama dengan keceriaan dari dua anak di dalamnya.

04/06/2022

Measly033