Bus antarkota yang ditumpangi Rei, Rana dan Rei ternyata tidak berhenti di alun-alun kota Kebumen. Seenaknya saja supir bus menurunkan mereka bertiga di jalan berbatu yang kiri dan kanannya masih sawah. Supir bus bilang nanti juga ada bus lain yang mau angkut.
Mulut Ben langsung manyun. Moga-moga dia tidak ceramah tentang buruknya angkutan di Indonesia dibanding Prancis. Ya begitulah euforia mahasiswa yang baru pulang dari kuliah di Eropa. Apa-apa yang berbau Nusantara dikritiknya habis-habisan.
Kemarin, lagu karya musisi Indonesia yang diprotes. Ben sebal dengan lagu-lagu pop yang mendayu dan seolah meratapi nasib yang malang. Katanya kalau di Prancis, lagunya semangat dan penuh optimisme.
Lagu pop yang diprotes Ben dinyanyikan seorang mantan pengamen jalanan yang kehilangan satu kakinya. Lirik dan nadanya yang menyayat hati diciptakan sendiri oleh si mantan pengamen.
Ah, Ben mana mengerti, ada orang-orang di kolong langit yang tak tahu artinya optimisme. Sebab semua yang pintu yang memungkinkan mereka untuk berpikir positif sudah ditutup sebelum mereka sempat memohon. Ya, Ben kan tidak pernah hidup susah. Statusnya sebagai pangeran di tanah Pasundan jelas memberinya banyak hak istimewa.
Untunglah, sebelum ceramah Ben Tetang angkutan di Eropa meledak, satu bus ukuran sedang berhasil diberhentikan oleh Rana. Tergopoh-gopoh, kembali mereka angkut barang-barang yang tadi sempat diturunkan dari bus yang sebelumnya. Ketimbang harus mendengar ocehan Ben, Rei memilih tidur.
Deru kendaraan bermotor terdengar saat bus memasuki pusat kota Kebumen. Mata Rei yang redup kembali bergairah. Kota baru, petualangan baru. Tepat di alun-alun kota Kebumen, mereka turun. Ben yang kelaparan ingin makan dulu.
Terpaksa Rei kontak Dahan Jati untuk menjemput mereka bertiga di restoran cepat saji yang ada di dekat alun-alun. Tak lama Dahan datang menggunakan motor. Perempuan yang selalu ceria itu tampak lebih kurus. Tapi aura positif tak pernah hilang dari pipinya yang selalu merona. Juga sepasang mata yang berbinar-binar.
"Kok kalian lama banget sih?" Belum juga duduk, Dahan sudah proses.
"Kami tersasar. Eh, tidak juga sih. Lebih tepatnya kami diturunkan bus di tengah jalan." Sahut Rei sambil melihat-lihat buku menu.
"Hahaha...kalian diturunin di tengah jalan? Hahaha....ya ampun...."
Muka Ben langsung kusut. Syukurlah pesanannya cepat datang. Kalau perut Ben kenyang, minimal dia akan mengantuk dan memilih tak banyak omong. Mereka baru sampai rumah Dahan hampir Maghrib. Ibunya Dahan menyajikan teh dan kue-kue tradisional.
"Ini kota sepi banget?"
Ben duduk di ruang tamu Dahan sambil menyeruput teh manis hangat.
"Gak ada bioskop di sini?" Tanya Ben lagi
"Gak ada," sahut Dahan. Singkat.
"Gak ada mal besar juga?"
"Gak ada."
"Wah...hiburannya apa dong? Peluang usaha nih."
Mata Dahan langsung melotot mendengar celoteh Ben.
"Ah, buat apa? Tidak butuh hiburan seperti itu kok."
"Tapi kan bosan kalau tidak ada hiburan seperti mal."
"Ben, jangan samakan kota yang gaduh dengan di sini dong. Banyak hiburan wisata alam dan pagelaran budaya. Gak semua orang senang dengan yang ada di kota."
"Minimal kan ada mal buat belanja."
"Ya kan ada pasar, Ben. Masuknya mal ke kota ini justru bisa menggusur pedagang-pedagang kecil di pasar. Ah, kamu mana mengerti yang begitu? Pikiran Eropamu tidak akan bisa menyentuh bumi."
Hari menjelang malam, Ben dan Dahan masih berdebat sengit. Bagi Ben, semua bisa jadi peluang usaha. Tapi bagi Dahan, semua yang di-kapitalisasi hanya akan menyengsarakan rakyat kecil.
Langkah kaki Rei ke kamar Dahan menyudahi perdebatan mereka berdua. Rana malah sudah lebih dulu ada di kamar. Dia tak mau ikut berpikir rumit. Ben juga pergi ke kamar yang lain.
"Ben, lampu kamarnya jangan dimatikan."
"Yah, saya kan biasa tidur dengan lampu mati. Silau kalau menyala begitu."
Tatapan mata Dahan jadi lebih tajam. Bicaranya juga sengaja dibuat agak berat.
"Ben, percaya saja. Kamu kan tidak tahu rumah ini. Aku tidak menjamin ya kalau terjadi apa-apa saat kamu matikan lampu. Aku sudah peringatkan."
Siingg....tanpa sadar, Ben meraba tubuhnya sendiri. Bulu kuduknya merinding. Matanya ikut melotot.
"Me..memangnya ada apa?"
Dahan menarik napas panjang. "Tidak, aku tidak mau membuatmu tidak bisa tidur. Sudahlah Ben, lampunya jangan dimatikan ya. Aku takut ...."
"Takut apa?"
"Ah, Ben, sudah, aku mau tidur. Pokoknya kalau Kamu mau tidur nyenyak. Lampunya jangan dimatikan. Aku sudah ingatkan ya. Resiko Kamu tanggung sendiri."
Suara lolongan anjing terdengar saat Dahan meninggalkan Ben sendirian di kamar. Semakin merinding saja tubuh Ben. Sial, Dahan bahkan tak mau cerita rahasia di kamar yang ditempati Ben. Pelan-pelan, Ben menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
Di kamar lain, bukan cuma Ben yang penasaran. Insting Rei mengira-ngira ada yang tidak beres.
"Kenapa lampunya tidak boleh dimatikan?" Tanya Rei penasaran. "Adakah cerita mistis di kamar itu?"
Di luar dugaan, Dahan malah menutup mulutnya sendiri agar tidak tertawa keras.
"Hihihi...lampu itu satu saklar dengan lampu di kamar ibu dan ayahku. Kalau lampu itu mati, otomatis lampu kamar orang tuaku juga mati."
Tak bisa Rana tahan tawanya. "Hahaha...pasti sekarang Ben sedang bertanya-tanya dan sedikit ketakutan."
"Ah, biar saja. Biar tahu rasa," ujar Dahan sambil senyum-senyum.
Ketika tengah malam, Rei ingin pergi ke toilet, dilihatnya pintu kamar yang ditempati Ben sedikit terbuka. Lampunya masih menyala. Sosok Ben bersembunyi di balik selimut tebal. Buru-buru Rei tutup mulutnya, agar tawanya tak menyusup ke dalam selimut Ben.
Makan pagi sudah tersaji di meja waktu bangsawan tanah Pasundan itu bangun dari tidurnya. Tak ada satu pun yang membahas tentang pintu kamar tempat Ben tidur yang terbuka.
Dua motor disiapkan di halaman rumah Dahan. Satu motor digunakan Ben dan Rana. Satu lagi untuk Dahan dan Rei. Tentu yang jadi pemandunya ya Dahan. Motor yang dikendarai Ben mengekor di belakang Dahan.
Sekali lagi mata Rei dimanjakan dengan hamparan sawah hijau. Sayang sekali, daerah seindah ini harus menuai konflik. Info tentang prahara di Kebumen pernah diceritakan Dahan. Kebetulan skripsi Dahan juga membahas tentang ini.
Mereka sampai di Pantai Setrojenar saat tempat wisata ini belum terlalu ramai. Memasuki area pantai, bisa Rei lihat pasir hitam berkilau tersengat cahaya matahari. Bukan pasir biasa, tapi pasir besi yang menjadi buruan para penambang. Orang bilang, pasir putih anugerah dan pasir hitam adalah musibah. Sebab begitu berharganya pasir hitam yang mengandung besi ini, penduduk di sekitarnya tak bisa hidup tenang.
Cerita pasir besi di Pantai Setrojenar—yang termasuk wilayah Urutsewu—telah mendulang konflik yang mungkin luput dari telinga ribuan insan.
Urutsewu ini sebutan untuk kawasan pesisir selatan yang membentang dari Cilacap, Kebumen dan Kulonprogo. Di Kebumen sendiri kecamatan yang termasuk Urutsewu ada Klirong, Petanahan, Puring, Buluspesantren, Ambal dan Mirit.
Masyarakasat Urutsewu punya sistem pembagian dan pengelolaan tanah sendiri. Misal, di Desa Kaibon Petangkuran, terdapat blok dokelan, kuburan, jenggreng, gupakan, pangonan dan kisik. Kuburan untuk kubur mayat. Pangonan atau bera sengaja adalah tempat pengembalaan ternak. Sedang kisik, wilayah tepi pantai. Di Desa Setrojenar, dongkelan disebut kacangan dan gupakan disebut gumuk kewadonan.
Tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah bera sengaja, yang sengaja tidak dibudidayakan. Tanah bera sengaja muncul sebagai bagian dari konsep ekologi masyarakat Urutsewu.
Zona ini sengaja di-bera-kan atau belum dibudidayakan untuk pemenuhan kebutuhan area pengembalaan ternak. Area inilah yang digunakan militer untuk latihan uji coba senjata. Mereka pikir, karena tidak dibudidayakan, maka tanah itu kosong dan menjadi tanah negara
Awalnya sengketa kepemilikan terjadi antara militer dan warga. Pihak militer mengklaim itu tanah mereka. Katanya karena sejak tahun 1937 dikuasai oleh Pemerintah Belanda, tahun 1940 dikuasai oleh tentara Jepang. Nah sekarang kan tidak ada lagi penjajah, jadi tanah itu dibawah penguasaan mereka. Tapi ini dibantah oleh warga yang mengatakan kalau di masa kolonial pun sudah ada klangsiran.
Klangsiran tanah ini semacam pemetaan tanah yang dilakukan oleh mantri klangsir dengan tujuan menetapkan pajak. Katanya saksi sejarah sih, klangsiran di Urutsewu terjadi tahun 1932. Yang boleh mengikuti klangsiran hanya mereka yang punya tanah. Setelah itu dibuat pal batas antara tanah warga dengan tanah yang dikuasai kompeni. Ada juga yang menggunakan istilah tanah pemajekan, karena dikenakan pajak.
Penarikan pajak tahun 1962 menggunakan pethuk, karena belum ada sertifikat.
tahun 1960 militer mulai melakukan latihan di Urutsewu. Konflik muncul saat tahun 1980-an didirikan kantor Dinas Penelitian dan Pengembangan milik militer di Desa Setrojenar. Warga keberatan, karena latihan ini merusak pohon di sekitar dan juga merusak perkebunan warga.
Konflik kembali memanas ketika tahun 2007 patok yang menjadi batas dengan tanah milik warga bergeser hingga 750-1000 meter dari garis pantai. Padahal awalnya hanya 500 meter dari garis pantai.
Lalu perusahaan mendapatkan izin untuk melakukan penambangan pasir besi. Warga menolak. Penambangan pasir besi ini menimbulkan konflik ekologi politik di Urutsewu. Jika lahan ini digunakan untuk penambangan pasir besi, warga tidak bisa melakukan kegiatan pertanian. Jika mereka tak bisa bertani, hilanglah mata pencaharian. Penambangan pasir besi pasti butuh tenaga ahli, tenaga warga yang biasa bertani tak akan diterima di sana.
Dalam hening, Rei amati pantai yang penuh kontroversi ini. Ternyata lumayan ramai. Orang-orang bermain di pinggir pantai. Ada yang berenang di tepian, ada yang bermain layang-layang dan ada yang naik kuda. Pantai ini punya garis pantai yang cukup panjang dengan ombak yang menggulung cukup tinggi. Khas pantai selatan.
Seolah menasbihkan Kebumen sebagai daerah psisir di selatan Pulau Jawa. Sedikit banyak, budaya pesisiran dan corak masyarakat petani akan berpengaruh pada motif-motif batik dari Kebumen.
Meninggalkan Pantai Setrojenar. Motor diarahkan ke Gemeksakti. Lebih tepatnya Kampung Batik Tanuraksan. Di tempat ini Dahan memperkenalkan tiga tamunya bertemu Pak Arya Guntur, seniman dan budayawan Kebumen yang berjanji menemani melihat-lihat batik Kebumen.
Memang dibanding tetangganya (Yogyakarta dan Solo), batik Kebumen masih belum terlalu populer. Tapi bukan berarti batik Kebumen tak menyimpan keindahan dan filosofi tersendiri. Dekat secara wilayah dengan Yogyakarta dan Solo, batik Kebumen memang dipengaruhi gaya batik Vorstelenden--sebutan untuk Yogyakarta dan Solo sebagai penerus Kesultanan Mataram. Kabarnya budaya membatik memang dibawa oleh keluarga Keraton Yogyakarta pada masa Perang Diponegoro.
Saat itu, Kebumen yang masih dipimpin seorang Temenggung, menjadi salah satu basis perlawanan masyarakat pada VOC (Belanda). Setelah Perang Diponegoro selesai, semakin banyak orang-orang dari Yogyakarta yang bermukim di Kebumen. Kebudayaan batik ala Yogyakarta pun ikut hidup di Kebumen.
Namun, dikarenakan ada motif tertentu yang hanya boleh digunakan oleh keluarga Keraton (motif larangan), maka motif batik Kebumen dikategorikan sebagai batik Kebumen menjadi perpaduan antara budaya Keraton dan pesisir.
Nah, untuk menelisik motif-motif khas Kebumen di Desa Tanuraksan, Pak Arya Guntur mengajak tamunya mengelilingi Desa Tanuraksan. Mereka berkunjung saat desa ini tidak terlalu ramai. Ada galeri besar yang menjual batik-batik khas Kebumen. Tapi Rei ingin bertemu dengan pembatiknya langsung. Akhirnya mereka dibawa ke salah satu pembatik perempuan yang sedang hamil.
Kebetulan pembatik ini punya teras yang cukup luas untuk membatik. Ada juga ruangan khusus di dekat teras yang menyimpan beberapa kain batik yang baru selesai dikerjakan.
Tidak seperti pembatik di Desa Gumelem dan Desa Mandiraja (Banjarnegara) yang tidak melakukan proses pewarnaan, pembatik yang saya kunjungi ini melakukan proses pembatikan dari menggambar pola sampai pewarnaan. Tentu dibantu anggota keluarga yang lain.
Hanya saja, pembatik ini--seperti juga pembatik lainnya di Tanuraksan--tidak menjual sendiri hasil karya. Biasanya ada pendagang batik skala besar yang mengambil batik darinya untuk dijual di galeri atau pasar. Pembatik di sini menyebutnya dengan istilah bakulan. Tentu beli batik lewat bakulan lebih mahal dibanding beli langsung ke pembatik aslinya.
Pembatik di Desa Tanuraksan ini lalu mengeluarkan beberapa batik khas Kebumen. Secara warna, batik Kebumen dipengaruhi oleh batik Solo yang agak gelap. Warnanya seperti sogan, tapi lebih tua lagi. Meski ada juga pengaruh warna pesisir seperti merah dan biru, tapi kedua warna ini dibuat lebih gelap dibanding batik pesisiran di daerah lain. Motifnya juga tidak meniru motif larangan Yogyakarta dan Solo. Tapi lebih menggambarkan kekayaan alam Kebumen.
Salah satu motif khas Kebumen adalah motif burung walet seperti yang ada di kain batik ini. Kabarnya, burung walet ini banyak hidup di Karang Bolong, Kebumen. Burung walet atau burung lawet dikenal karena air liurnya yang dipercaya bermanfaat untuk kesehatan. Dalam kain batik yang didominasi warna biru tua dan coklat ini, burung walet tidak digambarkan dalam bentuk sebenarnya, tapi dalam bentuk stilasi.
Misalnya saja ekor burung walet yang segaja dibuat memanjang dengan motif lung-lungan (flora). Lung (daun) pakis menjadi motif flora yang paling sering ditemui dalam batik Kebumen. Termasuk di kain batik ini yang mengadopsi motif lung pakis sebagai ekor burung walet. Dalam ekor walet berbentuk pakis ini dihias isen-isen ukel yang identik dengan batik Solo.
Ada juga motif bunga kopi atau bunga cengkeh yang masih menggambarkan motif flora. Motif rante yang juga sering ditemui dalam batik Kebumen menggambarkan suatu ikatan yang kuat. Sebagai latarnya, ada motif beras wutah alias beras tumpah, yang tidak hanya melambangkan kesuburan dan kesejahteraan, tetapi juga menggambarkan profesi masyarakat Kebumen sebagai petani.
Sambil melihat-lihat beberapa batik motif burung walet, Dahan mengambil batik tulis pesanannya. Rei perhatikan motifnya yang sangat tidak batik Kebumen. Dahan bilang, ini memang sengaja khusus dibuat untuknya.
"Motif apa itu? Tidak seperti motif Kebumen. Sejauh yang pernah aku baca."
"Naga air dong," jawab Dahan sambil menepuk kain pesanannya.
Kening Rei berkerut. "Apa filosofinya?"
"Wah, filosofinya bagus banget. Naga air itu shio-ku."
Dasar Dahan. Dua bola mata Rei langsung diputar. Menandakan kejengkelan pada Dahan. Rasa kesal yang dibalas Dahan hanya dengan tawanya yang lepas.
"Sayang sekali, motif yang aku cari tidak ada."
Pak Arya Guntur mendekat ke sebelah Rei. "Memangnya Mbak Rei cari motif apa?"
"Sirikit."
"Apa itu? Namanya sangat tidak Jawa. Tak ada bahasa Kebumen yang tidak ngapak begitu." Dahan penasaran.
"Mereka yang hidup di era 50-an pasti tahu keanggunan Ratu Sirikit dari Thailand. Ratu Sirikit dikenal sebagai wanita Asia yang sangat peduli pada penampilan. Hampir semua koleksi busananya mendapat nilai positif dari pengamat mode kala itu."
"Ya terus apa hubungannya dengan Kebumen?"
"Ketika Ratu Sirikit ingin mengunjungi Indonesia, Presiden Soekarno ingin menghadiahkan Ratu Sirikit kain batik. Maka dibuatlah motif khusus untuk yang disesuaikan dengan selera Sang Ratu. Bertahun-tahun kemudian, batik ini pernah dipamerkan di hadapan sejumlah pengamat batik. Banyak yang menilai, dilihat dari motif dan warnanya, batik Sirikit ini diperkirakan berasal dari Kebumen."
Pak Arya Guntur manggut-manggut. "Oh...saya pernah dengar. Batik Sirikit diproduksi ulang di Kebumen. Tetapi tidak boleh sama persis dengan aslinya. Ciri khas batik Sirikit terletak pada motif segitiga berwarna-warni. Selebihnya, hampir mirip dengan batik motif burung walet. Masih dihiasi dengan motif lung pakis, rante, kembang kopi dan kembang cengkeh. Sayang sekali, sepertinya sedang tidak dibuat hari ini. Mari saya antar ke kampung batik lain. Barangkali di sana ada."
Pak Arya Guntur mengajak ke Desa Jemur. Dari Desa Tanuraksan harus naik sedikit. Sepanjang perjalanan, Rei sempat terkesima. Di sebelah kiri mereka, gunung kapur tampak terbelah. Rupanya jadi tak cantik. Gunung kapur dikeruk untuk pasir dan semen.
Sedang di sebelah kanan, truk-truk pasir kembali berjejer. Rapi berbaris mengangkut pasir yang diambil dari sungai. Pasir oh pasir. Kenangan Rei tentang Kebumen adalah kenangan tentang tambang pasir.
Sayang tak ada batik yang bermotif gunung kapur atau pasir. Padahal pembatik punya tugas suci untuk mendokumentasikan perkembangan zaman dan perubahan alam lewat goresan canting.
Tak lama, bayangan pasir memudar. Seperti juga di sebuah rumah yang bertulis Kelompok Batik Mawar. Beberapa perempuan tampak asik nyanting sambil mengobrol. Mereka sudah terbiasa. Tak akan salah meski tidak terus-menerus melihat ke arah kain.
Pak Arya Guntur mengenalkan dengan Ketua Kelompok Batik Mawar. Memang beda dengan di Desa Tanuraksan yang menjual lewat bakulan, pembatik di Desa Jemur lebih berdikari. Mereka memilih berserikat dan membuat kelompok batik.
Hingga saat ini ada dua kelompok batik, yaitu Kelompok Batik Mawar dan Kelompok Batik Kenanga. Mereka membatik bersama-sama dan menjual karyanya bersama-sama pula.
Sepertinya kelompok batik di Desa Jemur ini juga lebih terbuka dengan motif-motif. Mereka tak segan menerima pesanan batik yang motifnya belum pernah mereka buat sebelumnya. Beberapa batik yang sudah selesai mereka kerjakan juga terkesan lebih simpel dan moderen. Lihat saja motif batik nitik ini.
Beda dengan motif batik nitik di Yogyakarta yang mirip motif patola dari India. Motif Nitik di Desa Jemur benar-benar berupa kumpulan titik-titik yang disusun rapi. Sepertinya bagus sekali dibuat kemeja. Warnanya juga hanya Hitam-Putih dan sedikit coklat. Kesannya minimalis, tapi tetap terlihat wah.
Tak terasa sudah hampir seharian mereka menyusuri Kebumen dan menyaksikan eksistensi batik tulis di tengah pengerukan pasir. Tiga sekawan harus beranjak menyusuri keindahan batik di tempat lain. Tapi cerita batik dan prahara pasir di Kebumen akan tetap lekat dalam ingatan.
Dahan mengantar sampai mereka naik bus. Lelah merambat membuat mata sekejap memejam. Tak ingat apa-apa lagi. Baru saat bus sampai di terminal Rei dan Rana tersadar. Mereka bertiga berhenti di terminal yang salah.
Kebodohan kedua kalinya yang dirayakan langit dengan mengirim hujan dan petir sekaligus. Di antara remang lampu terminal yang tersisa, tanya mengasap di kepala Rei: di manakah mereka sekarang?