webnovel

Ardiansyah: Raja dari Neraka

Dunia yang kalian semua kenal telah lama hancur, teman dan keluarga kalian kini entah bertamasya di Surga atau membusuk di Neraka. Namun bagi yang terpilih, Sang Pencipta telah membangunkan Dunia baru untuk mereka yang di dasarkan atas sihir dan sains. Dunia yang diisi oleh tiga bangsa, dengan rumah dan tubuh yang berbeda. Ilmuan cerdas di Angkasa, pengrajin kreatif di Daratan, serta seniman yang bermandikan keindahan di Lautan. Kisah Dunia baru ini terlalu panjang untuk kuceritakan dalam satu kali pertemuan. Jadi untukmu temanku, akan kubagi mereka menjadi beberapa bagian. Part 1: Prologue (Vol 1 & 2) Takdir Amartya untuk menjadi raja atas Bumi ini sudahlah ditetapkan. Demi mengagungkan kelahirannya, Sang Pencipta mengalirkan api neraka di dalam darahnya. Namun hatinya jatuh cacat sebagai bayarannya, dan satu-satunya yang bisa menyempurnakannya hanyalah seorang gadis es, dengan kunci di hatinya. Part 2: A Party of 8 (Vol 3 - 7) Makhluk-makhluk nista datang mencemari Daratan, dan atas nama kemurnian tanah suci ini, Mereka yang Abadi mengumpulkan prajurit-prajurit terbaik dari generasi termuda. Manggala dan rekan-rekannya harus bisa menghadapi tantangan ini, dan menyelamatkan apa yang berhak diselamatkan. Part 3: Throne of the Ocean (Vol 8 - 10) (Warning 18+ only) Perang tiada akhir terus melanda seisi Samudra, yang sudah teramat ganas dari detik dirinya dilahirkan. Gumara yang ditinggalkan keluarganya terpaksa mengemban tanggung jawab untuk bangkit, dan kembali membangun kejayaan itu atas nama sang pembawa ular. Dunia ini dipenuhi aturan yang nista, namun bukan berarti kita harus tenggelam di dalamnya.

PolarMuttaqin · Fantasia
Classificações insuficientes
413 Chs

Chapter 5: Skyfall

Kabar tentang akan datangnya sang penguasa Daratan terdengar ke Angkasa. Orang-orang tua itu tau persis siapa yang dimaksudkan oleh pesan Gabriel (suara dari langit). Hal ini cukup membuat para bangsawan khawatir, dan membuka rapat dewan darurat dengan kelima kepala suku turut menghadirinya.

Mereka yang terbangun di hari kelahiran Amartya tau persis apa yang terjadi pada Angkasa saat anak itu lahir. Para dewan beranggapan dengan naiknya Amartya ke puncak tahta Penempa Bumi, akan terjadi kerusakan besar pada ekosistem dan keseimbangan Angkasa.

Langit mengalami krisis yang teramat tidak menyenangkan ketika Amartya lahir. Energi sihir menjadi tak stabil, kristal listrik padam, beberapa turbin dan kristal angin melemah, mengakibatkan banyaknya benda dan bangunan jatuh ke Bumi, serta kenaikan suhu dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya.

Suku Es tak lain ialah yang paling tertekan menghadapi masalah ini. Kelahiran Amartya sempat membuat awan-awan yang awalnya dingin, menjadi panas. Resistensi mereka dalam menghadapi suhu panas yang begitu kecil menghasilkan banyaknya orang-orang Es yang jatuh sakit.

Namun yang paling menjengkelkan hati mereka, ialah gadis yang akan mendampingi sang penguasa. Mereka yang meninggalkan langit adalah orang-orang suku Es yang setelah mengalami perpecahan, memutuskan untuk turun dari kampung halaman mereka di Angkasa, lalu hidup di Daratan. Bagi warga suku Es yang masih bertahan di Angkasa, orang-orang ini adalah penghianat busuk tanpa kehormatan, dan atas banyak alasan kuat lainnya mereka membenci keluarga yang kini meninggalkan mereka.

Sekarang, mari kita dengarkan saja, Dewan Langit hendak memulai pertemuannya. Ketua Dewan lantas membuka buku besar yang berisi banyak catatan dan tulisan mengenai masalah-masalah di Negri Di Atas Awan. Aku tahu rapat seperti ini memang membosankan, jadi akan kuusahakan mempersingkat mereka untuk kalian.

"Seperti yang kita semua sudah dengar, Sang Pencipta sepertinya sudah memberikan solusi untuk masalah perpecahan yang sempat dihadapi oleh para Penempa Bumi," Falah memulai sidang setelah mengetuk palu tiga kali.

"Yang tentunya itu adalah kabar yang baik."

"Hanya saja masalahnya, dia yang terpilih tidak menjadi berita yang bagus untuk kita para Ilmuan Lagit." Sambung salah satu wakil ketua dewan yang berada di sebelahnya.

"Anak ini membawa Neraka bersamanya, bukan untuk kaumnya, melainkan untuk kita yang tak diliputi udara panas." Lanjut wakil ketua dewan yang lain.

"Untuk itu kami meminta pendapat bapak-bapak sekalian mengenai permasalahan ini." Falah mengayunkan tangan kanannya, mengarahkannya pada peserta sidang di depannya.

"Entahlah Yang Mulia, Amartya terlihat seperti anak yang baik bagiku." Salah satu Kepala Suku angkat berbicara.

"Saya cukup setuju dengannya, namun kita tak akan tahu dia akan tumbuh seperti apa, terlebih dia anak terkutuk yang bahkan tak tahu bagaimana rasanya kasih sayang," kata Kepala Suku kedua.

"Meski sekarang dia mampu hidup dengan keluarga dan temannya murni karena rasa hormat dan ketertarikan pada mereka... kita tak tahu kapan dia akan membuang itu semua dan ancaman ini akan terus hidup bersama dirinya."

"Argumen anda valid, tapi berita ini datang dari Gabriel, ini perintah Sang Pencipta." Balas Kepala Suku ketiga, ia tampak ragu dengan ke arah mana pembicaraan ini akan dibawa.

"Dengan kata lain, ini hal yang sudah pasti terjadi, dan tak akan ada yang membantahnya, begitu?" Kepala Suku keempat menanggapinya seakan penuh dengan sarkasme.

"Bukan itu inti dari pernyataan saya, maksud saya, bukankah Sang Pencipta akan mengambil pilihan yang terbaik untuk dunia baru ini? Mungkin ada baiknya kita tak mencampuri titahnya."

"Ucapan anda terlalu naif pak, Sang Pencipta mungkin pembuat seisi dunia baru, tapi Beliau bukanlah Tuhan, Beliau mana tahu apa yang akan terjadi di masa depan!"

"Lagi pula yang menjadi musuh kita itu kekuatannya, bukan orangnya."

"Lalu apa yang ingin kita lakukan? Mencabut kekuatannya?"

"Kau tahu, itu bukanlah ide yang buruk." Beberapa peserta rapat mengangguk tanda setuju.

"Saya yakin para Pelukis Samudra bisa membantu kita, sekiranya mengurangi kekuatan api yang ia miliki."

"Ya, berhubung mereka yang paling berpotensi dalam menetralkan api."

"Baiklah kita bisa atur itu nanti, sekarang bagaimana cara kita mendapatkan bocah Penguasa ini? Tak mungkin ada orang yang ingin kekuatan yang sudah menjadi bagian dari dirinya semenjak lahir, diambil begitu saja."

Seisi ruangan pun terdiam sejenak.

"Kita culik saja."

"Caranya? Asal anda tahu saja, saya sudah bertemu dengannya, anak itu sangat gesit dan berbakat, kita bicara soal sub Stigra Tala (nama resmi Penempa Bumi) terlincah di seluruh Jagat Raya!"

"Woy suku kegelapan! Mengapa Anda diam saja dari tadi, kita semua tahu suku busuk kalian begitu dekat dengan suku Api, tapi kalian juga akan dirugikan jika Amartya seketika berminat untuk meluluhlantakkan Angkasa." Tiba-tiba salah satu Kepala Suku yang berselimutkan cahaya membentak pada Kepala Suku berambut hitam yang dari tadi tidak melontarkan pendapatnya.

"Jangan cemarkan cahaya menjijikanmu padaku, tuan. Masalah ini tak akan menjadi campur tangan kami." Kepala Suku kelima mulai angkat bicara, dan mengacuhkan pandangannya dari Kepala Suku lain.

"Apa!?"

"Cukup!" Falah meninggikan suaranya, hampir saja ia membanting meja.

"Kembali ke topik, sekarang apa yang ingin kita lakukan? Membawa paksa Amartya ke Angkasa?"

"Mungkin kita bisa menghasutnya?"

"Terlalu riskan, berbohong pada keluarga utama suku Api sama saja meminta untuk dibantai, insting, firasat dan kemampuan memeriksa detak jantung terlalu akurat, dia atau tuan Hakan akan dengan mudah melihat rencana kita, lalu mungkin memutar balikkan seisi keadaan dan memakai rencana kita untuk membantai seisi Angkasa."

"Jika kita menculiknya… apalagi di negri yang sangat tidak familiar, seakan terdengar seperti rencana bunuh diri! Lagi pula seberapa banyak Ilmuan Langit yang pernah mendatangi Maksallatan?"

"Saya pernah, negri yang indah, tapi ya… tempat itu terlalu panas dan kita tak terbiasa menculik orang."

"Lalu kalian ingin apa? Menyerang mereka dengan pasukan kita!?"

Seisi ruangan seketika sunyi. Perang bukanlah hal yang wajar di kalangan para penghuni Angkasa.

"Ide tersebut gila... tapi pak Ketua, saya izin mengajukan penyerangan penuh pada ibu kota suku Api, Afaarit." Kata salah satu wakil ketua dewan.

Falah termenung mendengar ucapan gila itu, seraya mengelus-elus dagunya. Ia kemudian melihat seisi ruangan menatap ke arahnya.

"Hmmm, ini bisa menghancurkan hubungan kita dengan suku Api, mereka adalah penempa yang hebat, atau mungkin lebih buruk lagi, dengan seisi Daratan." Ucap Falah.

"Tapi tidak ada cara lain pak, satu-satunya yang akan mau kita mintai menculik dirinya hanya bandit suku Tanah dan Pelukis Samudra."

"Pelukis Samudra tak akan mampu menyelinap ke desa-desa suku Api, mereka pasti mati."

"Suku Tanah terlalu lambat, anak itu pasti bisa kabur."

"Kecuali jika kita bicara soal Tanduk Putih, tapi mereka tidak akan mau melakukan tugas semacam ini, mereka itu maniak kehormatan, bahkan di dunia yang isinya orang-orang haus kehormatan seperti ini!"

"Oke, tapi siapa yang akan menyerang mereka? Saya yakin pasti akan banyak korban yang berjatuhan jika kita mencari masalah dengan suku Api." Tanya Falah.

"Kita hanya perlu mendapatkan anak ini pak, kita tak perlu menyapu bersih seisi kota Afaarit, walau aku tak yakin hal itu mampu dicapai."

"Dan untuk siapa yang menyerang mereka, tentu saja kita akan mengirim 'mereka'."

"'Mereka?'" Falah menaikkan alis kanannya.

"Benar pak, 'mereka'…"

"Hmm... mungkin ini akan menjadi waktu yang tepat untuk melakukan uji coba terhadap penemuan kita... baiklah jika begitu." Ketua Dewan kemudian menepuk tangannya dua kali.

Tak lama, seorang penyihir pun memasuki ruangan. Mata dan rambutnya cerah violet, kulitnya mengkilap bagai logam dan tubuhnya dilumuri oleh petir yang senantiasa meledak-ledak. Kedatangannya seakan menyengat seisi ruangan.

"Ada yang bisa saya bantu, Yang Mulia?" Penyihir itu bertanya.

"Kamu mendengar semuanya kan? Akan kuserahkan penyerangan ini padamu, Magistra Indra."

"Suatu kehormatan bagi saya pak." Indra menundukkan kepalanya.

"Saya harap anda tidak akan mengecewakan saya, nak. Rencana ini terlalu riskan, atau gila jika saya boleh bilang." Falah tampak prihatin, tidak hanya untuk Indra, tapi setiap orang yang terjebak dalam rencana ini.

"Tentu Yang Mulia, saya akan kembali bersama berita kemenangan di pertemuan kita selanjutnya."

"Baiklah, kalau begitu rapat kali ini resmi saya tutup." Falah menutup bukuya, mengetuk palunya tiga kali.

"Kalian dipersilahkan untuk pergi."

Kini, hanya tinggal menunggu waktu sampai Ilmuan langit memulai rencana mereka.

Sementara itu, Magistra Indra pun mendatangi barak tentara pasukan Langit, sederetan gedung-gedung besar bertingkat yang diisi oleh 'mereka'.