Amartya menarik keluar belati yang masih tersisa di gagang santinya, melihat betapa rusaknya kondisi lempengan logam itu.
"Ah... ini sih, benar-benar sudah tak bisa digunakan lagi." Anak itu pun membuangnya lepas dari santinya.
Amartya lalu mendekati bongkahan logam di sampingnya dan melelehkannya menjadi satu. Ia kemudian menempelkan batu mulia (ratna) yang terpasang pada gagang santinya yang rusak pada bongkahan itu. Seketika cahaya merah pun muncul, dan logam itu pun berubah menjadi belati dengan bentuk yang sama dengan santinya sebelum rusak. Amartya lalu dengan seksama menyatukannya dengan gagang di tangannya, kemudian mengembalikan mereka menjadi cincin pada tangan kanannya.
"Lihat itu! Bukankah teknologi yang kalian ciptakan ini menakjubkan, wahai orang-orang Tanah?" Amarta bersorak pada musuhnya.
"Walau aku tak yakin apakah pedang ini cukup tajam untuk digunakan."
"Ayah ada Grinder kecil di dalam tas yang kita bawa, pakai itu dulu, ia mungkin mampu menyelesaikan masalahmu." Hakan menyaut di tengah kesibukannya dengan para bandit.
"Terima kasih, yah." Amartya bergegas berlari ke arah tasnya
"Ngomong-ngomong... ini logam apa? Titanium? Terus kenapa keliatan berat banget pas tadi dilempar?" Amartya memandangi pedang barunya, memutarnya untuk melihat tiap sisi yang terbentuk.
Kualitas logam tersebut sangatlah bagus, pedangnya malah mungkin lebih baik dari sebelumnya. Meskipun begitu satu hal yang dilakukan ratna hanyalah membentuk pedang itu sesuai apa yang terekam di dalamnya. Amartya masih harus menajamkannya dan menyimpannya kembali dalam bentuk cincin untuk menjadikannya senjata yang layak.
Tentu saja para bandit tak akan membiarkan Amartya begitu saja menajamkan pedangnya. Namun apakah mereka mampu mengganggu Amartya? Sekiranya tidak sepenuhnya, kehadiran Hakan membuat mereka sulit bergerak di antara api dan peluru yang terus menghujani mereka tanpa belas kasih.
"Ya, sepertinya ini titanium, benda ini akan memberikan ujung pedang yang jelek pada jangka panjang, sebaiknya aku melapisi sisi-sisinya dengan tungsten karbida atau semacamnya saat sampai di rumah nanti..." Amartya berbisik-bisik sendiri, seraya menajamkan santinya.
"Luar biasa... seharusnya mereka melempar logam yang jauh lebih berat jika ingin membunuh kami, benda ini ringan sekali!"
"Hei nak bisa dipercepat sedikit?"
"Tentu, yah! Nampaknya hanya seni api yang mampu menyelamatkanku kali ini." Amartya kembali melompat ke arah para bandit.
Meskipun memiliki tubuh sekeras baja dan terlahir sebagai Penempa Bumi, orang-orang dari suku Tanah bergerak jauh lebih lamban ketimbang suku Api yang memanfaatkan kelincahan dan kecepatan tubuh mereka untuk bertarung pada jarak dekat.
"Kita beruntung mereka cuma bandit, jika yang kita lawan Pandeka Tanduk Putih atau Dubalang Raja Alam, pertarungan ini mungkin akan jauh lebih rumit dan merepotkan, dan kurasa mereka hanya ada di tingkat 4 atau semacamnya." Amartya terus membiarkan liar mulutnya.
Bandit-bandit itu nampak tak begitu senang mendengar ocehan bocah di depan mereka.
"Ni orang..."
Dan kini termakan oleh keangkuhan dan amarah, dua orang bandit yang tersisa lekas menarik kapak dan palu mereka, memisahkan Hakan dan Amartya seakan menantang mereka untuk bertarung satu lawan satu.
"Apa-apaan ini! Apa yang mereka pikirkan!?" Pria Api itu cukup terkesima melihat desisi para bandit.
Hakan berduel dengan orang suku Tanah yang paling dekat dengannya. Sementara Amartya dengan yang satu lagi. Entah mengapa kedua orang terakhir dari bandit-bandit itu ternyata jauh lebih badak ketimbang rekan mereka.
Meskipun Amartya dan ayahnya bisa dengan mudah menyerang dan menghindar dari lawannya, tubuh kedua bandit itu terlalu keras dan tegap untuk dirobohkan. Serangan mereka juga memiliki radius yang luas dan cukup mematikan bagi rakyat Api. Terkena satu saja ayunan senjata mereka, tak akan terasa nikmat bagi Amartya maupun Hakan.
"Apa-apaan ini... 3 bandit lainnya tumbang hanya dengan satu seni api saja, apa orang-orang suku Tanah menjadi jauh lebih kuat pada jarak dekat?" Amartya bergumam dalam hatinya.
"Apa perlu aku mundur saja dan menembak mereka dengan senapanku? Situasinya berubah jadi merepotkan."
Setelah saling lempar cukup lama, Amartya hendak kembali mengganti cincinnya menjadi senapan. Namun kedua bandit akhirnya sadar akan ketidakuntungan mereka jika hanya beradu saling ayun senjata. Mereka pun menggunakkan salah satu keterampilan yang paling dibenci oleh semua orang. Ya, aku juga membencinya.
[Teknik Tanah]
[Tingkat 4]
"(Kulit Karambit)"
"Kulik Karambiak!"
Ratusan belati muncul dari tiap sisi tubuh kedua raksasa. Mereka memang jauh lebih pendek dibanding pedang Amartya dan Hakan, tapi bukan itu fungsi utamanya. Kedua bandit kini memasang posisi bertahan dan kedua pemedang api menarik senjata mereka seraya menjauh ketika melihatnya.
"Uda nampaknyo punya pola pikia nan samo." Si gadis bandit melirik pada badit tertinggi yang sama-sama menggunakan [Kuliak Karambiak].
Belati yang tumbuh pada tubuh mereka bisa dibilang sedikit unik. Apa bila kedua bandit ini diserang, maka penyerangnya akan ikut merasakan kerusakan yang sama dengan mereka. Mengubah semua serangan menjadi pedang bermata dua, hanya saja keduanya identik.
"Sekarang Bagaimana?" Tanya Amartya pada Hakan.
Tak seperti orang-orang suku Tanah yang memiliki tubuh perkasa. Rakyat api jauh lebih rentan terhadap serangan. Hal ini akan membuat Amartya dan Hakan tumbang terlebih dahulu dari kedua bandit saat menerima daya rusak yang sama.
"Aduh repotnya… ayah juga bingung ini." Hakan mengusap-usap kepalanya.
Ketika sedang memikirkan cara mengalahkan kedua bandit bumi itu, Amartya dan Hakan tersadar, bahwa mereka sama sekali tidak punya halangan untuk pergi dan melarikan diri dari situ.
Tetapi bukan itu masalahnya sekarang. Para bandit suku Tanah tidak sepantasnya berkeliaran di provinsi Maksallatan (wilayah Api) yang dikuasai oleh suku Api seperti ini. Para bandit tak menjadi bagian dari aliansi yang dibentuk oleh para Penempa Bumi, mereka tak memiliki izin untuk berada di Tanah Api.
"Setiap keterampilan pasti memiliki kelemahan," Kata Hakan. "Pasti ada cara untuk bisa mengalahkan kedua pria besar itu tanpa harus terganggu keterampilan merepotkan mereka—"
"Tunggu! Ayah ada ide." Lanjutnya
"Bagaimana?"
"Caci maki saja mereka sampai kesal."
"Caci maki...? Ah dimengerti."
Keduanya pun mengangguk pada satu sama lain. Mereka berjalan ke arah lawan mereka masing-masing, dan mulai meneriaki mereka.
"Oy! Kebo! Gendut! Kalau memang terlalu bego untuk menambang, gak perlu ngerampok juga kali, om!" Amartya berteriak ke arah mereka.
"Apa? Memacul batu aja gak bisa? Wah ini sih sudah kelewat parah! Atau malah, jangan-jangan kalian terlalu lemah sampai tidak kebagian tambang?" Sambung Hakan.
"Jelas! Iyalah lemah, ngerampok aja harus ke negeri tetangga gara-gara gak kuat lawan yang sesama elemen."
"Woi! hoi hoi! Jangan sok tau la jangkrik!" Bandit tertinggi memakan umpan dengan baik, kedua pengemban api pun menyeringaikan senyum mereka.
"Tak patahkan kaki-kaki kerempeng kalian itu, sadar diri juga kau!"
"U tu tu tu… seremnya~"
"Ei Nantang!?" Amarahnya semakin tak terbendung.
"Alah kebo, nangkep jangkrik aja gak bisa, sok jago!"
Setelah berhasil terpancing cemoohan bocah di hadapannya, kedua bandit yang kesal seketika melompat ke arah Amartya dan Ayahnya, seraya mematikan Kulik Karambiak mereka dan mulai menyerang dengan agresif. Tetapi, jika keduanya hendak menyerang kembali para bandit, rasa sakit yang timbul darinya hanya akan membuat mereka tersadar dan kembali menggunakan Kulik Karambiak. Hal ini jauh lebih rumit dari sekedar melempar kata.
"Aduu ba'a ni... si uda meya!" Si gadis sementara itu, mulai frustasi dengan kegaduhan yang dibuat ketiga laki-laki di hadapannya.
Di sini sebenarnya Amartya sama lawannya lebih tinggi tingkat lawannya:
Bandit: Tingkat 5 (Wizzura)
Amartya: Tingkat 4 (Kastra)
Hakan: Tingkat 8 (Magistra)
Alasan kenapa Amartya bisa make seni api tingkat 5, karena dia dibantu sama si Jago Merah (Bayangkara Api), makannya dia baca mantra dulu sebelum ngeluarin seni apinya, minta persetujuan si Jago Merah dulu.