webnovel

Ardiansyah: Raja dari Neraka

Dunia yang kalian semua kenal telah lama hancur, teman dan keluarga kalian kini entah bertamasya di Surga atau membusuk di Neraka. Namun bagi yang terpilih, Sang Pencipta telah membangunkan Dunia baru untuk mereka yang di dasarkan atas sihir dan sains. Dunia yang diisi oleh tiga bangsa, dengan rumah dan tubuh yang berbeda. Ilmuan cerdas di Angkasa, pengrajin kreatif di Daratan, serta seniman yang bermandikan keindahan di Lautan. Kisah Dunia baru ini terlalu panjang untuk kuceritakan dalam satu kali pertemuan. Jadi untukmu temanku, akan kubagi mereka menjadi beberapa bagian. Part 1: Prologue (Vol 1 & 2) Takdir Amartya untuk menjadi raja atas Bumi ini sudahlah ditetapkan. Demi mengagungkan kelahirannya, Sang Pencipta mengalirkan api neraka di dalam darahnya. Namun hatinya jatuh cacat sebagai bayarannya, dan satu-satunya yang bisa menyempurnakannya hanyalah seorang gadis es, dengan kunci di hatinya. Part 2: A Party of 8 (Vol 3 - 7) Makhluk-makhluk nista datang mencemari Daratan, dan atas nama kemurnian tanah suci ini, Mereka yang Abadi mengumpulkan prajurit-prajurit terbaik dari generasi termuda. Manggala dan rekan-rekannya harus bisa menghadapi tantangan ini, dan menyelamatkan apa yang berhak diselamatkan. Part 3: Throne of the Ocean (Vol 8 - 10) (Warning 18+ only) Perang tiada akhir terus melanda seisi Samudra, yang sudah teramat ganas dari detik dirinya dilahirkan. Gumara yang ditinggalkan keluarganya terpaksa mengemban tanggung jawab untuk bangkit, dan kembali membangun kejayaan itu atas nama sang pembawa ular. Dunia ini dipenuhi aturan yang nista, namun bukan berarti kita harus tenggelam di dalamnya.

PolarMuttaqin · Fantasia
Classificações insuficientes
413 Chs

Chapter 27: Red Carpet

Parjanya benar, Amartya memang tak seharusnya memegang kendali atas api putih atau tingkat Sa'ir dalam bahasa akhirat. Namun api Neraka berbeda dengan api biasa, mereka terdesain sebagai instrumen hukuman, dan kekuatannya akan semakin kuat saat dia memakan satu hal, dosa.

Murka atau amarah adalah dosa mematikan yang dimiliki orang-orang suku Api. Kini setelah murka Amartya memuncak ketika melihat para musisi berjatuhan di depan matanya, api itu memakan dosa-dosa Amartya, menaikkan paksa tingkat api itu. Walau jelas, hal ini merusak kestabilan segel yang ditancapkan para malaikat, itu sebabnya mereka menjadi gelisah di Atas (bawah) sana.

"Mungkin… mungkin ini momen terakhir kita…" Parjanya bisa merasakan lemas tubuhnya di hadapan api putih itu.

"Ahahaha... aku harus berkata apa, senang berkerja denganmu Magistra Dimas." Tampak rasa bangga dan pasrah dari senyumannya.

"Ah, suatu kehormatan bagi kami Profisa Parjanya." Magistra itu membungkuk memberi hormat.

"Aku selalu bersikeras untuk memegang tanggung jawab memimpin misi ini, namun setelah kini semuanya akan berakhir… rasanya… sial tak kusangka persahabatan kita bertiga harus berakhir seperti ini kak…."

Parjanya mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berbalik menghadap pasukan Langit. Ia hendak berkata namun hanya mulutnya yang terbuka, tak sepatah katapun mampu keluar darinya. Rasa takut yang mendalam seketika menghantui Parjanya dan memeluknya dengan erat. Menariknya perlahan menoleh ke arah Amartya dengan sekujur tubuhnya yang tak kuasa bergetar hebat, merinding ketakutan.

*KEEEEAAAAAAKKKK!!!!!*

Sang Phoenix mengibaskan sayap putihnya, melengking dengan suara menggelegar yang membakar Angkasa. Hewan-hewan api berlarian ke arah pasukan Langit dan Amartya perlahan terus mendekat dengan pandangan yang mengerikan berkeliaran dari matanya yang kini seputih cahaya bintang.

Di tengah kepanikannya, Parjanya pun berteriak, dengan wajah frustasi, "HIDUP WIDYA DHIRGA!" Dan para penyihir berteriak mengikutinya walau mereka jelas sudah lagi tak berdaya.

Ribuan misil sihir melesat ke arah Amartya, dari depan samping dan atas yang siap menghujaninya.

*!*

Perisai es lalu muncul dari segala arah, semakin lama semakin melebar memberi Amartya lebih banyak ruang untuk bergerak.

*RAAAAAAGH!*

Amartya pun mengaum, melepaskan suara yang melumat Angkasa dan Daratan. Api putih membara dari tubuh dan matanya, beriringan dengan bayangan singa yang mengaum bersamanya.

Sang Phoenix menukik ke arah pasukan Langit, meninggalkan tanah di bawahnya terbakar dengan api putih yang bergejolak. Hewan-hewan api berlarian menerjang, menari-nari di tengah lautan api. Bunga-bunga putih bermekaran dari kaki pasukan Langit, dan kelopak mereka melayang-layang ditiup angin. Mereka begitu panas, mengahanguskan kulit dan sayap para penyihir. Teriakan mereka yang terbakar begitu jelas, membuat sekujur tubuh siapapun yang mendengarnya, kian merinding hebat.

Para Waraney tengah berkumpul di atas tembok Sfyra. Ke-999 dari mereka kini memegang wengkow (tombak) dengan api putih menyala-nyala pada mata belatinya. Amartya, merasakan amarah mereka, menaruh jarinya pada logam yang ada di telinganya.

"Waraney, Operasi… Moraya (karpet merah)."

Seketika itu juga mereka semua melompat dan serentak melesat ke arah pasukan Langit bagai peluru-peluru yang memecah angin. Tanpa pandang bulu mereka menarik siapapun Ilmuan Langit yang mereka temui, dan melemparnya ke dalam api Phoenix. Apa yang terpapar di hadapan mereka begitu panas dan mengerikan, dari para Waraney. Sayangnya putra-putri api terlalu cepat bahkan di Angkasa, tak ada celah untuk kabur dari mereka. merusak moral mereka, mendorong para Ilmuan itu berlarian, berterbangan, berusaha kabur

"Tidak! Tidak! Tunggu! Hentikan! Aku tidak ingin mati dengan cara seperti ini!" Suara teriakan histeris mereka terdengar di mana-mana.

"Berhentilah merengek, jika kau tak ingin mati, seharusnya kau tidak pergi berperang dari semula kala." Waraney menggerek mereka dengan kasarnya di atas tanah.

"Mengapa!? Mengapa kalian begitu gila akan perang dan kematian!?"

"Bukankah itu sudah jelas? Setiap mayat yang mati di atas bumi akan menjadi makanan bagi alam dan Pohon Kehidupan."

"Hah!?"

"Memangnya kalian pikir mengapa Pohon Kehidupan tak pernah menghentikan kami berperang? Karena dengan begitu alam akan menjadi lebih subur, dan dia akan melahap kalian semua!" Terlukislah seringaian hampa pada wajah para Waraney.

Sementara itu Parjanya berjalan tanpa arah, kebingungan di antara teriakan rekan-rekannya dan api yang kian bergejolak. Hingga seseorang menginjak punggungnya dan menghempasnya ke tanah.

"Aku salah Parjanya, seharusnya pertempuran ini tak memakan korban jiwa, seharusnya hanya boneka yang kalian bawalah yang sirna di atas tanah ini, tapi kau…" Amartya menahan tubuh Parjanya yang terbaring di tanah dengan kakinya.

"Apa yang kakak bicarakan!? Orang-orang sombong itu akhirnya membayar segala kekejian mereka!"

"Parjanya…"

"Apa kakak lupa bagaimana mereka membantai generasi kedua? Kematian bahkan terlalu baik untuk mereka!"

"Kau gila Parjanya, aku tak mengajarimu seni berperang untuk jadi seperti ini, mengapa kalian letuskan perang ini?"

"Mengapa? Kami hanya melakukan apa yang dilakukan setiap manusia di dunia baru ini, mematuhi mereka yang berkuasa!"

"..."

"Aku... sungguh berharap perang ini tak seperti apa yang kupikirkan." Amartya mengangkat kakinya, perlahan berjalan pergi, meninggalkan Parjanya yang tegeletak di tanah.

"Apa yang kakak tunggu!? Bunuh aku!" Ia berteriak histeris, pupilnya mengecil dan nafasnya tak beraturan.

"Sayangnya tak semudah itu Parjanya…"

"Apa!?"

"Dari ribuan pasukan Langit yang datang hari ini, akan kupastikan 1/3nya selamat dari api, sementara untuk para peri laut, akan kupastikan mereka pulang dengan selamat, mereka tak ada hubungannya dengan perang ini."

"Tunggu, mengapa?"

"Mengapa? Diantara seluruh penghuni Daratan, kalian mengusik kaum yang salah. Nikmatilah harimu Parjanya, ini mungki terakhir kalinya dirimu melihat cahaya, baik di hidup ini, ataupun setelah kematian kelak."