Malam semakin dingin ketika Arlan menatap nanar ke arah pintu yang tertutup. Bahkan, air mata mengalir di pipi cowok itu.Kali ini, kesalahannya sangat fatal. Sangat-sangat fatal. Mengapa ia melupakan handphone-nya tadi? Ia jadi melupakan Vellice seharian ini.
Cowok itu meninggalkan handphone di mobil. Dirinya baru ingat ketika melihat Vellice pulang. Gara-gara tidak melihat wajah Vellice, ia jadi melupakan gadis itu.
Cowok itu semakin bertekad akan membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan penyakit, tapi apa? Arlan yakin Vellice mengetahui sesuatu.
Arlan terus menubrukkan badan ke arah pintu, berusaha mendobraknya.Karena mendengar keributan Arlan, semua orang naik ke lantai dua. Cowok itu, begitu melihat mereka, langsung menarik tangan Atta dan Ashad dengan mata yang masih berlinang air mata. Entah akan diejek seperti apa nanti dirinya, ia tidak peduli.
“Tolong dobrak pintunya! Dobrak,” pinta Arlan.
"Apaan sih, Lan? Enggak usah cengeng! Gue tahu lo panik," sahut Atta.
Keempat cowok itu mendekati pintu lalu mendobraknya bersama-sama. Perlu beberapa kali percobaan sampai pintu berhasil didobrak.Begitu pintu terbuka, Arlan langsung berteriak panik.
"Lice!" Cowok itu kembali meneteskan air mata.
Ari memukul bahu Arlan."Bawa kasur dulu, Tolol."
Arlan langsung menggendong Vellice ke kasur lalu melepaskan sepatu serta kaus kaki yang masih dipakai Vellice.
"Ambilin handuk basah!"pinta Arlan, meski tidak spesifik kepada siapa cowok itu meminta.
Vellice tersadar karena mual melanda. Gadis itu langsung mengeluarkan suara seperti orang yang hendak memuntahkan sesuatu. Matanya terbuka, sedikit terkejut karena banyak orang di kamarnya.
Vellice buru-buru beranjak, tetapi Arlan mencegah gadis itu.
"Muntah di sini aja!" Ia menengadahkan kedua telapak tangan tepat di depan muka Vellice.
Vellice memukul kepala Arlan. Gadis itu berusaha berdiri lantas mencoba segera melangkah ke kamar mandi. Namun, karena keseimbangan buruk, gadis itu malah terjatuh.Arlan segera menggendong Vellice. Cowok itu langsung membawa Vellice ke kamar mandi.
Vellice terus berusaha mengeluarkan sesuatu dari mulut, walaupun hasilnya nihil. Hanya cairan bening yang keluar. Gadisitu mulai menangis. Kepalanya sangat pusing, sedangkan hidungnya sulit menarik napas karena pilek. Vellice balik badan menghadap ke arah Arlan. Cowok itu masih memegang pinggangnya untuk menahan berat badan Vellice.
Vellice ingin sekali bercerita bagaimana rasa sakit saat ini. Kepalanya terasa seperti mau pecah. Namun, yang keluar dari mulut adalah hal tak terduga, bahkan oleh dirinya sendiri.
"Katanya pergi sebentar?" tanya Vellice. Kemudian, tangisnya pecah.
Arlan merengkuh gadis itu, mengecup puncak kepala Vellice sambil mengucap maaf berkali-kali.
"Tadi handphone aku ketinggalan di mobil. Aku lupa ....”
"Pusing. enggak bisa napas. Panas. Dinginn," rengek Vellice.
Arlan semakin memeluk Vellice. "Udah, ya, nangisnya. Cuci muka dulu, tiduran lagi, terus nanti makan."
Arlan membantu Vellice mencuci muka.
"Kok, dilepas?" tanya Vellice saat Arlan melepas ikat rambutnya.
"Biar enggak tambah pusing."
"Jalan aja, jangan digendong."
"Iya."Arlan menuntun Vellice kembali ke tempat tidur.
"Kaki gue enggak sakit padahal."
"Iya." Arlan menyahut pasrah. Ia tidak akan mendebat Vellice kali ini.Begitu keluar dari pintu kamar mandi, mereka mendengar teriakan beserta suara bedebum.
"Vellice!"Seseorang muncul setelah teriakan. Tidak lain tidak bukan, yakni Lucas. "Kok, lo enggak bilang kalau lagi ulang tahun?”
Tatapan terkejut semua orang jatuh ke arah Vellice.Gadis itu menatap Lucas sebentar. Lalu kembali berjalan menuju tempat tidur. Tetap dibantu Arlan walaupun cowok itu juga mengalami syok berat.
Begitu Vellice terduduk,gadis itu menatap malas ke arah Lucas.
“Vel!” Lucas kembali berteriak karena diabaikan.
“Berhenti teriak, ish! Kepala gue tambah pusing, nih!” kesal gadis itu."Udah lewat juga."Vellice segera berbaring.
"Nah, itu! Kenapa gue tahunya pas udah lewat?"sesal Lucas. "Lo jadi enggak bisa ngerayain,‘kan? Enggak ada yang inget,‘kan? Enggak ada yang tahu,‘kan? Lo tuh, hobi banget nyiksa diri! Lama-lama gue culik juga lo, biar enggak tinggal di rumah ini lagi!"
"Siapa bilang enggak ada? Lo tahu dari Ilham,‘kan? Tanya sana ke dia. Yang ngerayain orang satu mal!" sewot Vellice.Gadis itu paling benci dikasihani.
Suasana canggung yang ada di dalam kamar itu, terpecahkan saat Anna datang membawakan Vellice makanan. Entah sejak kapan gadis itu keluar dari kamar sang kakak.
"Ini, Kak."
Vellice mendengkus, sedikit membuat Anna tersentak.
"Kalian ngapain di sini semua, sih? Keluar sana? Gue mau tidur!"
“Ta-Tapi, Kak. Ma-Ma-kanan ....”
"Gue males makan! Lo aja yang makan. Astaga, keluar sana!"Vellice segera berbaring.
"Kamu itu sakit! Makan dulu! Jangan tidur dulu! Minum obat dulu!" Arlan kembali menarik Vellice agar duduk.
"Gue ngantuk, Lan."Bahkan, gadis itu sudah memejam.
"Jadi cewek enggak usah manja, deh! Tahu sakit tuh, makan! Minum obat! Jadi cewek yang mandiri!" seru Lucas. Perkataan itu tentu saja membuat Vellice langsung membuka mata.
Gadis itu melotot ke arah Lucas.
"Astaga, gue ngantuk banget!"Ia lelah dan hanya ingin tidur. Mengapa semua begitu merepotkan hari ini?
"Iya, makanya makan dulu. Nanti langsung tidur.” Arlan bersiap dengan sendok di tangan untuk menyuapi Vellice.
Meski malas-malasan, gadis itu akhirnya membuka mulut dan melahap makanan yang disuapkan Arlan. Sengaja mengunyah cepat-cepat agar Vellice bisa segera mengakhiri drama makannya ini.
"Mau aku kunyahin? Yang bener makannya!"perintah Arlan saat tahu gadis itu sengaja mengunyah cepat-cepat.
Vellice memberengut. Meski malas menanggapi perintah Arlan, gadis itu tetap menuruti dan mulai mengunyah dengan benar. Di sela-sela menyuapi Vellice, Arlan meminta semua orang di sana untuk turun lebih dulu, kecuali Lucas. Cowok itu tidak rela harus meninggalkan Vellice dengan Arlan.
Begitu mereka keluar, Vellice menghela napas lega. Gadis itu langsung memosisikan kepala di bahu Arlan.
"Kenapa?" tanya Arlan lembut.
Vellice menjawab dengan gumaman.
"Makan dulu. Badan kamu panas."Cowok itu berusaha mengambil sendok dengan tangan kirinya, tapi sulit. Kalau menggunakan tangan kanan, itu akan mengusik Vellice yang sedang bersandar. Lagi pula, tangan kanannya sedang mengelus lembut kepala gadis itu.
Lucas berdecak kencang. Ia merebut piring, mulai menyendokkan makanan, dan memberikannya ke Vellice."Buka mulut lo!"
Vellice membuka mata perlahan. Melihat sudah ada sesendok bubur di depannya, gadis itu membuka mulutnya dengan malas.
"Udah, Cas. Gue bisa muntah kalau makan lagi."
"Sekali lagi." Lucas kembali menyendokkan bubur.
Mau tak mau, gadis itu kembali membuka mulut.
"Sekali lagi."Arlan yang kini memerintah.
Vellice menutup mulut rapat-rapat dengan kedua tangan.
Dengan lembut, Arlan menyingkirkan kedua tangan Vellice agar gadis itu bisa melanjutkan makan.
Lucas sudah siap dengan sendok penuh bubur di tangannya. Bahkan, sebelah tangannya ikut memegangi dagu Vellice agar gadis itu membuka mulut. Bubur berhasil masuk setelah mulut Vellice terbuka. Setelah itu, Vellice langsung berbaring dan menutupi wajah dengan bantal.
"Astaga!"Cowok itu melotot karena kelakuan aneh Vellice. "Lo kalau sakit bisa normal dikit enggak, sih? Bikin geregetan!"Tangannya menepuk kaki Vellice.
ResponsVellice hanya menjauhkan kaki. Lucas menghela napas malas. Cowok itu berjalan menuju nakas yang ada di samping tempat tidur. Smentara Arlan membalik tubuh Vellice.
"Jangan tidur tengkurap. Susah napas nanti." Arlan memperingatkan lalu mengelus kepala Vellice lembut.
Mendapat perlakuan seperti itu, Vellice memejam nyaman.Suara bedebum membuat Vellice langsung terjaga.
"Lo mau ngancurin meja gue, Cas?"
"Lo pikir? Siapa yang enggak bisa minum obat? Harus gue remuk dulu,‘kan!"
Vellice mengernyit. Gadis itu sedang mencari-cari ingatan tentang dirinya yang sakit dan Lucas.
"Kok, lo tahu gue enggak bisa minum obat? Bukannya gue enggak pernah bilang ke lo?”
Saat mendengar itu, Lucas menghentikan pukulan. Cowok itugelagapan sambil berpikir keras.
"Lo lupa kali!"Lucas menyaut santai, meski Vellice tetap curiga.
"Begokalau lo mukulnya gitu. Halus enggak obatnya, remuk iya tuh meja.” Arlan menoyor kepala Lucas. Arlan mengambil sendok, menuangkan obat-obatan itu di atasnya. Setelahnya, memberi sedikit air untuk membasahi obat itu, kemudian menjepit sendok itu dengan sendok lain dan menekan kuat-kuat. Dalam beberapa detik, obat-obat itu berhasil remuk.
"Wah, cocok lo jadi babu!" ucap Lucas sinis sambil menatap Arlan yang seperti menyombongkan diri.
Tangan kiri Arlan kembali memukul Lucas."Bangun dulu, Lice."
Vellice langsung bangun. Arlan menuangkan sedikit air ke sendok lalu mengaduknya agar merata dengan obat. Vellice membuka mulut. Ketika obat semakin mendekat ke mulut, Vellice kembali menutupnya.
"Enggak usah manja, deh!" seru Lucas sambil melotot.
Vellice melirik sinis ke arah cowok itu lalu kembali membuka mulut.
Begitu obat masuk, Vellice langsung merebut gelas berisi air putih yang diberikan Lucas.
"Pahit!" Refleks Vellice merengek sambil mengernyit.
"Namanya obat, ya, pahit!"sewot Lucas.
Vellice langsung membuka matanya. "Lo punya masalah hidup apa, sih?" Gadis itu melotot ke arah Lucas.
"Menurut lo? Berani-beraninya lo enggak ngasih tahu kalau kemarin ulang tahun!"Lucas balas melotot.
"O, ya. Tadi pagi aku lama di sini. Kenapa kamu juga enggak cerita?" tanya Arlan. Kini, cowok itu ikut menatap Vellice meminta penjelasan.
"Lupa."
"Enggak ada alesan yang lebih mutu? Kalau mau ngeles yang pinter dikit," sindir Lucas.
"Ck! Cerewet banget sih, jadi cowok!"Vellice menyahut sewot.
"Lice, aku beneran marah, loh. Kamu kenapa enggak cerita?" Arlan ikut bersuara.
"Mana ada orang marah bilang-bilang."Lucas kembali menyindir.
"Diem deh, lo! Lo sendiri juga kesel, kan, gara-gara enggak tahu bocah satu ini ulang tahun?"Kali ini Arlan yang menyindiri Lucas. Intonasinya menajam, sangat berbeda saat bicara dengan Vellice.
"Bocah satu ini?"Gadis itu mengulang kalimat Arlan.
"Enggak usah ngalihin perhatian lo!"Lucas berseru.
"Astaga, kalian bener-bener enggak nyerah, ya? Iya, iya, sengaja. Kalian tahu sendiri gue miskin sekarang. Harus kerja sendiri. Dipikir biaya sekolah bayar pake angin apa? Ya, enggak mungkin gue bilang-bilang, ‘kan? Yang ada ujung-ujungnya gue ngeluarin uang lagi." Vellice memberondong.
Mendengar jawaban itu, membuat kedua cowok di sana mendengkus kasar.
"Lo lupa? Dua cowok lo ini sultonah semua, Vel."Lucas berseloroh.
"Eh?" ucap Vellice terkejut. Matanya mengerjap bingung. Berpikir, sepertinya ada yang salah dari kalimat yang diucapkan Lucas.
***
Seharian ini, saat ulang tahun Anna, Arlan mengurungnya di dalam kamar. Gadis itu dilarang keras untuk berangkat bekerja. Bahkan, Arlan terus menunggui. Cowok itu tidak meninggalkan Vellice barang sebentar pun.
Vellice sendiri sudah mulai berpikir. Mungkin kejadian buruk itu bisa dihindari. Ia masih mengingat dengan jelas. Saat ulang tahun Anna ini adalah saat pertama kali tokoh Vellice mencoba bunuh diri. Juga saat pertama kali tokoh Vellice mengenal betapa indahnya self harm. Namun, sepertinya hal itu tidak akan terjadi karena Arlan masih disisinya.
"Ada apa? Kenapa kamu terlihat cemas sekali?" tanya Arlan. Cowok itu memeluk pinggang Vellice yang duduk di sampingnya, sedangkan Vellice bersandar di bahu Arlan.
Tangan Vellice dari tadi memainkan tangan Arlan.Tentu saja Arlan merasa aneh. Vellice bukan orang yang akan terus-menerus menempeli seperti ini. Vellice yang ia kenal selalu bersifat ketus kepadanya, dengan cara yang unik.
Vellice mendesah kecewa Negitu mainannya menghilang, tangan Arlan yang ia mainkan beralih memeluk tubuh.
"Janji jangan pergi?" tanya Vellice.
"Iya, aku juga enggak niat pergi."
"Lucas ajak kev sini aja, ya?"
"Buat apa?" Arlan mengernyit tidak suka.
"Nanti kalau kamu pergi, bagaimana?"
"Enggak, astaga! Aku di sini terus. Aku kan udah janji nemenin kamu terus."
"Enggak usah turun? Jangan keluar kamar?"
"Tergantung. Masa aku enggak ngambil minum atau makan atau keperluan lainnya?"
"Kalau gitu panggil Lucas aja!"
"Enggak!"
***
Rumah itu ramai. Deru musik terdengar hingga taman perumahan. Sebuah mobil baru saja memasuki halaman rumah tersebut.
"Wah, gila! Rame juga." Lara berdecak.
“Enggak nyangka juga Si Cupu punya temen banyak,” kekeh Alfa.
"Siapa bilang?" Angel yang sedang memperbaiki riasan ikut berseru.
"Bukannya itu cuma gara-gara Si Ketua OSIS kita dateng? Hahaha!" ejek Shelly.
“Udah ayo, Ngel! Ah, lama lo kalau dandan.” Lara menatap sebal temannya yang tidak selesai-selesai berdandan.
“Iya, iya, ayo!”
Mereka keluar dari mobil. Langkah mereka tidak ragu sedikit pun. Tubuh tegap, kepala mendongak, dan senyum meremehkan mereka tampilkan. Sangat terlihat betapa pongahnya mereka.
"Wei, Cupu!" seru Alfa begitu mereka di ambang pintu masuk.
Anna yang baru saja selesai memotong kue berjengit terkejut.
"Wah! Pas banget kita dateng! Kue pertama lo kasih siapa, nih?" seru Lara.
Mereka langsung menyerobot sampai ke bagian paling depan kerumunan.
“Pasti buat kita, ‘kan?” seru Shelly.
“Pastilah!” Lara menimpali disambung tawa.
Sementara Anna yang terdesak,mood yang sejak tadi sudah buruk menjadi semakin buruk. Gadis itu menggigit bibir kesal sambil menahan tangis.
“Bu-Bu kan, Kak.” Anna menjawab terbata.
"Terus? Mau lo kasih siapa? O, pawang lo?" Alfa sengaja semakin menyudutkan gadis itu.
"O, Si Ketua OSIS!"Lara ikut berseru.
"Wah, dia enggak dateng, nih? Wah, pada kecewa, dong? Padahal semua kesini cuma biar liat pawang lo itu!"Shelly menimpali. Kalimatnya mengundang tawa.
“Heh! Mulut apa panci, sih, itu?” Atta berseru kesal. Cowok itu mulai habis kesabaran dengan tingkah Shelly dan antek-anteknya.
"Tahu, tuh! Pengen gue kucir, tuh, mulut!"Ari ikut menyahut. "Punya mulut dipake yang bener!"
"Ye, sewot aja lo! O, itu cewek kalian? Wahahahha ternyata sama! Sama-sama cupu!" Angel ikut memprovokasi saat melihat dua gadis di belakang Atta dan Ari.
"Apa lo bilang? Cupu? Wah, wah!"Salah seorang dari dua gadis merasa tidak terima sudah diremehkan.
“Ya, ya, terserah. Yang jelas, kita enggak urusan sama lo, tapi Si Cupu yang satu ini.” Angel menunjuk Anna. “Di mana kakak lo?”
“Di a-tas.”
"Ngomong aja gagap!"kesal Angel. Gemas sekali setiap melihat cara bicara Anna yang sok ketakutan begitu.
“O, kalian temen si Vellice?” tanya gadis yang menjadi pacar Ari.
"Kenapa? Ada masalah apa lo?”Angel menyahut sewot.
“Ayolah langsung ke atas,” ajak Lara. Gadis itu sudah malas terlibat lebih jauh dengan kelompok anak-anak cupu di sana.
“Eh, enggak bisa!” Atta berseru panik sambil mendahului langkah para gadis teman Vellice itu. Bahkan, cowok itu sudah berdiri di tengah tangga.
"Kenapa, sih? Minggir, deh!" seru Alfa.
"Percaya sama gue. Kalian cuma bakal mengganggukalau ke sana."
"Udah, deh. Pada pulang aja sana. Ngeselin banget cuma bisa ngerusuh!" Ashad ambil bagian protes kali ini.
"Ganggu apaan, sih? Enggak bakallah! Seneng iya?" seru Shelly.
Mereka masih berusaha menyela tangan Atta yang menghalangi.
"Aw!" pekik Atta saat tangannya digigit Alfa.
"Heh, ada Arlan di atas! Enggak usah ke sana!" Suara Ashad menggelegar, membuat seisi ruangan terdiam. Menyisakan dentum musik yang menjadi satu-satunya suara.
Mereka seolah berpikir yang tidak-tidak. Lalu, bisikan-bisikan mulai timbul. Lantas, tawa keempat gadis itu pecah.
"Lo dicampakin di hari ulang tahun lo?” ejek Shelly dibarengi tawa.
Alfa, Shelly, Lara, dan Angel kembali ke hadapan Anna. Mengambil potong-potongan kue yang sudah dipotong lalu membawanya pergi.
"Potongan pertama lo buat kita, ya!" seru Alfa.
Mereka berjalan keluar sambil tertawa.
***
"Lan, turun bentar! Setor muka aja! Kasihan, tuh, Anna. Dari tadi jadi bahan gosip. Gara-gara lo enggak keliatan."Atta mendatangi kamar Vellice.
Kan, barusan juga diomongin, batin Vellice kecewa.
Arlan menatap Vellice. Gadis itu mau menahan, tapi juga bingung untuk apa. Toh, Arlan hanya setor muka,‘kan?Mulutnya memang tidak berkata apa pun, tapi kedua tangan Vellice mencengkeram baju Arlan. Vellice menggeleng dengan mata berkaca-kaca.
Arlan menghela napas pelan. Cowok itu menggeleng ke arah Atta.
"Tapi, Lan! Anna udah hampir nangis di acaranya sendiri!"Atta mulai kesal dengan sikap Arlan.
Arlan menghela napas lagi. Cowok itu bingung.
"Sebentar, ya?" tanya Arlan.
Vellice mendesah kecewa mendengar kalimat itu. Gadis itu langsung melepaskan tangan Arlan dan tidur menyembunyikan wajah.
Arlan menatap Vellice lembut."Sebentar, oke? Nanti kalau ada apa-apa, kamu telepon aku."
"Percuma!" kesal Vellice dengan suara serak.
Mendengarnya Arlan jadi semakin bingung juga panik. Vellice pasti sudah menangis."Ta, lo enggak bisa ngatasin itu?"
"Kalau bisa gue juga enggak akan kesini, Lan."
Arlan berdecak.Cowok itu bingung."Lo turun dulu. Entar gue nyusul."
Cowok itu akhirnya pasrah. Mau tidak mau, Arlan menelepon Lucas. "Cepetan ke sini!"
"Akhirnya, lo butuh gue juga,‘kan? Makanya jangan sokan bisa jaga Vellice sendirian." Lucas tertawa lebar."Gue OTW."
Arlan membalik tubuh Vellice. Dapat ia lihat gadis itu menangis ketakutan. Arlan segera memeluk Vellice.
"Jangan pergi!" rengek Vellice.
"Sebentar lagi Lucas datang."
Vellice semakin memeluk erat Arlan. Gadis itu menenggelamkan wajah di dada Arlan.Arlan, dengan pasrah menjatuhkan tubuh ke kasur itu, tidak lagi setengah duduk. Vellice semakin erat memeluk cowok itu.
"Kamu tahu yang kamu lakukan?" tanya Arlan.
Vellice diam. Gadis itu masih sibuk menangis.
"Ada apa, sih, Lice? Cerita."
Vellice tidak menjawab.
“Lan, Anna nangis!” Dari luar, Ashad berteriak.
Vellice berusaha menenangkan diri sendiri. Gadis itu melepaskan pelukan, mengusap pipi untuk membersihkan bekas air mata.Arlan tidak akan lama, Vell.
"Sana pergi, tapi bentar, ya?"pinta Vellice dengan suara serak.
Arlan menghela napas. Kini,cowok itu malah ragu untuk meninggalkan Vellice.
“Enggak boleh lebih dari 5 menit."
"Beneran enggak papa?"
Vellice mengangguk.
Arlan mengelus lembut pipi gadis itu. Tatapannya begitu dalam untuk Vellice.
"Sebentar, ya."Sebelum pergi, Arlan sempatkan mengecup dahi Vellice.
Gadis tiba-tiba terkekeh, membuat Arlan bingung."Lo kayak mau pamit selingkuh."
Arlan balas terkekeh."Enggaklah! Siapa juga yang mau selingkuh? Kasihan itu adik ipar. Lagian, orang-orang juga aneh. Masa ngejek anak orang gara-gara aku enggakdateng."
Vellice tersenyum. "Sana pergi! Cepet, ya!”
"Iya, iya. Sebentar lagi Lucas juga dateng." sahut Arlan.
Vellice mengangguk. Matanya menatap ke arah Arlan yang keluar.
Lagi-lagi Vellice menghela napas. Entah apa yang akan terjadi. Tiba-tiba saja, pikirannya penuh akan semua hal yang menyedihkan. Dirinya membayangkan ketika ia pergi dari dunia ini. Ia tidak akan bisa lagi bertemu dengan mereka. Ia tidak boleh memiliki perasaan seperti ini. Ia tidak boleh merasa nyaman di sini. Ia tidak boleh menyukai siapapun di sini.
Vellice bangkit. Gadis itu duduk di depan meja belajar dan mengambil buku milik Arlan. Vellice kembali menggoreskan kata demi kata. Bukan rangkaian kata yang membuat kalimat, tapi hanya sepatah patah kata.
Alone. Alone. Alone Alone.
Kata itu memenuhi beberapa lembar kertas dalam buku. Tiba-tiba, lehernya terasa seperti tercekik sesuatu. Tangannya berada di luar kendali. Entah sejak kapan ada cutter kecil di atas meja. Tangan kanan Vellice menggenggam cutter itu. Terlihat banyak darah yang keluar dari telapak tangannya.
Vellice berusaha menjauhkan cutter dari tangan, tapi nihil. Ia tidak bisa melepaskan.Mulutnya terbuka, berusaha meraih udara di sekitar. Jangan tanyakan bagaimana air matanya. Gadis itu menggerakkan bagian tubuh yang masih bisa bergerak.
Kakinya kaku. Kedua tangan di luar kendalinya. Vellice miring, menjatuhkan dirinya ke lantai. Gadis itu menatap pintu yang tertutup.Ia bahkan tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Dirinya seperti akan pingsan.
Mengapa ia tidak bisa bernapas?
***