Pagi ini, Vellice berangkat dengan menggunakan sweater panjang. Untung sekolahnya hanyalah sekolah swasta yang isinya orang kaya semua. Peraturan disini pun tidak terlalu ketat. Jadi jangan tanya kenapa Vellice bisa mem-bully dan berpakaian seenaknya di sekolah.
Kali ini Vellice naik mobil sendiri. Ia sudah mengingat jalan untuk ke sekolah.
"Tumben lo pake sweater? Lagi sakit?" tanya Angel.
"Lagi pingin" ucap Vellice acuh.
"Sarapan dulu kuy!" ajak Lara. Mereka pun segera menuju kantin.
Niat hati ingin makan dengan tenang, tapi selalu saja ada gangguan baginya.
"Lo di panggil BK" ucap seseorang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Vellice mendongak, sedikit terkejut ketika mendapati Arlan di sana.
Namun, yang dilakukan Vellice adalah acuh dan kembali memakan sarapannya. Ia sedang lapar.
"Denger ga sih!" sentak Arlan.
Vellice tak menanggapi itu, ia tetap acuh saja.
Arlan yang geram langsung menarik tangan Vellice. Menggeretnya menuju ruang BK.
"Lan! Lepas!" pekik Vellice berulang ulang, tangannya terasa sangat perih.
Sesampainya dekat dengan ruangan itu Arlan baru melepaskan cengkraman tangannya di tangan Vellice. Juga memperlambat langkahnya.
"Sakit tahu ga!" sentak Vellice keras hingga mampu membuat seisi koridor menoleh.
Arlan pun malah menatap Vellice tajam.
"Ga usah drama! Gitu aja ngeluh! Gimana adek lo yang tiap hari lo ganggu!" sentak Arlan.
Vellice menatapnya kesal, ia berjalan memasuki ruang BK sambil menghentakkan kakinya sebal.
Suara pintu ditutup menandakan Arlan ikut memasuki ruangan.
"Berani kamu memakai sweater memasuki ruangan saya! Lepas!" sentak Bu Yulia, dia adalah guru BK.
"Udah deh bu, ada urusan apa sama saya?" sahut Vellice kesal, dan langsung mendapatkan injakan kaki dari Arlan.
"Yang sopan!" sentak Arlan.
"Lepas sweater kamu! Setelah itu duduk!" perintah Bu Yulia.
Vellice yang sebal langsung melepas sweater nya dengan kasar.
"Astagfirullah! Tangan kamu kenapa!?" pekik Bu Yulia, ia pun langsung berdiri dari tempat duduknya.
Seketika pula Vellice menyesal karena melupakan lukanya. Kalau masih ingat, ia tidak akan mau melepas sweater itu.
Arlan jauh lebih terkejut lagi. Matanya hanya terfokus pada luka Vellice. Tangannya mengepal erat. Ini salahnya.
"Arlan! Arlan! Arlan! Arlan! Jangan melamun!" bentak Bu Yulia.
Arlan seketika tersadar ketika mendapat pukulan di tangannya.
"Bawa ke UKS sekarang! Cepat!" sentak Bu Yulia.
"Akh! Hei! Bego! Yang sakit tangan gue bukan kaki gue! Ngapain lo gendong gue! Turuninn!!" teriak Vellice ketika Arlan malah menggendongnya sambil berlarian di koridor membuat semua orang menoleh ke arah dua insan itu.
"Woi! Ambil P3K!" teriak Arlan setelah menendang pintu UKS.
Vellice sebenarnya mengernyit heran. Bukannya seharusnya tokoh Arlan adalah laki-laki yang tidak pernah panik?.
Bahkan di novel ketika Anna pingsan di lapangan pun Arlan masih bisa menggendongnya sambil berjalan tenang. Bukannya malah lari-larian kayak yang Arlan lakukan tadi.
Arlan segera menurunkan Vellice di atas kasur.
"Ga! Gamau!" teriak Vellice sambil menjauhkan tangannya ketika anak PMR datang membawa kotak p3k.
"Gamauu!!" teriak Vellice dia bahkan berusaha melompat ke sisi kasur yang lainnya. Namun kakinya ditahan sama Arlan.
"Lice! Nurut!" bentak Arlan. Laki-laki itu langsung ikut melompat naik brankar, menarik pinggang Vellice mendekat dan memeluknya erat karena perempuan it uterus mencoba turun dari brankar.
"Arlan! Lepas! Lepasin!" bentak Vellice.
Arlan tak menggubrisnya ia memegang tangan Vellice yang sakit.
"Cepat obatin!" sentak Arlan.
"Akh!!" teriak Vellice ketika mereka menempelkan kain berisi es batu ke tangan Vellice.
Rasa dingin bercampur perih pada bagian lecetnya bersatu.
"Arlan sakit, hiks. Arlaann... udahh.. uudahh.." rengek Vellice sambil menangis. Ia menyandarkan punggunya di dada Arlan. Tangannya mencengkram erat seragam laki-laki itu.
Arlan menghela nafas pelan. Ia menutup mata Vellice. Tanpa sadar bibirnya terus menempel pada ujung kepala Vellice.
"Jangan diliat, biar cepet sembuh. Kamu mau tangan kamu ada bekas luka besar gitu? Nanti ga bisa pamer kulit lagi" ucap Arlan. Entah mengapa hanya kalimat itu yang terpikirkan olehnya.
"Itukan gara gara kamu! Luka juga gapapa! Kan yang bikin lukanya kamu!" sahut Vellice.
"A-pa?" ucap Arlan terkejut dengan jawaban frontal Vellice. Ia kini semakin bingung, apa ia yang terlalu dalam mengartikan kalimat Vellice? Atau memang Vellice berniat mengatakan kalau ia rela luka luka asal dia yang melakukannya?
Astaga pemikiran gila apa ini?
***
Begitu mata itu terbuka rasa nyeri menyelimuti kedua tangannya.
Tangan kanannya nyeri karena kesakitan. Sedangkan tangan kirinya pegal karena dipakai bantalan sama si Arlan.
"Hahh" Vellice menghela nafas panjang.
"Udah bangun?" ucap Arlan yang langsung terbangun. Ia merenggangkan badannya yang terasa pegal pegal karena tidur dengan posisi tidak mengenakkan.
"Hmm" gumam Vellice.
"Jam berapa?" tanya Arlan lagi. Tapi matanya sudah melihat kearah jam dinding.
"Astaga udah jam 5!" ucap Arlan panik. Ia langsung berdiri mengambil tas dan lari keluar.
Vellice dengan gerakan malas keluar dari ruangan itu.
"Hahh, hujan" lagi lagi ia menghela nafasnya.
"Sialan, mana badan pegel semua. Tangan sakit, laper. Kejebak hujan lagi" gumam perempuan itu.
"Mana parkiran jauh lagi, ck!"
Karena ingin segera sampai rumah ia menerobos hujan, berlari ke arah parkiran.
Begitu memasuki mobil ia langsung meringis. "Akhh! Sakit banget sih! Ini tangan kenapa luka juga. Astaga, dingin banget kenapa ya" gerutunya terus sambil mematikan ac dalam mobil. Ia melepaskan sweater nya yang sudah basah total.
Vellice segera melajukan mobilnya. Nasib kembali menghampirinya ketika mobilnya mogok di jalan perumahan yang begitu sepi.
"Haaaaaahhh, sial. Ini kenapa bensin habis juga!" pekiknya tertahan.
"Mana gue tahu pom bensin dimana! Mana gue tahu harus ngisi bensin dimana! Gue gatahu apa-apa astaga. Perasaan gaada adegan mobil mogok di novelnya. Ck!" ucap Vellice sebal. Namun seketika ia tersadar akan sesuatu.
"Di novel juga ga ada adegan tangan gue sakit. Sial, berarti alurnya berubah gara-gara gue dong" gumamnya pelan.
Ia menyandarkan kepalanya ke stir mobil. Bingung harus melakukan apa.
Telfon? Ia harus menelfon siapa?
"Udah ga ujan. Apa gue jalan aja ya cari bensin" ucapnya bermonolog.
"Nggak-nggak males ah" ucapnya lagi.
"Bentar bentar, Vellice pasti punya kontak bengkel kan?" Ia segera mencari di kontak.
"Wah ada!" langsung saja Vellice menelpon bengkel. Setelah menunggu 10 menit orang bengkel sudah datang.
“Langsung diisi aja bang bensinnya” ucap Vellice. Setelah bensin terisi, ternyata mobilnya tidak bisa jalan. Mungkin karena terlanjur kehabisan bensin. Perempuan itupun memutuskan meninggalkan mobilnya saja.
"Bang, ini gue tinggal ya mobilnya. Ini kuncinya" setelah berbincang sebentar. Vellice segera lari dengan tas yang ia jadikan payung.
Tangannya yang tak tertutupi apapun terasa sangat perih. Padahal baru hari ini luka itu diobati.
Lagi lagi saat sampai rumah terdapat 2 mobil asing di teras rumahnya. Ia segera melepas sepatunya. Begitu membuka pintu semua orang sontak menoleh.
"Kakak! Kenapa basah semua!? Kakak hujan hujannan!? Tangan kakak kenapa!?" pekik Anna tanpa sadar.
"Berani kamu teriak?" ucap Vellice dengan nada rendah. Matanya menatap tajam ke arah Anna.
"Ma-maaf" ucap Anna langsung menundukkan kepalanya.
Vellice menatap sekitar. Mereka, Arlan dan ke tiga temannya menatap miris, khawatir, dan kasihan ke arahnya. Tatapan yang sangat ia benci.
"Ck!" Vellice berdecak sebal sambil menghentakkan tangannya yang dipegang oleh Anna. Ia segera melangkah cepat menuju kamarnya di lantai 2.
Brak! Bahkan ia menutup pintu dengan kasar.
"Akh!" pekiknya keras. Tangannya sangat sakit, moodnya buruk! Ia segera mengganti pakaiannya dan langsung menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha memejamkan matanya dengan tangan yang menjuntai keluar kasur karena akan sakit ketika tergesek sesuatu.
***
"Vellice tangannya kenapa? Bukannya tadi dia sama lo?" tanya Ari.
Arlan yang ditanyai malah sedang melamun. Bergulat dengan segala pemikirannya.
"Biarin ajalah! Karma buat dia! Tiap hari kerjaannya cuma nindas orang terus" ucap Atta.
"Halahh lo aja yang ga terima gara-gara pacar lo pernah kena bully an" ucap Ashad.
"Anjir! Udah ah! Ini kita kesini mau ngapain sih?" ucap Atta mengalihkan pembicaraan.
"Gatahu tuh sia Arlan mau pdkt ngajak ngajak" sindir Ari.
"Nah kan yang katanya mau pdkt malah ngelamun" ucap Ashad.
Sedangkan Anna tersipu malu ditempatnya. Ia terus menunduk berusaha menyembunyikan rona di pipinya.
"Lan! Woi!" ucap Ari sambil memukul lengan Arlan.
"Lis! List data buat pensi gimana ya?" ucap Arlan dengan cepat. Sebelum mereka menyadari apa arti dari yang ia ucapkan tadi ketika terkejut. Lis? Tentu saja dari kata "Lice" Vellice.
"Apaan sih lo? Pensi masih 2 bulan lagi ngapain lo pikir coba" ucap Ashad.
"Hmm gue udah ditagih sama Pak Im" ucap Arlan.
"Dih dasar guru satu itu emang seneng liat murid kesusahan" gerutu Ari.
"Udah-udah, pulang. Hujannya udah berenti" ucap Arlan langsung berdiri dari tempat duduknya. Dia harus segera pergi dari tempat ini sebelum tubuhnya melakukan hal gila.
***
Vellice baru saja terbangun dari tidurnya. Matanya menatap atap sejenak. Ia segera mengalihkan pandangan ketika perutnya berbunyi.
"Loh? Apaan nih?" gumamnya. Ia seketika terduduk ketika melihat kantung plastik di atas meja belajarnya.
Tentu saja meja belajar hanya namanya saja, karena isinya adalah segala jenis make up, parfum juga ikat rambut serta topi.
"Wah! Makanan! Tahu aja gue lagi laper" ucapnya girang. Ia segera memakan makanannya tanpa rasa curiga apapun. Memang ketika perut lapar hal apapun akan terlupakan selain makanan.
Setelah makan juga minum yang sudah dibelikan.
"Hmm, rasanya kayak bubble tea" gumamnya.
Setelah merasa lega ia pun baru tersadar ketika menoleh ke arah balkon kamarnya.
"Pantesan dingin banget. Pintunya kebuka gini" ia segera berjalan menuju balkon, menutup pintu itu.
"Ga usah mandi deh" ucapnya terus bermonolog.
Ia berjalan ke arah pintu kamar. Saat itu pula ia terkejut ketika mendapati hal tak terduga.
"Loh! Kok masih ke kunci!?" pekiknya panik. Ia segera berlari lagi ke arah balkon. Membukanya lebar-lebar dan menoleh ke arah bawah.
Dilihatnya batang pohon yang cukup besar memang mengarah ke arah balkon kamarnya. Ia bahkan yakin bisa turun dengan mudah melalui batang pohon itu.
"Sial! Dari siapa!?" pekiknya. Ia menoleh ke sekitar dan menemukan satu kantung plastik lagi di atas meja yang ada di balkon kamarnya.
"Apalagi ini, horror banget sih!" ucapnya.
Begitu terbuka, terlihat perban, obat merah, serta salep.
"Hmm, yaudah deh siapa yang ngasih gue juga ga peduli. Yang penting ga merugikan" gumamnya. Ia segera masuk, dan memulai mengobati tangannya.
"Hahh, perih banget sih" ia lagi lagi menghela nafas.
***