webnovel

Part 2.2

Davine masih terbaring di kasur pasiennya. Pikirannya melayang, ia telah mendapatkan keterangan dari pihak Kepolisian tentang siapa yang melakukan penikaman kepada dirinya waktu itu. Ia benar-benar tidak menyangka jika itu adalah Pak Drian, tetangganya sendiri.

Kenyataan jika Pak Drian adalah ayah kandung dari Merry juga tak kalah mencengangkan baginya, selama ini ia merasa tidak pernah melihat Merry sekalipun, Davine berani bersumpah akan hal itu.

Lalu mengapa Pak Drian mengatakan jika anaknya Merry terakhir kali terlihat bersama dirinya, sedang ia sama sekali belum pernah bertemu Merry secara langsung, ia hanya mengenali Merry dari beberapa foto yang dulu sempat dikirimkan oleh Kevin, dan tentu saja rekaman dari orang misterius di apartemen miliknya beberapa waktu yang lalu.

Walaupun pihak kepolisian menyatakan jika kejiwaan Pak Drian bisa saja terganggu karena kematian putrinya tersebut, sebagaimana yang Pak Drian tunjukan ketika ia diinterogasi oleh pihak Kepolisian.

Pihak Kepolisian bisa dikatakan memalsukan motif penikaman tersebut pada para wartawan, dengan dalih penikaman yang dilakukan Pak Drian saat itu berdasarkan motif percobaan perampokan. Pihak kepolisian tidak ingin ada opini publik yang nantinya akan sama halnya, menduga-duga jika Davine adalah pelaku pembunuhan Merry dengan bukti yang masih belum pasti. Hal itu juga bertujuan untuk menjaga nama baik Davine, karena hasil penggeledahan yang dilakukan pihak Kepolisian pada kediamannya tidak menemukan bukti apa pun.

******

Malvine memasuki ruangan Davine dengan sekantong buah-buahan. Kakaknya itu membatalkan rencananya untuk pulang ke kotanya karena kejadian yang menimpa Davine saat ini. Ia sangat mengkhawatirkan adik angkatnya itu.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Malvine, pria itu duduk di sebuah kursi yang terdapat di samping tempat tidur Davine.

"Aku rasa cukup baik untuk saat ini!" jawab Davine.

"Kau mendapat beberapa jahitan pada luka tusuk di perutmu, sebaiknya jangan terlalu banyak bergerak!" Malvine mengupas sebuah apel untuk adiknya itu.

"Apa kau melakukan sesuatu untukku?" tanya Davine pada Kakaknya yang terlihat sedang sibuk dengan apelnya di tangannya itu.

"Maksudmu?" Malvine terlihat tidak begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Davine.

"Maksudku, sesuatu tentang apartemenku!" tambah Davine, ia tidak ingin menanyakan hal itu dengan terang-terangan.

"Apartemen?" Malvine semakin dibuat bingung oleh pertanyaan yang Davine lontarkan.

"Baiklah, lupakan saja!"

"Bukan hal penting," tutur Davine dengan sedikit tersenyum.

Malvine hanya bisa mengerutkan keningnya, bingung dengan apa sebenarnya maksud dari pertanyaan Davine barusan.

"Maaf merepotkanmu!" ujar Davine, matanya menerawang ke arah langit-langit, sedang pikirannya mulai berkecamuk.

Urusan Malvine di kota itu sebenarnya telah selesai beberapa hari yang lalu, namun karena kejadian tersebut ia harus menunda kepulangannya. Ia juga yang mengurus segala keperluan Davine selama berada di rumah sakit tersebut. Ia sangat baik untuk ukuran seorang kakak.

"Mengapa kau berkata seperti itu?"

"Itu adalah tugasku sebagai Kakak."

"Kau selalu saja menganggap dirimu orang asing bagi kami!" terang Malvine, ia menyodorkan apel yang telah dikupasnya itu pada Davine.

"Apa Ayah dan Ibu mengetahui hal ini?" tanya Davine, ia mengambil sepotong kecil apel dari piring yang disodorkan oleh Malvine.

"Aku belum sempat mengabarinya!" jawab Malvine.

"Itu bagus. Aku ingin kau merahasiakan kejadian ini, aku tidak ingin membuat mereka khawatir!" pinta Davine pada kakaknya itu.

"Baiklah. Selama kau baik-baik saja aku rasa itu tidak masalah!" jawab Malvine menerima permintaan tersebut.

"Tentu saja, luka seperti ini akan sembuh dalam beberapa hari saja!" ujar Davine, berusaha meyakinkan kakaknya itu.

Malvine hanya mengangguk, sesekali ia juga menyantap apel yang telah dikupasnya.

"Baiklah, aku akan keluar sebentar. Aku rasa aku perlu sedikit merokok!" ujar Malvine. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu keluar.

Davine yang ditinggal sendiri di kamar tersebut masih terus berpikir dengan keras. Ia yakin seharusnya handgun dan micro card yang menyimpan video pembunuhan Merry yang didapatkannya dari pengirim misterius itu seharusnya ada di kamarnya. Ia bahkan hanya menaruh kedua benda itu di laci mejanya yang saat itu tidak terkunci, benda itu bahkan tidak tersembunyi sama sekali. Bagaimana bisa pihak Kepolisian yang bertugas tidak menemukan benda itu saat melakukan penggeledahan, pikirnya.

Apakah itu ulah Malvine, pikir Davine sekali lagi. Namun hal itu juga sangat tidak mungkin, Malvine bahkan tidak tahu letak apartemen miliknya, terlebih lagi hanya dia dan pemilik apartemenlah yang seharusnya memiliki kunci kamar tersebut. Davine sudah memeriksa tas miliknya, ia memastikan jika kunci kamar miliknya masih berada di sana, tersembunyi di sebuah kantong rahasia yang dibuatnya sendiri untuk menyimpan barang-barang penting miliknya.

Lalu ke mana perginya benda-benda itu, Davine masih tidak habis pikir akan hal itu, walaupun kenyataannya hal itu juga sangat menguntungkan baginya.

******

Bella mulai kesal dengan tingkah pemuda yang sedari tadi mengikutinya. Pria itu telah berjalan membuntutinya semenjak ia pulang dari kampusnya, berkali-kali Bella dengan sengaja menatap tajam ke arah pria tersebut, namun pria itu dengan segera menundukkan wajahnya ke tanah, ia berusaha menghindari tatapan tajam yang Bella berikan.

Bella berharap dengan melakukan hal itu maka pria tersebut akan berhenti untuk mengikutinya, namun percuma pria itu antara bodoh atau keras kepala Bella tidak mengerti, yang pasti pria itu dengan konyolnya terus saja membuntuti Bella sepanjang perjalanan.

Bella yang sudah mulai geram segera mengiring pria tersebut untuk terus mengikutinya. Sampai pada sebuah gang kecil, Bella terus mengiring pria itu dengan perlahan, ia sudah merencanakan sesuatu.

Dirasa tempat itu cukup sepi dan tidak ada orang lain selain dirinya dan penguntit itu, Bella segera membalikkan badanya dengan setengah berlari, lalu, "Bruuuukkk" sebuah round kick mendarat tepat mengenai wajah sang penguntit tersebut.

Gilanya Bella melakukan gerakan tersebut dengan menggunakan heels, walau yang dikenakannya saat itu tidak terlalu tinggi, tetap saja hal itu membutuhkan keahlian khusus.

Bella adalah seorang atlet seni bela diri taekwondo, ia bahkan pernah memenangkan beberapa kejuaraan antar kampus yang diselenggarakan setahun sekali, wajar saja ia dapat melakukan gerakan seperti itu tanpa kendala yang berarti.

Round kick yang dilayangkan Bella saat itu belum berhasil menjatuhkan sang pria penguntit itu, ia sengaja tidak menggunakan tenaganya dengan maksimal, namun tendangan itu cukup membuat keseimbangan sang penguntit itu goyah. Belum sempat sang penguntit itu mengembalikan keseimbangannya, Bella kembali melancarkan sebuah back kick taekwondo tepat di perut pria itu, seketika membuat pria itu jatuh tersungkur.

"Aku tahu kau siapa!" maki Bella.

"Aku pernah melihatmu beberapa kali menguntit Annie, aku pikir itu hanya kebetulan saja, tapi sekarang aku tahu kau benar-benar adalah seorang penguntit!" tambah Bella masih dengan nada tingginya.

Pria itu hanya diam dan tak mampu menjawab perkataan Bella, ia terlihat gugup, seperti ingin menjawab namun terbata-bata.

"Ka ... Kau ... Sa ...!" ujar pria itu gagu.

Pria itu tidak dapat menyelesaikan perkataannya dengan benar, ia berusaha bangkit dan mencoba mengambil sebuah kamera yang tanpa sengaja dijatuhkannya karena serangan yang dilayangkan oleh Bella.

Bella yang emosinya masih di puncak segera mendahului pria tersebut dan meraih kamera tersebut.

"Apa yang kau lakukan dengan benda ini?"

"Apa kau diam-diam mengambil gambar kami?" tanya Bella, emosinya semakin menjadi-jadi.

"Apa kau orang mesum atau semacamnya!" maki Bella, ia dengan setengah sadar membanting kamera tersebut hingga hancur berantakan.

Melihat hal tersebut sang pria langsung dibuat syok, ia mencengkeramkan kedua tangannya di kepala, sebelum akhirnya bergegas dan segera memungut kameranya yang telah hancur hampir tidak berbentuk.

Bella seketika sadar dan segera merasa bersalah, ia sadar jika yang dilakukannya saat itu sudah sangat berlebihan.

"Maafkan aku ... !" ucap Bella pelan, dengan rasa bersalah yang semakin menjadi-jadi, ia melihat air mata mengalir di pipi pria itu, walau tidak banyak, namun ia bisa melihatnya dengan jelas.

Pria itu tidak menjawab perkataan Bella, ia hanya mengumpulkan beberapa pecahan kameranya lalu memasukkannya ke dalam tas, mengusap sedikit air matanya dan segera berlari meninggalkan Bella saat itu juga.

"Hey, tunggu ... !" teriak Bella. Namun pria itu tak menghiraukannya dan terus berlari meninggalkan Bella yang saat itu mulai dipenuhi rasa bersalah.

Bella tahu pria itu bernama Ryean, teman satu kampusnya, namun beda jurusan.