webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · Ficção Científica
Classificações insuficientes
57 Chs

27-Be Strong

"Kamu baik-baik aja, Na?" Ausans berdiri dari sofanya, bertanya ketika Arina muncul di ruang utama basecamp bersama Biru dan The Rock. Tempat itu disebut ruang utama karena jalur-jalur ke ruangan-ruangan lain pasti melewatinya.

Arina mengangguk, tersenyum, tentu saja berbohong. Tidak ada seorang pun yang baik setelah mendengarkan kabar seluruh manusia berubah menjadi makhluk yang malang—zombie, infected, atau apa pun itu. Apalagi kondisi keluarga Arina yang masih buram, tidak jelas kabarnya. Walaupun ia yakin mereka pasti ikut berubah. Arina tidak berniat untuk berpikiran buruk, tapi itu kenyataannya. Keluarganya tidak selamat.

"Udah dengar berita ten—"

"Udah, Sans." Arina menjawab cepat, menyela sebelum Ausans menyelesaikan pertanyaan. "Bahkan aku udah liat mereka di atas sana. Berita itu bener. Semua manusia berubah." Suara Arina tercekat.

Raut wajah Ausans berubah. Ia menghela napas. Tatapannya berubah sendu. Ada kesedihan menggantung di sana. Kesedihan yang tidak bisa diungkapkan. Arina tahu Ausans juga kehilangan banyak orang. Keluarga, kawan, kuda, atau apapun yang lain. Sama seperti dirinya.

Ausans tidak bicara banyak hal. Ia hanya memeluk Arina, bilang itu semua sudah takdir. Arina sudah menduga. Ausans tangguh. Dia mungkin bersedih, tapi ia tidak berlarut-larut di dalam kesedihan. Karena ia tahu, kesedihan yang mendalam dan berlarut-larut hanya akan melemahkannya. Berbeda dengan Arina yang susah payah menahan air matanya agar tidak jatuh sedari tadi.

Bayangkan saja, sepekan yang lalu ia masih menjalani aktivitas seperti biasa. Bangun, berangkat ke sekolah, menjahili adik perempuan dan kakak laki-lakinya, membantu ibunya memasak di dapur, mengobrol dan bercerita sejenak dengan ayahnya di teras rumah saat senja.

Tapi sekarang?

Semua ini datang terlalu cepat, mendadak. Seluruh kesedihan seakan menghantamnya tanpa ampun. Ia hanya gadis biasa. Tentu saja hal ini sangat-sangat menyakitkan baginya. Belum selesai satu kesedihan menyelimutinya, kesedihan lain yang lebih besar datang tanpa kenal lelah. Tidak hanya sedih karena kehilangan keluarga, tapi juga sedih karena melihat bumi dan seisinya berada di ambang batas kehancuran. Bahkan gambaran helikopter Ed yang meledak karena ditembak misil terus berputar dalam otaknya. Mengapa mereka membunuh orang yang tidak bersalah?

Tapi demi melihat wajah-wajah tegar orang di sekitarnya, Arina memilih bangkit. Mereka kuat. Mereka tangguh. Mereka tegar. Mengapa dirinya tidak? Arina tahu, sekaranglah waktu untuk berubah dan menerima kenyataan. Perjalanan hidupnya masih panjang. Dan dia tidak bisa terus-terusan berkubang dalam kesedihan.

"Kalau keadaannya nggak sesedih ini, aku pasti udah bilang, kalian berdua dari mana?, kalian habis pacaran, ya?, atau, kalian ngapain aja di atas sana? Tapi sayangnya kita lagi berduka. Jadi aku nggak bisa nanya-nanya." Itu suara Merapi. Dia duduk di sofa di ruang utama tak jauh dari tempat Arina berdiri.

Arina mengedarkan pandang sejenak ke setiap sudut ruangan. Ada beberapa yang belum tidur padahal waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Termasuk Ausans dan Merapi.

"Kamu baru aja bilang tadi," jawab Arina, menyahuti ucapan Merapi tadi.

"Yaudah, buruan jawab."

"Kepo." Arina menjawab singkat. Merapi langsung menekuk wajah, menggumamkan kata dasar.

"Aku mau tidur dulu, Na. Istirahat. Ini hampir jam satu pagi. Aku lega kamu nggak kenapa-napa." Ausans pamit. Arina tersenyum. Ternyata ada yang mengkhawatirkannya selama ini.

"Biru nggak mungkin biarin Arina luka, Sans. Kamu tahu itu," celetuk Merapi. Arina sok tidak mendengar. Jika begini caranya, Merapi akan terus menggodanya tanpa ampun.

"Oh ya, alien udah tahu letak basecamp, Sans. Gimana kalau mereka bom tempat ini?" Arina jadi teringat para alien alias manusia dari Mars telah menemukan sensor alat tak kasatmata, lalu menembakkan misil ke heli yang dikemudikan Ed di pelataran Istana Negara. Otomatis, mereka pasti tahu keberadaan basecamp ini.

"Tenang, Na. Jenderal Joko bilang basecamp terlindungi. Meskipun mereka ledakin gedung Istana Negara di atas kita sampai hancur, tempat ini tetap aman." Ausans memberitahu. Arina menghela napas lega. Ia lupa jika basecamp dibangun untuk menghindari hal seperti itu. Tentu saja perancangnya telah memikirkan secara matang kemungkinan ini.

"Kecuali kalau ada penyusup masuk, terus ledakin tempat ini dari dalam. Itu lain cerita," sambung Ausans. Tidak ada yang tahu ucapan Ausans akan terealisasikan begitu cepat. Dua jam kemudian, tepat pukul tiga. Ya, penyusup datang. Hanya saja tidak meledakkan basecamp seperti yang Ausans ucapkan. Dia melakukan hal lain. Hal yang tidak pernah diduga oleh siapa pun.

"Gimana keadaan Fadilah, Riva, sama yang lain?" Arina tiba-tiba bertanya, teringat dengan teman-temannya yang lain.

"Mereka syok, itu pasti. Sedari tadi mereka diem di ranjang masing-masing. Sedih sampai ketiduran." Ausans bercerita. Tatapannya bertambah sendu. "Yaudah, Na. Aku duluan. Kamu juga cepetan tidur. Pasti capek lari-lari dari kejaran zombie."

Arina tersenyum, mengangguk. Ausans melangkah pergi menuju kamarnya. Tapi baru tiga langkah, dia berbalik, lalu berkata, "Oh iya, Brownie udah makan. Dia tidur di kandang sebelah Ndeso dan Ndesit."

Mendengar Brownie disebut, Arina tersenyum kecil. Ia rindu anak ayamnya.

"Oke. Thanks ya, Sans."

Ausans tersenyum, kembali melangkah, meninggalkan Arina bersama beberapa orang yang tersisa di ruangan utama. Arina kembali mengedarkan pandang ke sekitarnya. Merapi tidak ada. Mungkin sudah pergi ke kamarnya.

Arina menarik napas, memegang erat-erat pisau di tangannya. Ia harus menemui Biru. Ada yang harus ia selesaikan sekarang juga.

***

Keadaan sepi. Hanya ada suara gemericik air.

Arina menyesap minumaminuman hangat di depannya. Kadang mengaduk-aduk minuman itu. Sekali-kali ia mengetuk meja makan, mengusir sepi. Ia memang ada di dapur. Menunggu seseorang yang kemungkinan sedang mandi di kamar mandi dapur sekarang.

Suara decitan pintu terdengar. Arina menoleh. Biru muncul dari sebuah ruangan. Rambutnya agak basah dan berantakan, mungkin karena habis dikeringkan dengan handuk. Biru sudah berganti pakaian, tidak lagi mengenakan pakaian kotor dan berdarah seperti sebelumnya.

Tangan kanannya membawa baju dan celana, pakaian kotornya tadi.

"Arina? Belum tidur?" Biru bertanya ketika melihat Arina duduk di dapur sendirian. Alih-alih menjawab, Arina malah menyodorkan segelas coklat hangat padanya.

"Nih buat kamu, Blue."

Biru ikut duduk di hadapan Arina, menerima coklat hangat di atas meja dapur. Meja yang fungsi sebenarnya untuk menaruh banyak makanan sebelum dikirim ke kantin.

"Makasih untuk tadi. Mungkin aku bakal mati kalau kamu nggak bantu lawan makhluk itu di sana. Makasih juga untuk selama ini. Aku mungkin nggak bakal ada di basecamp ini kalau nggak ketemu kamu waktu itu. Maaf juga kalau aku nyebelin, buat repot, dan bikin kamu ilfeel gara-gara omonganku yang aneh. Aku tahu aku nggak jelas."

Biru tersenyum lucu di depannya. "Kenapa tiba-tiba bilang kayak gitu? Nggak perlu minta maaf, aku seneng kok bisa bantu kamu."

Arina mengangkat bahu. Dia juga tidak mengerti alasannya. "Entahlah. Aku cuman pengen bilang makasih sama maaf aja. Setelah lihat banyak orang berubah dan heli Ed yang meledak, aku jadi mikir, seharusnya aku bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup. Ayah sama Ibu juga pasti bahagia kalau lihat aku berusaha berjuang disini." Arina tersenyum. Bayangan ayah dan ibunya berputar bak roll film di otaknya. Senyum mereka, tawa mereka, semuanya.

Arina baru sadar, menerima takdir itu menyenangkan. Mendadak keinginan balas dendamnya tadi menguap begitu saja. Pergi menghilang entah kemana.

"Lupain, ah. Nggak usah bahas itu lagi. Mendadak aku jadi baper."

Biru tersenyum. Ia menarik gelas di depannya, lalu menyesap coklat panas di depannya. Ia baru saja mandi malam-malam. Coklat panas buatan Arina sangat membantu menghangatkan perutnya.

"Kenapa kamu tahu aku ada di sini?" Biru bertanya, mengalihkan topik pembicaraan.

"Merapi yang bilang. Katanya kamar mandi di kamar cowok lagi dipakai. Jadi kamu pakai kamar mandi dapur buat bersih-bersih."

Biru mengangguk paham. Memang itu sebabnya.

"Terus, kenapa belum tidur? Kamu nggak capek, Na?"

Arina terdiam. Sejenak raut wajahnya tampak bimbang. Ia menghela napas panjang, menatap pisau yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Apa dia mampu?

"Sebenernya aku kesini buat ajak kamu ke sel. Aku mau ketemu Arival. Dan kamu yang tahu kode keamanan buat masuk sana. Tapi nggak jadi. Aku..." Ucapan Arina menggantung. Ia sedang mencari kalimat yang pas untuk menjelaskan.

"Iya, aku tahu, Na. Pisau di sebelah kamu nunjukin semuanya."

Arina melototkan mata, kaget dengan ucapan Biru. Mengapa Biru bisa tahu ada pisau di sebelahnya? Dan yang lebih Arina tidak mengerti, apa maksud perkataan 'pisau itu menunjukkan semuanya'? Apa Biru sudah tahu apa yang akan Arina lakukan?

"Tanpa disuruh lagi, akhirnya kamu mau pegang pisau itu." Biru tersenyum. "Syukur kalau kamu nggak jadi pergi ke sel. Aku tahu kamu nggak akan tega. Tadi waktu di kedai kamu bilang nggak akan tega bunuh zombie pakai pisau itu, apalagi bunuh manusia," sambungnya.

Arina menghela napas, menundukkan kepala. Biru memang tahu apa rencananya ingin menemui Arival.

"Na," panggil Biru. Arina mendongak, menatap Biru di depannya. "Nggak semua kejahatan harus dibalas kejahatan. Bahkan sebaiknya sebuah kejahatan itu dibalas dengan kebaikan. Naif emang. Atau setidaknya, kita diam tanpa membalas apa-apa. Urusan kayak gini emang sulit dipahami, Na. Tapi jangan sampai kita mengotori tangan kita dengan hal itu. Cukup mereka aja yang jahat, kita enggak, walaupun niatnya buat balas dendam.

"Lagipula balas dendam itu nggak akan berakhir baik. Itu juga nggak akan merubah sesuatu yang udah terjadi. Balas dendam itu justru menghancurkan jiwa, menutup hati dan mata, membuat si pembalas dendamnya menghalalkan segala cara buat ngelancarin misinya, walaupun itu cara paling keji. Kayak yang Arival dan alien lakuin. Dan nggak lucu kalau kita balas dendam juga, terus mereka balas dendam lagi. Nanti nggak bakal selesai pembalasan dendam di muka bumi ini." Biru mengakhiri ucapannya sedikit berkelakar. Arina tersenyum tipis.

Yang Biru ucapkan memang benar. Balas dendam sama sekali tidak bermanfaat. Padahal saat terbang dengan heli, Arina berkata dalam hati ia membenci balas dendam. Tapi mengapa ia ingin melakukannya sekarang?

"Lagipula, Na, Jenderal Joko bilang Arival bakal dieksekusi besok. Jadi, tenang aja, setiap perbuatan pasti ada balasannya."

Arina tersenyum, mengangguk mengerti.

"Yaudah, buruan tidur. Kamu butuh istirahat buat jernihin pikiran," ucap Biru. Arina menghela napas untuk kesekian kalinya, mengangguk.

"Oh ya, makasih minumannya. Enak." Biru berterimakasih, menunjukkan gelas kosong yang tadinya berisi coklat panas. Arina mengangguk, tersenyum.

Ia beranjak berdiri dari kursi, melangkah menuju kamarnya. Tapi baru sampai pintu dapur, ia berbalik, tersenyum, lalu berkata, "Makasih juga untuk nasihatnya, Blue."

Biru balas tersenyum di kursinya.