Apabila sinar-sinar makrifat ke.tuhanan yang berupa ilmu-ilmu ladunni yaitu pendekatan diri kepada Allah telah datang dalam hati dan telah kita jalani dan naiki dari satu tingkat ke tingkat yang lain hingga sampailah kita ke tingkat yang ketiga, barulah hati kita benar-benar terarah bulat kepada Allah s.w.t. dan tidak kelihatan selain daripadaNya, karena itulah Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah menggambarkan rumusan keadaan ini dalam Kalam Hikmahnya yang ke-55 sebagai berikut:
"Nur-nur (Ketuhanan) itu adalah kendaraan-kendaraan hati dan rahasia."
Kalam Hikmah ini pendek sekali, tetapi sulit juga memahaminya, karena itu marilah kita jelaskan pengertian-pengertiannya sebagai berikut:
I. Kita telah memaklumi perihal nur Ketuhanan, sebagaimana telah kita ketahui dalam uraian-uraian sebelumnya, bahwa nur Ketuhanan merupakan ilmu yang langsung dari Allah s.w.t. di mana dengannya lapanglah dada kita dan bersinarlah hati kita, yakni kita dapat melihat sesuatu yang benar adalah benar dan sesuatu yang salah adalah salah.
Nur Ketuhanan ini biasanya dikurniakan Allah kepada kita, apabila kita rajin dan tekun dalam mengingatiNya. Baik dengan berzikir dengan lidah, atau mengingat Allah dalam hati, atau bergabung keduanya itu. Di samping itu kita pun harus membiasakan melatih diri untuk tidak mengikuti kehendak syahwat, hawa nafsu, seperti makan yang tidak terbatas, minum semaunya, tidur semaunya pula, pelampiasan syahwat seks tanpa terpimpin dan lain-lain sebagainya.
Dengan latihan-latihan itu ditambah pula dengan kesungguhan, kerajinan dan ketekunan dalam ibadat, di samping memang segala penyakit hati sudah tidak parah lagi, barulah hati kita terbuka menerima nur Ilahi.
II. Apabila nur Ilahi telah dilimpahkan oleh Allah ke dalam hati kita, maka nur Ilahi itu merupakan jalan atau merupakan kendaraan untuk sampai hati kita kepada tujuannya, yaitu masuk ke hadirat Tuhan dan hampir kepadaNya.
Atau dengan kata lain hati kita betulbetul telah melihat kebesaran Allah dankeagunganNya. Sehingga hati kita merdeka dari perbudakan, tidak ditawan oleh hawa nafsu, tetapi bebas berjalan pada lapangan dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., kepada DzatNya dan kepada sifat-sifatNya.
III. Yang dimaksud dengan "rahasia" ada bermacam-macam pendapat ulama tasawuf:
[a] Rahasia itu ialah sesuatu yang tak dapat dilihat mata, di mana dilimpahkan Allah atau diberikan Allah ke dalam hati manusia. Laksana roh, sesuatu yang halus dan tak tampak dilihat, bahkan tak dapat ditangkap oleh pancaindera.
Sebagaimana roh adalah tempat datang cinta dan hati tempat datang ilmu, maka rahasia adalah tempat kita dapat melihat Allah, yakni kita melihat Allah s. w.t., apabila kita telah dikurniai sebagian rahasiaNya.
[b] Ada yang mengatakan, bahwa "As-Sirru" ialah sesuatu yang letaknya tersembunyi dan terpelihara antara makhluk manusia dan Allah s.w.t.
Tentang pendapat ini dapat diartikan dengan perkataan: Rahasia-rahasia kita adalah bikir (gadis) yang dihancurkan kegadisannya oleh sangka-sangka orang yang menyangka (Wahmu Waahimin). Dan atas ini pulalah perkataan orang-orang Tasawuf "Shuduurul Ahraari, Qubuurul Asraari". Yakni "Dada orang merdeka adalah kuburan rahasia-rahasia."
Hal itu menjelaskan bahwa rahasia Ketuhanan tersimpan dan terpendam dalam dada orang-orang yang merdeka, yakni merdeka hatinya da'ti perbudakan alam semesta, sehingga merdeka pula hawa, syahwat, dan nafsunya.
[c] Dan lain-lain.
IV. Mengenai hubungan antara hati dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hati, Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin, Juz III, halaman 12, berkata sebagai berikut: "Ketahuilah olehmu, bahwasanya tempat ilmu itu adalah hati. Aku maksudkan dengan hati, ialah sesuatu yang halus (yang tidak dapat dijangkau oleh pancaindera) yang mengatur anggota-anggota. Sesuatu yang halus itulah yang dipatuhi sekalian anggota. Dan dengan sesuatu yang halus itulah dapat melihat kepada hakikat segala yang dimaklumi, laksana kita dihadapkan kepada sesuatu, maka kelihatan sesuatu itu ada bentuknya, dan umpama bentuk itulah yang tertanggap dalam kaca itu.
Demikianlah bagi sesuatu yang diketahui ada hakikatnya. Hakikat ilmu itu ada gambarnya, yang gambarnya tertangkap dalam kaca hati, dan gambar itu terang dalam kaca hati. Sebagaimana kaca adalah lain dan gambar juga lain, dan adanya umpama gambar itu dalam kaca lain pula. Karena itu maka didapatkan tiga macam.
Begitu pulalah di sini ada tiga macam: hati; hakikat segala segala sesuatu dan hasil dari hakikat-hakikat itu dalam hati. Maka sesuatu yang mengetahui (yang menangkap) adalah hati. Dalam hati itu bertempat umpama hakikat segala sesuatu, sedangkan ilmu-ilmu berarti hakikat-hakikat dari segala sesuatu. Ilmu boleh dikatakan (laksana) adanya rupa dalam kaca ...."
Jadi, tulisan Imam Ghazali di atas, dapat kita fahami sebagai berikut:
1. Hati adalah tempat ilmu, dan hati bukanlah daging tetapi sesuatu yang halus.
2. Hati adalah yang mengatur segala anggota. Oleh karena hati dipatuhi oleh sekalian anggota.
3. Hati laksana kaca.
4. Dalam kaca terlihat rupa sesuatu yang berwarna, bukan zat sesuatu.
5. Sesuatu yang diketahui sebagai suatu ilmu ada hakikatnya dan hakikat itu mempunyai rupa dan rupa itulah yang ditangkap dalam hati.
6. Karena bukan gambar, dan gambar bukan kaca. Adanya gambar dalam kaca adalah kombinasi antara kaca dengan kenyataan yang tertangkap pada rupa sesuatu di dalam kaca itu. Karena itu pada hati juga ada tiga: Hati; Hakikat sesuatu; Tertangkap hakikat itu dalam hati dan kelihatan hakikat itu dalam hati.
Jadi, hati itu tempat ilmu, yakni yang ditangkap oleh hati adalah Hakikat ilmu dan ilmu dalam hati laksana terlihat gambar dalam kaca.
Kesimpulan:
Nur Ilahi adalah hakikat Ilmu Ketuhanan yang mendekatkan hamba dengan Tuhannya. Apabila nur Ilahi telah dianugerahkan Allah kepada hambaNya, maka diletakkan Tuhanlah nur itu dalam hati hamba itu. Dengan demikian maka hati dan rahasia yang merupakan hal-hal yang tersembunyi antara makhluk dan Allah dapat sampai kepada tujuannya, yaitu masuk hati dengan semua perasaan kepada lapangan melihat kebesaran Allah dan keagunganNya, sehingga hilanglah dari penglihatannya pandangan kepada selain Allah.
Dengan demikian terlepaslah jiwanya dari perbudakan dirinya dan alam makhluk, dan pada ketika itu barulah perasaannya naik kepada ketauhidan yang sebenarnya, bahwa tidak ada Tuhan yang menyembuhkan melainkan Allah, tidak ada Tuhan yang berkuasa melainkan Allah, tidak ada Tuhan yang berkehendak melainkan Allah, tidak ada Tuhan yang ditakuti melainkan Allah dan seterusnya.
Allah sajalah yang terlihat olehnya dan selain Allah tidak ada pada hakikatnya. Mudah-mudahan kita dianugerahi Allah ketauhidan yang mantap dan terus bertambah kemantapan tauhid itu dalam hati dan seluruh perasaan kita.
Mudah-mudahan kita selalu dipimpin oleh Allah s.w.t., dan jadilah kita hendaknya orang-orang yang betul beriman kepadaNya, sehingga hati kita hidup dalam menjalankan keridhaanNya, dan tidak mati hati kita seperti hati orang-orang yang munafik yang belum betul-betul beriman kepadaNya.
Amin, ya Rabbal-'alamin!