webnovel

Titik temu (2)

Brak

Suara dobrakan pintu menggema sampai ke kamar Ferona di ujung paviliun.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN PAGI BUTA BEGINI?!"

Teriakan sang kepala keluarga terdengar begitu kencang. Sangat kencang, hingga dapat membangunkan Ferona.

Penasaran, Ferona yang baru bangun berlari ke ruang tamu---tempat di mana ia mendengar kegaduhan di pagi hari yang tenang.

"Kami mendapatkan laporan bahwa Anda memperjual-belikan persenjataan secara ilegal untuk kaum Alberian!"

Ferona melebarkan mata. Menghilangkan rasa kantuk, ia mengucek-ucek indera penglihatannya, barangkali ia sedang berhalusinasi atau bermimpi. Apa ia baru saja melihat ayahnya diancam oleh petugas keamanan?

"Apa?! Orang mana yang berani melaporkan itu?!"

"Itu tidak benar! Suami saya tidak melakukan apa-apa!" bantah istri Marquis.

"Marchioness, Anda juga ditangkap karena terlibat dengan bisnis ini!"

"Apa?! Tidak! Aku tidak tahu apa-apa!"

"Anda masih bisa mengelak saat surat kontrak ini ada?"

Detektif memperlihatkan surat kontrak yang terdapat tanda tangan Marquis dan Marchioness Yelenne. Surat tentang hak persenjataan yang akan dipindahtangankan kepada pemimpin suku Alberian.

"Tidak! Itu ... aku tidak tahu karena--- suamiku yang menyuruhku!"

"Apa?! Hei! Bukankah ini semua merupakan idemu?!"

Ferona terkekeh. Baginya drama itu sungguh menarik, melihat sepasang ayah dan ibu tirinya saling berdebat mengenai dosa yang mereka lakukan bersama. Sementara Franz yang baru saja menyusul ikut menyaksikan diam-diam di belakang Ferona.

Tak lama kemudian, para petugas yang menggeledah ruang bawah tanah membawa barang-barang. Seperti persenjataan yang dijual, nota bank, lampiran keuangan, dan surat rahasia pada yang belum sempat dibakar.

"Barang bukti ini ditemukan saat penggeledahan."

Sherif langsung mengikat pergelangan tangan Marquis dan Marchiones dengan borgol sihir.

"Apa yang kalian lakukan?! Ini tidak benar! Aku tidak melakukan apa-apa!"

"Katakan itu pada Viscount Swott di meja hijau!"

"Tidaak!"

BAM

Seketika, suasana rumah menjadi hening. Hanya ada dua anak kecil dan beberapa pelayan yang berdiri di sana.

Peka dengan situasi, para pelayan menuntun dan menenangkan Franz. Untuk seusianya yang baru menginjak 12 tahun, ia terlalu kecil untuk mengetahui apa yang sedang terjadi pada keluarganya.

Sedangkan Ferona masih termangu di lorong itu. Dengan tatapan setengah tak percaya, tubuhnya sedikit gemetar.

Biasanya, ia sangat tenang meskipun sedang disiksa oleh ayahnya sendiri. Namun, sesuatu membuatnya tercengang hingga dirinya menampilkan perubahan ekspresi yang cukup signifikan.

Lantas, Ferona bergegas ke dalam kamarnya.

Tak lama kemudian, Ferona kembali melintasi lorong ruang tamu dengan gaun hijau usang milik ibunya.

Ia tak membawa apapun selain robekan kertas kecil yang diberikan Senika tempo hari.

***

Di sebuah toko pastry yang tidak terkenal, bau harum roti menyerbak keluar. Counter yang berada di tepi ruang memajang pastry dan baguette yang sudah siap saji. Para koki sibuk memanggang roti tersebut supaya tetap tersaji dengan hangat.

"Adakah yang ingin Anda pesan, Nona?" tanya seorang pramusaji terhadap gadis kecil bergaun merah muda.

"Aku akan memesannya sebentar lagi," balas gadis itu dengan senyuman lembut.

Melihat gadis kecil itu, sang pramusaji langsung berbalik. Ia pun memegang dadanya yang terus berdenyut.

Astaga, dia imut sekali! batinnya. Pipinya memerah karena mengagumi betapa manisnya anak itu.

Sementara gadis yang duduk di belakangnya memiringkan kepala. Ia pikir, pramusaji sepertinya tidak suka jika disuruh menunggu sebentar. Lantas, ia memasang mimik terluka.

"Aku sedang menunggu temanku. Jadi ... bagaimana bisa aku memesan roti duluan sebelum dia datang?" lirihnya.

Si pramusaji mengerutkan wajahnya. Ia memukul-mukul dadanya sendiri dan melambaikan tangan.

"Tidak apa-apa, Nona! Saya akan menunggu kapanpun teman Anda datang!"

Gadis berambut biru itupun kembali tersenyum tipis. Ia menaruh kedua lengannya ke atas meja.

"Terima kasih!"

Tanpa aba-aba, sang pramusaji segera menjauhinya sebelum terkena serangan jantung. Ia pun bersembunyi bersama para koki di ruang pantry.

"Erthen, apa menurutmu aku harus memesan tiramisunya sekarang?" tanya sang gadis kecil pada pria yang berjaga di belakangnya.

Pria itu mengeluarkan jam dari saku celananya. "Mungkin lima menit lagi, Nona."

Gadis itu pun mengembuskan napas. Ia melepaskan topinya dan memberikannya ke Erthen. Dengan cepat, Erthen menaruhnya ke tiang gantungan. Kemudian, ia kembali ke posisi semula.

Kling-kling

Lonceng bergoyang, beriringan dengan pintu yang terdorong oleh seorang gadis kecil. Gadis itu menaruh jaketnya ke tiang gantungan.

Setelahnya, ia mengedarkan pandangan. Tatkala matanya menangkap gadis kecil berambut biru laut, tatapannya terhenti. Lantas, ia berlari menghampiri meja gadis tersebut.

"Nona Muda Chester."

Senika mendongak mendapati gadis bergaun hijau di hadapannya. Ia memegang dadanya dengan napas terengah-engah.

"Kau terlambat, Nona Yelenne."

Setelah mengucapkan itu, Senika hanya mengencangkan jemarinya.

***

"Apa yang membawamu ke sini?"

Senika menyeruput secangkir cokelat panas yang terhidang di meja. Dengan tenang, ia melirik manik mata Ferona yang sudah sejajar dengan miliknya.

"Apakah Anda yang membuat ayah saya ditangkap petugas keamanan?" tanya Ferona langsung.

Cangkir tadi diletakkan Senika ke piringan. Ia pun berlanjut menjumput dua butir macaron. "Bukankah itu yang kau inginkan?"

Ferona mengangkat kedua alisnya selagi Senika mengunyah macaron dengan santai. Dengan kepala terisi oleh berbagai pertanyaan, ia menunggu Senika berbicara.

Selesai melahap macaron, Senika meraih cangkirnya. Ia menggoyangkan cangkir tersebut, barangkali bubuk-bubuk cokelat yang mengendap dapat bercampur dengan cairan yang tersisa.

"Pada saat pesta minum teh, kau memintaku untuk menjadi temanmu. Benar?"

Ferona hanya mengerlingkan mata tanpa membalas pertanyaan Senika.

"Kemudian, kau berusaha menarik perhatianku dengan memberi tahu bahwa aku memiliki sihir."

Ferona mengulum bibirnya sendiri. "Lalu?"

"Lalu aku mencari tahu sihir apa yang kumiliki. Setelah aku mengetahui bahwa tidak boleh ada siapapun yang tahu akan hal itu, baru teringat olehku bahwa ... kaulah satu-satunya yang mengetahui rahasiaku."

Samar-samar, senyum miring tercetak pada paras tirus Ferona. Sepertinya ia tahu arah pembicaraan ini ke mana.

"Kau memintaku mengirim surat saat aku membutuhkan sesuatu. Namun, kau sendiri sudah tahu 'kan, kalau aku tidak bisa mengirimi surat rahasia ke kediaman Marquis begitu saja?"

Senika menatap cokelat yang sudah tercampur di dalam cangkirnya, lalu meneguknya. "Aku akan menguak rahasiaku sendiri seandainya aku mengirimi surat dengan gegabah. Maka dari itu, aku pergi ke kediamanmu agar aku bisa langsung berbicara denganmu."

Ferona melihat pantulan dirinya pada teh manis yang disajikan untuknya. "Kemudian?" tanya gadis itu.

"Tentu saja, saat aku mengunjungimu, Marquis menyembunyikanmu dengan berbagai dalih. Lalu, kau sengaja memecahkan botol parfum kosong milik Marquis supaya aku tahu tentang kondisi apa yang sedang terjadi padamu."

Sesaat ekspresi Ferona berubah drastis. Pelan-pelan, ia melebarkan seringai yang selalu ia sembunyikan dalam hati.

Selepas itu, ia tertawa keras dengan suara yang sangat asing. Hal itu menyebabkan Senika tahu, warna asli Ferona yang sebenarnya.

"Astaga, Anda bahkan menyadari itu?" tanya Ferona tak percaya.

"Bagaimana aku bisa tidak sadar dengan akting burukmu? Mata hijaumu menyiratkan ketenangan sepanjang Marquis menyuruhmu pergi!"

Tawa puas memecahkan percakapan intens mereka. Membuat Erthen berpikir bahwa gadis yang dihadapi Senika ini mungkin saja adalah anak kecil yang memiliki kelainan.

"Bukan aku yang membutuhkan bantuanmu. Kau 'kan yang membutuhkan bantuanku?"

Senika mengatakan itu setelah menghentakkan cangkirnya. Menyebabkan Ferona menghentikan tawanya secara paksa. Ferona pun mencengkram cangkir tehnya sembari memandang Senika dengan berani.

"Ya, semua yang Anda katakan adalah hal benar. Saya tidak bisa menyangkalnya satupun," akunya.

Senika tersenyum puas. "Bukan hanya itu saja. Perkataanmu saat pesta teh waktu itu ...."

"Perkataan yang mana?"

"Seorang istri yang dibunuh suaminya karena tidak berdaya. Maafkan aku menertawakan itu. Aku tidak tahu kalau---"

"Ah, soal ibu saya?" potong Ferona. Ia menghela napas panjang sebelum membeo. "Itu tidak masalah."

"Tapi saya tidak menyangka kalau Anda langsung melaporkannya. Saya pikir, Anda akan menggunakan kekuasaan Duke untuk membereskan masalah saya."

Senika tertawa kecil. "Selama aku bisa membereskan masalahku sendiri, mengapa aku harus meminta bantuan ayahku?"

Senika meneguk isi minumannya hingga habis. Lalu, ia meletakkannya kembali ke piringan. "Disamping itu, ini giliranku untuk meminta bantuanmu. Kau tidak masalah, bukan?"

Ferona kembali dibuat penasaran dengan apa yang diinginkan Senika. Gadis itu memiliki segalanya; mulai dari kekayaan, kehormatan keluarga, hingga rupa cantik yang mirip dengan boneka. Namun, apa yang ia inginkan dari seorang anak haram Marquis seperti dirinya?

"Apa yang Anda inginkan dari saya?" Akhirnya suara dalam hati itu terlontar dari mulut Ferona.

Senika menyingkirkan makanan yang mengganggu penglihatannya. Ia pun mengucap, "Bantu aku menggunakan sihir. Kau adalah putri seorang gipsi yang berbakat. Kau bisa melakukannya bukan?"

Ferona mengangguk yakin. "Tapi ... dengan satu syarat?"

Erthen hendak menghujatnya yang sudah begitu merepotkan Senika, namun hal itu dicegah oleh Senika.

"Syarat apa yang kau maksud?" tanya Senika.

"Jadilah sahabatku!"

Kini, Ferona menunjukkan sifat aslinya di hadapan Senika. Selama ini, ia berpura-pura bodoh agar tidak dimanfaatkan. Terlebih, di depan Marquis yang dulu memanfaatkan ibunya untuk memasok senjata sihir.

Setelah tidak dibutuhkan lagi, ibunya dibuang layaknya sampah yang dibakar begitu saja---membuat Ferona enggan untuk menonjolkan dirinya pada siapapun.

Sebenarnya ia cukup mahir dalam menggunakan sihir dasar. Namun, ia hanya berpura-pura lemah.

Tapi, kini ada sesuatu yang membuatnya begitu terkejut, sehingga ia mau tak mau mengeluarkan sifat aslinya yang selalu ia tutupi.

Sesuatu tersebut adalah kepekaan Senika, yang membuatnya tertarik untuk mengenalinya lebih dalam. Apalagi, mana di dalam tubuhnya sungguh unik, sehingga ia tak bisa melepaskan matanya dari seorang Senika.

Jadi ... apakah Senika akan menerimanya?

"Baiklah!"

Segera, Ferona menampakkan deretan giginya dan menggenggam kedua tangan Senika.

"Terima kasih!" girangnya.

Lalu, sejak saat itu, keduanya pun menjalin hubungan "persahabatan". Plus, Senika diam-diam berguru darinya agar bisa memproduksi kalung elixir biru.

Namun, mereka tidak melakukannya secara terang-terangan, karena Senika berniat untuk menjadikannya "kartu As" saat dirinya melarikan diri kelak.

***

Funfact:

-Ferona merencanakan "meminta bantuan" sejak awal pesta minum teh.

- Sebenarnya, dia diam-diam mendapatkan kesempatan minum teh karena Marquis menyuruhnya untuk mencarikan calon terbaik untuk Franz. (Baca: bukan untuk Franz, tapi untuk bisnisnya)

___________