webnovel

Makan Malam (2)

Selesai menyantap hidangan utama, pelayan membawakan hidangan penutup. Hidangan penutup malam ini adalah puding coklat dengan fla dan beberapa dessert susu. Dessert itu bertabur kokoa dan daun mint yang menyegarkan, tak lupa whipped cream yang mempercantik tampilannya merangsang kelenjar air liur.

Tentu saja, setelah pelayan pergi, aku bersiap sedia membabat habis makanan itu. Saat aku mulai menyantap, Louis menahan bibirnya agar tidak terkekeh.

"Sepertinya kau sangat menikmatinya."

"Karena ini enak. Perpaduan susu dan fla-nya membuat rasa dark chocolate dalam pudding tak pahit," jelasku selagi mengunyah.

"Dokter sangat tahu tentang cokelat, ya. Sesuka itu 'kah?"

"Tentu saja."

Dulu, kalau diingat-ingat, aku kerap menerima kue dan kukis coklat dari Serena ketika minum teh. Setiap kutanya alasannya, ia selalu bilang bahwa ia sudah kenyang dan tidak berselera. Anehnya, Serena akan marah bila aku memberikannya untuk orang lain. Ia akan terus mengawasiku sampai memastikan aku benar-benar memakannya sendiri.

Awalnya, kukira Serena tidak menyukai makanan itu. Namun setelah kusadari, ternyata Serena berbuat seperti itu karena ia tahu bahwa coklat merupakan rasa favoritku.

Ayah pun demikian. Ayah membolehkan kami makan makanan manis, meskipun pelayan melarangnya karena takut kami akan sakit gigi.

Bayangan kala mereka tersenyum terlukis kembali dalam ingatan. Pada saat bayangan itu semakin jelas, justru tertinggal rindu yang semakin menyesakkan relung hati.

"Kau tak apa?"

Aku tersenyum tipis sembari melambaikan tangan ketika Louis meraba-raba sakunya untuk mengambil sapu tangan. "Puding ini terlalu enak hingga membuatku ingin menangis," lirihku parau.

Tak mengerti harus merespon bagaimana, Louis beralih mengambil gelas wine miliknya. Selagi membiarkanku menghabiskan makanan, ia memutar-mutar dan menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Kau tak menyentuh makananmu, Tuan?"

Louis meletakkan gelasnya. Selagi mendorong sepiring pudingnya ke tengah meja, ia menawarkan, "Apa kau mau?"

Aku menggeleng. "Tidak, ini sudah cukup."

Mendengar jawabanku, Louis yang membiarkan pudingnya tetap utuh hanya menepuk bibirnya dengan sapu tangan putih.

***

Sehabis makan, kami berjalan ke tempat kereta kuda sembari mengobrol. Tak seperti hari-hari sebelumnya, ternyata berbincang dengan Louis malam ini cukup membuatku nyaman.

"Apa kau tidak mau pergi berkeliling? Ke toko perhiasan, misalnya?" Louis bertanya.

"Tidak, aku ingin pulang saja," tolakku.

"Mengakulah, Dokter, sepulang nanti kegiatanmu hanya membaca buku lalu tidur, 'kan?" tebak Louis dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Aku tak menggubris pertanyaannya dan tetap berjalan, sementara Louis memiringkan kepalanya agar dapat melihatku.

"Kau tak dapat menyangkalnya, ya? Dasar anak rajin!" umpat Louis dengan gelak ringan.

Ketika hampir sampai ke parkiran, Louis tiba-tiba mendekat dan berbisik, "Apa kau yakin ingin langsung pulang ke rumah?"

Aku mendongak, menatap tepat pada lensa pekatnya. "Ya. Memang mau kemana lagi?" balasku mantap.

"Setidaknya, kita nikmati dulu malam ini."

"Apa?"

Sebelum aku sempat mendebatnya, Louis buru-buru menarikku menjauh dari kereta.

***

"Tunggu di sini!"

Louis pun bergegas meninggalkanku setelah memastikan aku duduk di bangku kayu. Bangku pinggir jalan kota tempat orang semestinya berlalu lalang.

Semilir angin dingin membuatku mengencangkan mantel. Berbeda dari yang kukira, pemandangan kota larut malam tak seburuk yang kupikir.

Bagai katak dalam tempurung, aku selalu berlindung di tempat persembunyian. Meskipun hidup nomaden, aku tetap berhati-hati agar tak keluar larut malam.

Malam itu berbahaya. Para kriminal, pemabuk, penjudi, dan pemain wanita dapat berkeliaran di mana-mana. Untukku, berdiam diri di rumah merupakan pilihan yang baik. Aku dapat membaca buku, menyusun strategi, dan menulis jurnal harian. Bilapun aku harus mencari tahu melalui aktivitas malam, aku lebih memilih mempercayakannya pada anak buah Erthen. Itulah yang kupikirkan sebelumnya.

Namun, kini, persepsiku tentang malam menjadi sedikit berbeda. Pada kenyataannya, jalanan dikerumuni oleh para warga yang mengakrabkan dirinya satu sama lain. Rakyat jelata bersenda gurau di meja bundar dengan segelas bir di tangannya. Para kaum muda menari-nari dengan iringan petikan mandolin.

Aku menghirup napas. Aroma daging asap menguar dari tempat makan. Di atas jajaran gedung, langit gelap bertabur bintang membuat hati begitu tentram.

Tap tap tap

Derap sepatu kulit bertumpang tindih. Seiring jarum jam yang berdetak, langkah kakinya semakin mendekat. Tepat saat aku menegapkan badan, seseorang lelaki berdiri tepat di hadapanku. Cukup menggelitik karena lelaki segagah itu menggenggam dua stik apple toffee di tangannya. Tentu saja lelaki itu adalah Louis,

"Oh? Bukankah kita baru saja makan?" tanyaku spontan. Aku menggeser posisi agar Louis dapat duduk.

"Tiba-tiba saja, aku ingin mencobanya," ucap Louis. Selagi menyandarkan punggung, ia menyerahkan satu apple toffee-nya untukku.

"Jadi, kau jauh-jauh ke kios hanya untuk membeli jajanan anak-anak?" ledekku. Namun, aku tetap menggigit apel yang sudah susah payah ia belikan.

"Masa kecilku kurang bahagia, kau tahu?" ucap Louis dengan nada candaan.

Aku menanggapinya dengan tawa ringan. Selepas itu, kami menatap langit selagi menghabiskan apel.

"Ada apa?" Akhirnya, aku membuka suara. Beberapa menit lalu, aku pura-pura tak tahu bahwa Louis sedang mengamatiku.

"Bolehkah aku tidak memanggilmu 'dokter'?"

"Tentu."

"Lalu, haruskah aku memanggilmu...."

"Merliana."

"Merliana, terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku."

Louis mengulurkan sesuatu. Dan itu adalah sekuntum bunga mawar biru.

"Ah?!" Tanpa sadar, aku menepisnya begitu saja. Entah mengapa melihat bunga itu membuatku merasa resah.

Louis melebarkan matanya. Sepertinya, aku membuatnya terkejut. Berusaha tampak tenang, aku kembali menerima bunga pemberian Louis.

"Y-ya. Terima kasih juga untuk malam ini."

***

Setelah memakan apple toffee , kami bergegas kembali. Di tengah perjalanan, kami mendapati beberapa kios dan orang-orang yang berlalu lalang.

"Pesta topeng! Siapa yang ingin menghadiri pesta? Ada potongan harga bagi yang membeli tiket terakhir!" Seorang pria berkoar, mengayunkan tangannya tinggi-tinggi. Setelan jubah hitam beserta topeng yang senada membuatnya tampak tak terlihat di keramaian.

"Oh! Nona!" serunya. Ia mencegatku saat ia menyadari bahwa aku menengok ke arahnya.

"Bawalah tiket ini! Kau akan bersenang-senang dengan pengalaman yang istimewa!" bisik pria itu, sembari menyodorkan tiketnya kepadaku.

Tiket tersebut berwarna hitam dengan cetakan huruf emas. Sekilas, tak ada bau keanehan yang tercium. Namun, entah mengapa ada setitik kejanggalan yang membuat perasaanku tak enak.

Diam-diam, aku menggenggam tangan Louis. Setelah aku menolak, aku menarik Louis untuk melarikan diri sejauh-jauhnya.

***

Kami baru berhenti berlari ketika sampai di tempat kereta. Sementara aku mencoba mengatur ritme napasku yang tak beraturan, Louis berdiri di sampingku dengan mimik yang cukup tenang.

"Seharusnya, kau tak berlari sekencang itu. Tubuhmu sangat lemah," tutur Louis.

"Aku hanya tak mau membeli tiket itu," jelasku.

"Mengapa?"

"Sepertinya ada yang tak beres dengannya."

"Apakah itu yang dikatakan sahabatmu?"

Aku tak dapat mengelak. Benar, selama ini, Ferona dan Erthen melarangku untuk keluar di malam hari. Ferona bilang banyak orang aneh yang berkeliaran. Bila tak ingin terlibat dengan hal yang berbahaya, aku sebaiknya mencari aman dengan berdiam diri di rumah.

"Sepertinya benar." Louis mempersempit jaraknya denganku. Kemudian, ia berbisik, "Mau kuberitahu satu rahasia?"

Aku melirik Louis hingga mata kami beradu pandang. Ia kembali berbisik, "Orang-orang elit berkumpul di pesta topeng. Mereka menyukai acara ini untuk menghambur-hamburkan uang."

"Oh, begitu," ucapku tak acuh.

"Bagaimana dengan para bangsawan?"

Deg!

Sepatah kata itu hampir meledakkan jantungku. Namun, aku berusaha untuk menjaga mimik wajahku.

"Oh, tidak. Mungkin itu tak menarik. Tapi, selain untuk berfoya-foya, ini adalah pesta rahasia di mana seseorang dapat mencari pebisnis dunia bawah, barang illegal, dan ... "

"Dan?"

"Informasi yang beredar di kekaisaran."

Louis memiringkan kepalanya dan tersenyum miring.

"Apa kau tidak ingin tahu?"

***