webnovel

BAB 17 KUCING YANG MALANG

Perut Riri terasa lapar. Ingin sekali makan nasi. Ya ia tidak butuh cemilan atau semacamnya. Ia hanya butuh nasi.

Riri menahan perutnya dengan kedua tangan. Ia merasa sangat lemas. Biasanya jika di rumah, mungkin saat ini ia akan menyantap tempe goreng dan sambal lalu nasi putih. Riri membayangkan dengan detail apa yang pernah ia makan.

Tak terasa bulir bening meleset di atas pipi putih milik Riri.

"Ya Allah laper banget."

Setelah adzan maghrib ia akan segera menyantap makanan. Tapi ia tak kuasa harus menunggu. Benar-benar malang nasibnya. Riri mempunyai penyakit magh. Maka dari itu ia seharusnya makan dengan tepat waktu.

Ia hanya bisa meminum gelas mineral. Ia menyeruput dengan pelan. Selanjutnya berbaring di atas tikar. Punggungnya terasa enak, benda keras itu sangat membuat tidak nyaman. Lalu ia meringkuk memeluk lekuknya.

Setelah beberapa menit ia tertidur pulas dengan perut keroncongan.

"Ri bangun Ri." Iyan menepuk-nepuk lengan Riri dengan pelan.

"Ya Allah udah maghrib masa dia malah tidur sih." Kata Iyan sambil memikirkan bagaimana membangunkan Riri.

Iyan sudah membangunkannya beberapa kali namun Riri hanya bergerak lalu kembali pulas.

"Ri bangun woy!" dengan menepuk lengan Riri, kali ini Iyan membangunkannya dengan suara setengah berteriak. Hingga membuat kedua mata Riri terbuka dengan terpaksa.

Jantung Riri rasanya ingin copot.

"Ya Allah." Riri mengucek kasar matanya. Ia membuka mata lagi.

"Jam berapa Yan?" Tanya Riri dengan suara serak. Ia kembali menguap.

"Jam setengah tujuh."

"Hah ya Allah aku belum solat maghrib." Riri dengan segera meraih mukena yang di dapatnya dari bantuan bencana.

"Nih nasi bungkusnya." Ucap Iyan seraya meletakkan makanan itu di atas tikar.

"Eh udah pada makan ya." Ucap Riri melihat bungkusan nasi itu.

"Iya udah. Maaf ya aku baru bangunin kamu." Iyan menggaruk kepalanya.

"Iya nggak papa kok Yan. Makasih ya kamu udah bawain aku makanan."

"Iya sama-sama. Yaudah sana sholat maghrib dulu." Iyan duduk di atas tikar. Sementara Riri diam-diam tersenyum pada Iyan.

Riri sangat bersyukur dengan Iyan si anak religius. Ia suka dengan wajah lucu Iyan. Mungkin lebih tepatnya manis.

Musolla dengan karpet warna hijau dan terdapat satu lemari dengan di dalamnya beberapa mukena. Kemudian sekat triplek yang menutup antara barisan laki-laki dan perempuan.

Riri menginjakkan kakinya yang basah. Hanya kaki kiri saja yang bisa terkena air wudhu. Sementara kaki kanannya kering dengan perban.

Riri mengenakan mukena warna putihnya. Ia suka dan nyaman dengan mukena itu. Sangat bersyukur ia bisa mendapat mukena yang di pakainya. Sebab saat pembagian bantuan pakaian, ia dan pengungsi lain berebut dengan cepat.

Dengan susah payah ia melksanakan solat maghrib walaupun kakinya masih terasa sakit. Sujud pun terasa susah.

Riri berusaha sebaik mungkin beribadah dengan sebisanya. Setelah selesai sholat dirinya memanjatkan doa dengan menitikkan air mata. Hati Riri menjerit memanggil ibunya. Ia sangat berharap doanya di kabulkan.

"Bu, semoga ibu baik-baik aja ya. Ya Allah yang maha mengetahui. Tolong beritahu keberadaan ibuku. Aku sangat ingin bertemu dengan ibuku ya Allah."

Riri mengaminkan doanya. Ia mengusap wajahnya dengan pelan. Menarik nafasnya dengan perlahan. Dan berbisik.

"Aku harus kuat!"

Wanita dengan hidung mancung ini melipat mukena dengan cepat. Sepertinya perut kecilnya meronta-ronta ingin dimasukan sesuatu yang mengenyangkan.

"Meong."

Riri melihat kebawah. Kini ia berada di luar musolla. Ternyata ada kucing berwarna putih keseluruhan. Hewan itu mendengus ke tongkat kayu milik Riri.

"Cantik banget kamu cing." Ucapnya dengan wajah berseri melihat mata kucing yang berwarna hitam lekat.

"Meong."

Riri mengangkat tongkatnya dan mulai berjalan dengan memegang tongkatnya.

"Meong meong" kucing putih itu mengikuti Riri. Namun Riri tidak menyadarinya.

Sampai di tangga Riri menaikinya dengan pelan-pelan.

"Meong."

Kucing itu kini berada di sebelah tongkat yang Riri pegang.

"Hei kamu ngikutin ya dari tadi. Aduh gimana ya." Riri melihat kesembarang arah dengan menggaruk kepalanya yang berhijab.

Kucing itu mendongak melihat Riri seperti sedang memohon untuk memberinya makan atau tumpangan tidur. Karena udara dingin begitu terasa.

"Yaudah deh sini ikut aku." Ucap Riri seraya berjalan kembali kedepan.

"Wah kucingnya cantik banget mba." Seseorang melihat kucing itu dengan senang. Riri hanya melempar senyum.

"Kok ada kucing sih Ri?" tanya Iyan yang sejak tadi duduk di tikar milik Riri.

"Iya nggak tau tuh kucingnya ngikutin aku dari sejak di musolla sampe ke sini."

Riri meletakkan mukenanya di pojokan menempel tembok. Sementara kucing itu mendekat ke arah bungkusan nasi dan mencium aromanya.

"Hei itu jatah makan Riri!" teriak Iyan sambil mengangkat bungkusan kertas itu.

"Sini Yan." Riri meraih nasinya.

Kucing itu diam duduk menatap Riri yang sedang makan.

"Biarin aja Ri nggak usah dikasih makan kucingnya." Ucap Iyan melihat kucing itu dengan wajah kesal.

"Aku kasih dikit deh, coba dia mau atau nggak." Riri mengambil sedikit nasinya dengan tangan dan melemparnya ke arah di samping kucing.

"Meong." Kucing itu mencium nasi dengan remahan lauk telur ceplok. Setelahnya ia membuang muka.

"Yah gimana sih cing." Ucap Riri kecewa melihat tingkah kucing.

"Tuh kan Ri. Dia nggak mau makan nasinya. Udah usir aja kucingnya. Toh dia bisa makan tikus." Kata Iyan.

"Coba aja sana usir pasti susah deh." Ujar Riri sambil mengunyah makanannya.

Iyan mengusir kucing itu dengan tangannya.

"Hus hus hus."

Kucing itu diam tak berkutik. Akhirnya Iyan membopongnya dan menaruh kucing itu di tangga. Berharap kucing itu akan menuruni tangga dan pergi jauh.

"Udah aku taruh di tangga kucingnya. Supaya dia bisa pergi jauh." Kata Iyan dengan bangga.

"Yakin kamu udah taruh kucing itu di tangga?" tanya Riri sambil menahan tawa.

"Yakin lah Ri."

"Tuh kucingnya di samping kaki kamu."

Iyan melihat ke bawah dengan lemas.

"Duh dasar kucing. Yaudahlah terserah kamu." Iyan duduk bersila di tikar bersama Riri.

Riri membasuh jari jarinya yang kotor dengan air mineral. Dan menampungnya di sebuah kresek. Rasanya malas jika harus turun tangga hanya untuk membasuh jari-jarinya yang kotor akibat makan tanpa sendok.

Riri membuka air mineral gelas plastik dan meminumnya tanpa sedotan.

"Alhamdulillah akhirnya perutku bisa terisi." Kata Riri tersenyum kepada Iyan.

"Alhamdulillah. Tapi aku masih kurang tau Ri. Aku masih pengin ngemil apa gitu." Iyan dengan menggerutu melihat kucing yang sekarang di dekatnya.

"Ya sabar aja Yan. Namanya juga hidup di pengungsian ya begini lah." Kata Riri dengan wajah pasrah. Sebenarnya ia juga ingin makan yang manis-manis.

Kucing itu menempel kaki Iyan. Sepertinya si kucing ingin di perlakukan dengan manja. Iyan pun mengelus-elus bulu putih milik kucing itu.

"Duh peliharaanku banyak banget nih kayaknya. Ada si ayam dan kucing ini."

Tawa keduanya pecah.