webnovel

Aku

Kejadian 2

1

"Aaaaaghhh! Kepalaku pusing!"

Kepalaku begitu pusing, rasanya baru pertama kali ini pusing menghampiriku lagi sejak puluhan tahun yang lalu, sejak aku mendapat kutukanku. Kisahku bermula pada tahun 1820, saat itu aku dan kekasihku sedang dalam masa sayang-sayangnya. Namanya Bela, Belanagara. Sedangkan aku, mungkin teman-temanku saat ini memanggilku Arka, tetapi sebenarnya namaku Arkanawirya. Kami dulu hanyalah remaja yang baru mengenal cinta, tapi seakan angkasa tidak suka, kami tersambar petir. Memangnya apa salahnya jika berciuman di bukit yang disakralkan masyarakat, pikirku dulu. Tapi itulah kebodohanku, yang membuat Bela tewas saat itu.

Kutukanku tak hanya sampai di situ, setelah bertahun-tahun aku hidup, aku mulai paham bahwa kematian enggan mendekatiku, seperti saat setelah tersambar petir, aku dengan anehnya hidup sehat saja tanpa luka. Aku sudah berkali-kali mencoba membunuh diriku ini, tapi akhirnya tetap sama, aku hidup semakin lama. Aku tak pernah merasa lapar, jika aku makan pun tidak tercerna, tubuhku seakan berhenti, karena aku bahkan tak pernah tidur tak pernah juga berkeringat. Kemudian satu lagi, kutukanku membawa pada kesedihan tak terhingga, penderitaan yang sangat nyata, aku tak pernah tersenyum dan tertawa, yang setelah aku renungi, aku pikir setengah jiwaku tertukar dengan Bela. Hingga ketika saat ini, saat aku melihat dia, murid baru bernama Ciya. Tingkahnya mengingatkanku pada Bela, dan dengan dia senyumku kembali ada, namun baru saja aku merasakan bahagia, kejadian aneh lain segera datang dengan cepatnya.

Kesadaranku hilang entah karena apa, saat aku mendengar kata terima kasih dari Ciya, seakan jiwa bahagiaku yang entah di mana mulai bisa kurasakan. Saat ini juga kesadaran dalam tubuhku hilang, tetapi aku mulai merasakan kesadaran di tempat yang lain. Aku buka mataku ini, dan yang kulihat adalah rasa sakit. Jutaan memori menerpa wajahku ini seperti badai api. Aku tidak di rumah sakit lagi, aku berada di bukit itu, tempatku tersambar petir dulu, lengkap dengan suasana senjanya, dan juga mayat Bela.

"Kenapa aku di sini! Apa ini mimpi! Bela! Bangun Belaa!"

Aku pun melihat sekeliling untuk mencari pertolongan, dan yang kulihat lebih tidak nyata. Aku melihat tubuhku sendiri, terkapar cukup jauh dari tempat Bela mati.

"Hah, kenapa ada tubuhku di sana?! Aaaahhhh! Apa apaan ini! kalau ini mimpi cepat bangun saja! Kalau ini nyata kenapa kenapa aku tidak mati saja! Langit! Turunkan petirmu! Cepat bunuh aku!" aku pun menangis seperti anak kecil yang sedang menangis.

Aku berteriak sekuat-kuatnya, semua ini, pikiranku seakan tak bisa menerimanya, air mataku kembali bercucuran, sedihku tak karuan. Hingga dalam tangisku ini pandanganku mulai hitam kembali, dan aku tak sadarkan diri lagi.

2

Beberapa jam sebelum menjemput Ciya, aku sempat berpikir sendiri di rumah, aku memang memutuskan untuk belum berangkat sekolah hari ini.

"Apa-apaan yang kemarin itu" kataku dalam hati.

"Kenapa bisa aku kembali ke saat itu ya? Apa karena aku tersenyum?"

"Hmmm, lalu kenapa aku bisa tersenyum? Apa ini karena Ciya?"

"Tapi Ciya lumayan juga sih, Apa aku dekatin aja ya?" masih kataku dalam hati.

"Katanya sekarang Ciya pulang dari rumah sakit, kalo aku jemput kayaknya bagus deh"

Aku hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuaku, kutukanku ini sebenarnya ada gunanya juga, karena aku jadi tak perlu bekerja untuk mencari makan. Keseharianku jika tidak sekolah begitu membosankan, sehingga aku selama beberapa tahun ini menamatkan banyak SMA di banyak daerah, dan tahun ini aku bersekolah di daerah kelahiranku, Kota Dewa. Hebatnya tidak ada yang mencurigaiku, padahal penampilanku sama seperti dulu.

"Hay Ciya!" kataku sambil berdiri di pintu ruangan Ciya.

"Hay, masih pagi gini, ada apa?" jawabnya sembari memperbaiki posisi duduknya.

"Katanya mau pulang, ya aku jemput" kataku ketika mendekat

"Kan nanti siang, Arka.."

"Udah sekarang aja, kamu siap-siap, aku panggil suster buat bantu ya" kataku

"Ih tunggu dulu" jawab Ciya sambil mengulurkan tangan dengan infusnya.

"Udah aman, kamu tinggal ngikut aja, lagian kamu gini juga karena aku" jawabku sambil bergegas keluar.

Setelahnya aku pun menyuruh seseorang untuk membawaku mengantarkan Ciya ke rumahnya, kami duduk berdua di kursi belakang, dan percakapan pun terjadi kembali.

"Ini beneran ga papa?" kata Ciya .

"Iya ga papa, santai aja" jawabku.

"Ngomong ngomong, kemarin kita kenapa ya?" kata Ciya lagi.

"Lah emangnya kamu juga iya?" jawabku bingung.

"Emangnya kamu ga sadar, kan kita kaya kesurupan gitu, eh tubuh kita malah bincang bincang, katanya kita berdua namanya Bela, kan ga jelas banget" jelas Ciya.

Aku yang tahu apa yang dirasakan Ciya berbeda denganku, membuatku hanya terdiam, belum lagi nama Bela dibawa-bawa. Firasatku aku harus menutupi apa yang aku alami dulu dari Ciya.

"Oh iya lupa, kayaknya rumah sakinya angker deh" jawab bohongku.

Hingga kemudian kami sampai di kontrakan Ciya, yang tidak jauh dari sekolah. Dia tinggal bersama Dina, karena rumah mereka memang jauh di kota sebelah, kulihat Ciya melambaikan tangannya juga saat kami pergi. Sorenya aku dikabari Ciya, kalau Dina marah-marah karena ketika dia ke rumah sakit, Ciya sudah pulang.

3

Beberapa minggu setelah kejadian itu, aku dan Ciya menjadi semakin dekat. Entah apa yang membuat Ciya menyukaiku juga, aku pikir dia bisa menerimaku apa adanya, ya meskipun pada setiap canda yang dia ucapkan senyumku masih selalu tersimpan, tapi untungnya mulut dan mataku masih bisa berbicara, dan Ciya menyukainya. Namun hal ini masih terasa mengganjal dalam benakku, dan aku ingin menanyakannya.

Sepulang sekolah tadi sore, aku mengajak Ciya jalan denganku malam ini. Kami berdua menonton film, dan makan malam bersama. Waktu rasanya cepat berlalu saat bersamanya, hingga aku mengajak Ciya mengunjungi bukit favoritku. Bukit yang sama saat aku tersambar petir dulu.

"Kamu ngapain ngajak aku ke bukit ginian malem-malem? Mau macem-macem ya" kata Ciya meski dengan nada bercanda juga.

"Jiah, ngapain juga aku macem-macem sama kamu di tempat angker gini" jawabku

"Hih, terus mau ngapain juga ke tempat angker" katanya

"Liat dulu ya ampun, Kota Dewa keliatan bagus dari sini" kataku.

Kemudian kami duduk di bangku taman yang ada di sana dan berbincang seperti biasanya, hingga Ciya mengatakan hal polos lainnya.

"Kamu lucu ya, kamu ga pernah senyum denger aku bicara, tapi malah aku yang ketawa ketawa aja" kata Ciya tiba-tiba.

"Emangnya apa yang lucu dari aku?" jawabku singkat, meskipun sebenarnya ini jugalah yang ingin aku tanyakan sejak tadi.

"Ih kamu itu ya, kamu itu kayaknya suka bercada, tapi wajahmu itu, itu ga mau ikut candamu haha" jawab Ciya sambil ketawa-ketawa.

"Emangnya iya, coba ya sekarang aku bercanda"

"Coba deh coba" jawab Ciya masih sambil ketawa-ketawa.

"Bercanda gimana ya, bentar, kamu duduknya agak ke selatan dikit dong"

"Kenapa geser ke selatan, selatan ke mana aku juga ga tahu"

"Ga bukan itu, aku Cuma mau bilang kecantikanmu ga bisa diutarakan"

"Hah? Tuh kan kamu gombal aja mukanya datar gitu hahaha"

"Hahaha iya ya" jawabku tak sadar aku juga tertawa.

Bukan senyum lagi, sekarang aku bahkan tertawa, selama puluhan tahun ini benar-benar hanya Ciya yang bisa membuatku tertawa. Namun seperti yang sudah terjadi, kesadaran kami mulai hilang lagi, tapi kali ini aku rasa perpindahan kali ini tidak terlalu menyakitkan dibanding yang kemarin, kami bahkan sempat berbicara sebelum kesadaran kami hilang sepenuhnya.

"Duh aku ketawa, kayaknya alam ga suka kita bahagia" kataku

"Iya nih, kesurupan lagi sih ini, emang kayaknya kamu ga boleh keta.." kata Ciya sambil menepuk pundakku.

Belum selesai apa yang dikatakan Ciya, akan tetapi kesadaranku sudah hilang sepenuhnya. Rasanya lebih halus kali ini hanya seperti saat mengantuk berat. Bukan itu sebenarnya yang aku cemaskan, melainkan cemasku adalah kami yang mengalami ini tanpa orang lain yang menjaga kami. Aku tak tahu apa yang akan roh yang mengaku Bela ini lakukan saat mengambil alih kesadaran kami malam ini.