"Kenapa kau malah jalan-jalan, Rubi? Mas Jaya mencarimu tadi. Dasar, istri tidak becus! Suami sakit dan kau malah mencari suasana lain," cetus Melani.
Sepulangnya Anti dari taman, dia langsung berbicara pada Melani. Anti sangat kesal karena ternyata Rubi menolak perintahnya untuk bercerai dengan Jaya sdan malah membentaknya. Anti dan Melani memutuskan untuk membuat Jaya kesal terhadap istrinya sendiri dengan berbagai cara. Salah satunya memfitnah Rubi berjalan-jalan ketika suaminya sedang terbaring di rumah sakit. Semua ini mereka lakukan agar Jaya menaruh amarah pada Rubi. Akan ada kejutan yang lebih menarik setelahnya.
"Mas, sudah sadar?" tanya Rubi mendekati suaminya.
Rubi tak ingin membuat keributan. Oleh karena itu, ia tidak memedulikan ocehan Anti dan Melani. Sadarnya Jaya mengundang rasa bahagia di hati Rubi.
"Kau tidak memedulikan Mama mertuamu berbicara, ya?" sungut Anti geram.
"Bukan begitu, Nyonya. Aku tidak ada jalan-jalan. Nyonya kan tahu aku diting-"
"Halah!" potong Melani. "Kau sendiri yang berkata padaku jika kau ingin keluar karena bosan di kamar. Tidak usah bersilat lidah, Rubi," sambungnya.
Rubi melotot. Sejak kapan ia berucap demikian? Rubi tahu jika ini adalah akal-akalan mertua dan iparnya saja.
"Mas kecarian kamu." Suara khas pria terdengar.
Rubi menyapu punggung tangan suaminya. Namun, Jaya malah membuang muka.
"Untung aku sudah menghasut Jaya tadi," geming Anti.
Lelaki berpostur jangkung itu dirasuki oleh mama dan adiknya sendiri. Ketika Jaya mencari Rubi, mereka mengatakan kalau Rubi tengah bersantai di luar karena lelah merawat Jaya.
Jaya sendiri bukanlah tipe orang yang mudah terpengaruh. Namun karena Jaya sedang tidak enak badan dan diliputi rasa syok, maka sangat mudah mengguncang jiwanya.
Rubi yang mendapati Jaya membuang wajahnya ke sisi lain lantas bertanya-tanya. Hatinya ikut bersedih. Andai Jaya tahu yang sesungguhnya.
"Bilang saja kalau tidak ingin menjaga Jaya. Biar kami carikan istri yang baik untuknya," imbuh Anti.
"Kenapa seperti itu, Nyonya? A-"
"Jangan pernah melakukan hal seperti ini lagi ya, Rubi. Mas butuh dukunganmu untuk sembuh." Kini, Jaya yang memotong ucapan Rubi.
Rubi mengenduskan napas kasar. Sungguh berat cobaan yang ia terima selama menjadi istri Jaya. Ia duduk di sisi brankar pasien dan menerima fitnahan mereka. Memang tiada guna membela diri. Anti dan Melani terlalu pintar melakoni peran.
Malamnya ketika Rubi sedang membawa sebuah bubur di tangannya. Anti dengan sengaja menyenggol lengan Rubi sehingga menyebabkan piring itu jatuh dan isinya tercecer di lantai. Saat itu Jaya tidak menoleh ke arah mereka, karena dia tengah memejamkan mata. Namun, Jaya tahu bahwa itu adalah suara pecahan beling.
"Astaga, Rubi!" teriak Anti.
Melani yang berada di sana pun sontak terlonjak kaget. Ia menutup kedua mulutnya dengan tangan. Ah, lebih tepatnya Melani hanya berpura-pura histeris. Karena semua ini adalah bagian dari rencananya dan Anti.
"Kenapa buburnya kau jatuhkan? Itu kan pemberian pihak rumah sakit untuk pasien," tanya Melani dengan nada kesal yang dibuat-buat.
Rubi menundukkan kepala dan menilik bubur yang tercecer di bawah sana. Apa lagi ini? Mertua dan iparnya belum puas menyiksa Rubi.
"Aku tidak menjatuhkannya," bela Rubi.
"Masih bisa kau berkelit, hem? Kurasa kau memang menginginkan Jaya tidak sembuh-sembuh, ya. Kau mencari masalah dari tadi siang," cercah Anti geram.
Sementara itu, Jaya tampak begitu kaget dengan apa yang dilihatnya. Lagi-lagi ia terpengaruh dan menganggap jika Rubi memang sengaja menjatuhkan piring tersebut. Hati Jaya mencelos. Baginya, Rubi mulai berpaling tatkala dirinya terbaring lemah di rumah sakit.
"Rubi, apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanya Jaya dengan perasaan kecewa.
Rubi sontak melambaikan kelima jarinya di hadapan Jaya. Ia sangat menyayangi Jaya dan tak ingin membuatnya bersedih. Namun, apalah daya. Jaya terlalu sensitif sehingga ia tidak bisa menyaring mana perbuatan baik dan buruk.
"Bukan begitu, Mas. Aku tidak menjatuhkan piringnya," balas Rubi.
"Lebih baik kau keluar saja, Rubi! Biar kami yang merawat Mas Jaya." Melani mendorong bahu kakak iparnya.
Rubi membantah dan mempertahankan tubuhnya agar tetap di sana. Sialnya, kini Anti membantu Melani untuk menghempas Rubi. Wanita malang itu tak dapat melawan, hingga akhirnya dia pun mengalah dan hanya bisa melihat Jaya melalui pintu transparan tersebut.
"Aku akan meminta bubur yang baru buat Mas Jaya," ucap Melani.
Melani keluar ruangan. Tak lupa ia memberi ultimatum pada Rubi.
"Ingat, gadis bodoh! Jangan pernah kau mencari muka pada kakakku lagi,"
"Kalian tidak bisa seperti itu. Kalian mengarang semuanya dan berhasil membuat Jaya kesal padaku," jawab Rubi. Ia meremas rambutnya sendiri tanda frustasi.
"Hahaha. Itulah pintarnya kami. Selagi kau masih bersama Mas Jaya, maka jangan harap hidupmu akan tenang, Rubi!" Melani mendaratkan kelima jarinya di dahi Rubi.
Di dalam ruangan, Anti senantiasa berusaha menjelek-jelekkan Rubi. Segala macam cara ia lakukan agar Jaya terpengaruh.
"Sudahlah, Nak. Istrimu itu bukan orang baik. Kan, sudah ada Calisa sekarang. Kau bisa menceraikan Rubi dan menikah dengan Calisa," ucapnya.
"Biasanya Rubi memperlakukanku dengan lembut, Ma,
Jaya masih tidak percaya kenapa istrinya mendadak berubah di saat ia terbaring lemah. Apakah Rubi hanya mencintai Jaya di kala sehat saja? Padahal Jaya tidak tahu, kalau dia sedang berada di bawah pengaruh Mamanya. Tidak ada yang aneh dari sikap Rubi. Dia hanya korban fitnah dari dua wanita ular.
"Besok Calisa akan datang ke sini. Dia sangat prihatin dengan keadaanmu," ujar Anti.
Tak lama setelah itu, Melani pun hadir dan membawakan Jaya bubur yang baru. Melani langsung menyuapi kakaknya. Ia juga menyuguhkan kalimat-kalimat negatif tentang Rubi. Sesuatu yang sebenarnya tidak ada pada diri perempuan malang tersebut.
Hardi melintasi koridor rumah sakit dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Rubi tertidur di bangku tunggu. Hardi mencoba membangunkan Rubi saat itu juga.
"Uh, aku sampai ketiduran." Rubi mengusap wajahnya ketika sadar.
"Kenapa kau bisa ada di sini? Ini sudah tengah malam, Rubi,"
Rubi ingin mengakui perbuatan Anti dan Melani, tapi dia tahu betul resikonya. Akhirnya Rubi memutuskan untuk diam dan memendam semuanya.
"Ma- maaf, Pa." Hanya kata itulah yang mampu Rubi ucapkan.
"Apa ada yang menyuruhmu untuk tidur di sini?" tanya Hardi penuh selidik.
"Tidak ada, Pa. Semua ini memang keinginanku,"
Hardi membuang udara dari mulut. Pekerjaan yag menumpuk membuat ia harus pulang larut malam. Hardi tidak tahu kenapa Rubi bisa tertidur di luar. Yang jelas, dia mencium bau-bau kebohongan di sini.
"Ayo, masuk! Kau bisa masuk angin jika berlama-lama di luar," perintahnya. Hardi menggiring Rubi guna menyembulkan diri ke ruang pasien.
***
Bersambung