webnovel

After Bad Destiny

Naulida Ambriaksi adalah seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan posisi jabatan Manager Pengelolaan Minyak. Karir Naulida Ambriaksi terbilang sukses karena kerja keras dan kegigihannya. Namun, semua itu tidak dinikmatinya sendiri karena dia harus membiayai kuliah adiknya atas permintaan orang tua. Kasih sayang orang tua yang hanya dilimpahkan kepada adik Naulida membuatnya tertekan. Terlebih, dia juga mendapat masalah di kantor yang berimbas pada kehilangan pekerjaan yang telah susah payah diraihnya. Naulida kembali mendapat tekanan ketika adik Naulida hendak menikah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja yang dipercayainya. Ia ditekan untuk mencari, mendapatkan jodoh dan ancaman dari rekan kerjanya. Naulida tentu merasa semakin risi sehingga dia memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki paras tampan, agamis dan stylist di salah satu masjid. Dia tertarik dengan laki-laki itu. Apakah lelaki itu akan menjadi jodoh Naulida? Apakah Naulida bisa bertahan dalam menjalani ujian hidup dengan berpisah dari orang tuanya?

Angdan · Urbano
Classificações insuficientes
54 Chs

Waktunya Berlibur

Alarm jam kecil yang berada di atas nakas berbunyi dengan keras sampai Naulida mengernyitkan dahi dan tangannya meraba dan mematikan alarm-nya. Ia mengusap matanya secara perlahan.

"Jam berapa, sih, sekarang?" gerutu Naulida.

Naulida membangunkan diri dan duduk di atas kasur dengan mata sedikit terbuka sambil menguap dan meregangkan badan. Lalu, ia menoleh ke arah jam yang ada di atas nakas dan waktu menunjukkan pukul lima pagi.

Naulida tidur kembali di atas kasur sambil memeluk guling. Ia baru saja memejamkan mata, handphonenya berdering dengan keras dan ia membuka matanya.

"Astaga, siapa lagi, sih?" geram Naulida.

Naulida mengambil handphone di atas nakas. Lalu, ia mengangkat panggilan tanpa melihat nama penelepon di layar handphonenya.

"Halo," ucap Naulida dengan nada sedikit kesal.

"Selamat pagi, Naulida," sapa suara bariton yang ia kenal.

Naulida membelalakkan matanya."Pak Alexander?" sontak Naulida.

"Iya. Kamu baru bangun?" tanya Alexander.

"Iya, Pak."

"Kamu tidak lupa, kan kalau hari ini berangkat ke Sumba?" Alexander memastikan ingatan Naulida mengenai jadwal keberangkatan ke Sumba.

Naulida menepuk dahinya berkali-kali dan diam selama tiga detik. Lalu, ia merespons perkataan Alexander.

"Tidak, Pak. Saya tidak lupa," jawab Naulida.

"Oke. Kita semua berangkat dari kantor ke bandara jam setengah delapan karena tiket yang dipesan oleh Papa saya jam setengah sembilan," ujar Alexander.

"Baik, Pak. Saya tiba di kantor jam tujuh kurang lima belas menit."

Naulida mengakhiri panggilan dari Alexander dan ia terduduk dengan sedikit membungkukkan badan karena ia masih sedikit mengantuk dan berharap liburannya menyenangkan tanpa ada gangguan apa pun dan siapa pun.

"Semoga hari ini dan beberapa hari ke depan selama liburan di Sumba adalah hari yang baik," harap Naulida.

Naulida beranjak menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Ia bergegas untuk mandi pagi karena ia belum mempersiapkan pakaian yang harus dibawa selama tiga hari ke depan.

Naulida menyelesaikan mandinya selama lima belas menit dan ia ke luar hanya menggunakan baju handuk dan rambut diikat. Lalu, ia menuju lemari dan mengambil tujuh pakaian atas lengan panjang, training satu set dengan atasan berwarna abu-abu terang, sepatu kets berwarna putih, topi berwarna putih dan abu-abu, pakaian dan kacamata renang, handuk, baju handuk dan delapan pakaian dalam diletakkan di atas kasur.

Ia melangkah ke pintu sebelah untuk mengambil koper kecil dan tas kecil dari lemari. Lalu, ia memasukkan seluruh pakaian dan barang bawaannya. Setelah selesai semua, ia memakai kaos pendek, jaket jeans pendek dengan lengan panjang dan celana jeans berwarna navy senada dengan warna jaketnya.

Naulida berjalan ke meja rias dan memoles wajahnya dengan riasan wajah yang natural dan lipstik warna bibir.

Tepat pukul enam pagi, Naulida selesai bersiap dan ia turun ke lantai satu untuk pamit ke orang tua dan adiknya sambil membawa koper kecil dan tas kecil yang ia selempangkan di pinggang kanannya.

"Selamat pagi, Bu, Ayah, Dik," sapa Naulida.

"Pagi, Kak," jawab Nurlida.

"Kamu mau ke mana, Kak?" tanya Ayah.

"Nau mau ke Sumba karena acara kantor dan penghargaan kantor, Yah," jawab Naulida.

"Berapa hari?" tanya Ayah.

"Tiga hari dua malam. Nau pulang hari Minggu," jawab Naulida.

"Baiklah. Hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa jaga diri dengan baik," pesan ayahnya.

Naulida tersenyum lebar."Baik, Yah. Nau akan menjaga diri dengan baik," ucap Naulida sambil mengecup tangan ayahnya.

Naulida tersenyum lebar karena Ayah dan adiknya menyambut hari paginya dengan baik dan lembut. Ayahnya masih terdapat sisi baik nan lembut daripada ibunya yang tidak pernah halus dan lembut terhadapnya.

"Enak, ya, kamu, kamu kerja sekaligus jalan-jalan, tiga hari lagi," ucap ibunya dengan sinis.

"Bu, Naulida jalan-jalan baru ini dan ini pekerjaan bukan senang-senang, Bu," jelas Naulida dengan pelan.

"Halah, bohong kamu, kamu bilang saja ingin lepas dari tanggung jawab kamu sebagai Kakak!" tukas ibunya.

Naulida memandang ibunya yang sibuk membuatkan minuman dan makanan untuk anak dan suaminya dengan tatapan sayu dan penuh air mata ketika ibunya menuduh dan berpikir negatif kepada Naulida.

Naulida hanya bisa mengalirkan buliran air bening dan berdiam karena ia tidak ingin merusak suasana pagi siapa pun termasuk dirinya sehingga Naulida berpamitan kepada ibunya tanpa mengecup tangannya.

"Nau, berangkat, Bu."

Ia melangkah ke pintu dan mendengar perkataan ayahnya yang membelanya dan memberi penjelasan kepada ibunya secara perlahan. Namun, usaha ayah sia-sia karena Ibu masih bersikeras dengan pikirannya.

Naulida ke luar dari rumahnya dan memasukkan barang ke bagasi mobil. Lalu, ia menuju kantor dengan kecepatan normal.

Ia menyeka air matanya yang jatuh di pipinya selama perjalanan karena perkataan ibunya sangat menyakiti hatinya. Ia menghirup dan membuang napas secara berulang kali agar dadanya tidak terasa dan mengusap dada.

"Sabar, Nau, itu orang tua kamu." Naulida meredamkan amarah dan sedih dengan caranya.

Setelah meredamkan amarah dan sedih, ia melihat supermarket dan berbelok ke arahnya untuk membeli camilan, minuman, permen dan makanan cup untuk sarapan.

Ia turun dari mobil dan masuk ke supermarket itu. Naulida mengambil keranjang dan memasukkan banyak camilan, satu roti isi enam, empat minuman air mineral berukuran enam ratus mili liter dan dua berukuran satu setengah liter. Lalu, ia mengambil makanan cup dan membayar ke kasir.

Naulida selesai berbelanja, ia langsung menginjakkan gas mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata dan matanya fokus ke jalanan.

Naulida tiba di parkiran kantor bagian depan dengan halaman terbuka dan ia melihat satu bus di depan lobby dan teman-teman divisinya telah berada di samping bus. Lalu, ia melirik jam tangannya dan waktu menunjukkan pukul tujuh pagi.

Naulida turun dari mobil sambil membawa tas kardus super market. Lalu, ia mengambil koper kecilnya di bagasi dan mengunci mobilnya.

Naulida berjalan santai dengan topi berwarna putih yang terpasang di kepalanya. Netranya melihat teman-temannya melambaikan tangan ke arahnya dan ia tersenyum lebar kepada mereka sambil melambaikan tangan.

Ia baru saja menghentikan langkahnya di samping bus langsung diserbu oleh teman-temannya sambil menggeleng heran.

"Astaga, Bu, style Ibu masih saja sama dengan ciri khas pakaian panjang dan memakai topi," ucap salah satu temannya.

Naulida tersenyum."It`s my style and it`s me," ucap Naulida dengan santai.

"I like your style," celetuk Andria.

"Thank you, Andria. Oh, iya, kalian kalau di luar kantor atau pekerjaan panggil nama saja tidak apa-apa agar akrab dan tidak terlalu formal," ucap Naulida.

"Serius, apakah boleh?" tanya Andria.

"Boleh," jawab Naulida.

Andria dan teman-temannya tersenyum lebar sampai menampakkan barisan giginya karena mereka senang mendengar perkataannya yang memperbolehkan memanggil Naulida dengan sebutan nama. Ia pun ikut senang melihat teman-temannya senang.

Ketika, Naulida dan teman-temannya tersenyum dan tertawa, Alexander menghampirinya dan semua karyawannya reflek menghentikan tertawanya.

"Naulida, akhirnya kamu datang juga dan kita semua menunggu kamu," ucap Alexander.

"Maaf, Pak, kalau saya membuat Anda dan teman-teman menunggu," ucap Naulida.

"Tidak apa-apa. Kalian semua buruan masukkan tas ransel, koper ke bagasi terus naik ke bus karena kita akan berangkat ke bandara," seru Alexander.

Naulida dan teman-temannya memasukkan barang-barang ke bagasi. Lalu, ia naik ke bus dan memilih tempat duduk di tengah badan bus agar tidak pusing. Naulida duduk di bangku untuk dua orang. Ia duduk di dekat jendela dan menoleh ke jalanan.

Semua penumpang telah memasuki bus, Naulida, pejabat kantor dan teman-temannya berangkat menuju bandara. Kursi sebelah Naulida dan tidak lama, kursi sebelahnya terisi dan Naulida tidak menyadari sosok yang duduk di sebelahnya. Netranya fokus ke jalanan dan memperhatikan jalanan itu.

Selamat datang di ceritaku, selamat membaca dan menikmati ceritaku, ya, readers. Setelah membaca dan menikmati ceritaku, tinggalkan jejak dengan cara review, collection, power stone dan power ranking, ya. Dukungan teman-teman sangat berarti untukku.

Terima kasih

Angdancreators' thoughts