webnovel

After Bad Destiny

Naulida Ambriaksi adalah seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bekerja di perusahaan minyak terbesar di Indonesia dengan posisi jabatan Manager Pengelolaan Minyak. Karir Naulida Ambriaksi terbilang sukses karena kerja keras dan kegigihannya. Namun, semua itu tidak dinikmatinya sendiri karena dia harus membiayai kuliah adiknya atas permintaan orang tua. Kasih sayang orang tua yang hanya dilimpahkan kepada adik Naulida membuatnya tertekan. Terlebih, dia juga mendapat masalah di kantor yang berimbas pada kehilangan pekerjaan yang telah susah payah diraihnya. Naulida kembali mendapat tekanan ketika adik Naulida hendak menikah dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh rekan kerja yang dipercayainya. Ia ditekan untuk mencari, mendapatkan jodoh dan ancaman dari rekan kerjanya. Naulida tentu merasa semakin risi sehingga dia memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Suatu ketika, dia bertemu dengan seorang lelaki yang memiliki paras tampan, agamis dan stylist di salah satu masjid. Dia tertarik dengan laki-laki itu. Apakah lelaki itu akan menjadi jodoh Naulida? Apakah Naulida bisa bertahan dalam menjalani ujian hidup dengan berpisah dari orang tuanya?

Angdan · Urbano
Classificações insuficientes
54 Chs

Saling Menyadarkan

"Karena kamu ingin melakukan hal yang buruk kepadaku dan aku harus membela diri sekaligus melindungi diri."

Naulida menjelaskan alasannya melakukan sesuatu yang menyelakai Satrio itu. Ia pantas mendapatkan itu karena akan melakukan perbuatan yang tak pantas kepadanya.

Satrio menghampiri Naulida dengan wajah yang merah padam. Ia tak terima diperlakukan seperti itu sehingga tangan mengepal dan hampir melayang ke wajah Naulida. Naulida tak mengelak sekali pun saat Satrio ingin memukul,

Naulida menatap Satrio dengan tajam. Satrio pun juga melakukan hal yang sama sehingga tatapan maut saling bertemu. Naulida tersenyum jahat kepadanya karena berhasil melawan teman dekatnya yang dahulu baik.

"Kenapa kamu berhenti menggerakkan tanganmu?"

Satrio menurunkan tangannya yang mengepal dengan kasar. Satrio tidak pernah kesal dengan Naulida sebelumnya. Kini, ia sangat kesal dengan teman dekatnya karena menolak dan melawan diajak ke hotel. Satrio bukanlah teman dekat Naulida yang dulu.

Satrio yang sekarang adalah musuh bagi Naulida karena sikap dan sifatnya yang berubah drastis hanya ingin mendapatkan tubuh Naulida yang menggiurkan baginya. Pikirannya saat ini hanya berbau hal yang berhubungan dengan tubuh perempuan dan terobsesi untuk mendapatakan itu sebelum Alexander menikahinya.

"Kenapa kamu berubah, Satrio?" tanya Naulida.

"Aku berubah karena aku selalu kalah dengan Alexander. Dia selalu mengambil apa yang kusukai dan menjadi milikku," jawab Satrio dengan nada tinggi.

"Kamu tidak selalu kalah dengannya. Ada hal positif darimu yang bisa membuatmu lebih sukses, Sat," ucap Naulida.

"Hal positif apa? Nasibku selalu buruk dan nasib baik selalu berpihak kepada Alexander."

"Banyak sekali hal positif dalam dirimu, Sat. Selama aku mengenalmu dengan pandangan baik itu kamu penyayang terhadap anak-anak, santun dengan orang tua, pengertian dan tidak kasar seperti sekarang. Mungkin kamu berubah menjadi jahat itu. Benar, kan?" Naulida mencoba memberi ingatan yang baik dan pernah dilakukan olehnya terhadap orang lain.

Satrio terduduk lalu bersandar. Ia termenung setelah Naulida mengingatkan hal baik yang dilakukannya terhadap siapa pun. Pikirannya memutar keras dengan mengingat perbuatan baiknya itu.

Saat, ia termenung, buliran air bening itu mengalir di pipinya dengan deras. Naulida membulatkan mata ketika melihat teman dekatnya itu menangis dan meneteskan air mata yang membasahi pipi dan celana panjangnya.

Naulida turun ke bawah untuk duduk di bawah. Ia melipat kedua kakinya ke belakang seraya menatap sendu ke arah Satrio yang sedih. Ia memegang pundaknya dan mengintipnya secara perlahan.

Satrio memang menangis bak menyesali perbuatannya. Naulida memeluk Satrio dengan erat untuk menenangkan meskipun terdapat rasa takut yang ada dalam dirinya. Ia takut Satrio berbuat jahat kepadanya. Namun, pikiran itu disingkirkan olehnya karena mereka sedang berada di ruangan Naulida yang siapa pun bisa mengetuk dan datang ke ruangannya.

"Apa yang membuatmu menangis? Kamu menyesal?" tanya Naulida.

"Apa yang membuatmu masih baik denganku? Padahal aku telah menyakitimu dan hampir mengambil yang berharga darimu."

"Aku melakukan hal baik karena hanya sebagai manusia. Setiap manusia fitrahnya itu memang baik tapi, fitrah itu bisa berubah karena lingkungan sekitar. Aku yakin kepadamu kalau kamu masih memiliki sisi hati nurani yang baik," jawab Naulida.

"Kenapa kamu begitu yakin denganku bahwa aku masih memiliki hati nurani yang baik?" tanya Satrio.

"Awal pertama mengenalmu itu bisa melihat sisi baik dan tulus saat berbagi rezeki dengan anak-anak di panti asuhan. Sikap, cara bicaramu terhadap anak kecil itu lembut dan membuatku kagum denganmu. Jujur, aku belajar banyak darimu, Sat," jelas Naulida.

Naulida mengingat momen bersama Satrio ketika berada di panti asuhan. Mereka berbagi rezeki dengan anak panti yang diadakan dengan sederhana tetapi, memiliki arti yang mendalam baginya dan Satrio. Satrio adalah sosok lelaki yang mengajarkan Sandria banyak hal.

Satrio menatap Naulida yang mengucapkan hal itu dengan tulus dan penuh keyakinan terhadap lelaki itu bahwa dirinya masih terdapat sisi baik yang ada dalam hati nuraninya itu. Naulida tersenyum kepadanya untuk menenangkannya.

"Aku rindu dengan Satrio yang dulu. Satrio yang baik, penyayang, semangat untuk berubah dan bertekad untuk mendapatkan jabatan yang kamu duduki sekarang. Aku minta sama kamu, kembalilah menjadi Satrio yang baik. Jangan pernah berubah karena hal yang akan membuatmu sakit terus," ujar Naulida.

"Kamu tidak marah dan sakit hati kepadaku?" tanya Satrio.

"Ketika kejadian awal itu yang kamu ingin mengambil kehormatanku pertama kali, itu aku sangat marah bahkan membencimu. Aku sampai tidak ingin mengenalmu lagi dan akhirnya ada Alexander yang masuk dalam kehidupanku," jawab Naulida.

"Lalu, kenapa kamu baik kepadaku padahal dua kali mau mengambil kehormatanmu?" tanya Satrio.

"Jawabannya sama, Sat seperti yang aku bilang kepadamu. Intinya adalah aku masih peduli denganmu meskipun masih ada rasa takut, kecewa dan sedih kepadamu dan aku minta satu permintaan kepadamu yang aku sampaikan tadi," jelas Naulida.

Satrio melepas pelukan Naulida. Ia menyeka air mata secepat kilat. Naulida memandangi Satrio yang menangis. Satrio mengangguk dua kali kepadanya. Naulida mengernyitkan dahi saat ia memberikan anggukkan itu. Naulida bingung dengan isyarat itu.

"Apa maksud dari anggukkan dua kali itu?" tanya Naulida.

"Maksudnya adalah aku akan menjadi Satrio yang dulu. Satrio teman dekatmu. Lelaki yang memiliki tekad untuk memperbaiki hidupnya dan melepaskan semua yang bukan menjadi miliknya," terang Satrio.

Naulida tersenyum lebar saat Satrio mengatakan hal itu dengan lantang dan percaya diri bahwa ia adalah lelaki yang baik dan memiliki tekad untuk memperbaiki diri. Ia senang melihat teman dekatnya berubah menjadi pria yang dikenalnya.

"Alhamdulillah, beneran? Kamu berubah menjadi dirimu yang lama?" tanya Naulida.

"Iya beneran. Aku berubah karena diriku tapi ada permintaanmu juga," jawab Satrio.

"Syukurlah. Janjilah dengan dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi pria yang baik selamanya hingga akhir hayatmu," ujar Naulida.

"Siap. Kamu juga berjanji dengan dirimu sendiri bahwa jangan pernah menjadi perempuan yang nakal dan sampai kelepasan dalam berpacaran," tutur Satrio.

"Siap, bos."

"Kalau Alexander macam-macam sama kamu. Kamu bilang aku biar aku hajar dia dan kamu harus ingat pesanku yang pernah aku bilang kepadamu tentang keluarga Alexander," ucap Satrio.

"Apakah ucapanmu itu benar mengenai keluarga Alexander?" tanya Naulida.

"Benar dan aku tidak berbohong. Kamu lihat nanti. Aku tidak mendoakan yang buruk dan jangan sampai terjadi padamu karena setahuku perempuan yang berpacaran dengannya selalu ditidurin dan iming-iming harta dan jabatan yang lebih tinggi daripada jabatanmu saat ini," beber Satrio.

Naulida mengernyitkan dahi. Ia khawatir dengan perkataan teman dekatnya itu menjadi kenyataan. Ia berharap Alexander bisa menjadi calon suami yang menjaga dirinya hingga melantangkan kalimat akad nikah di Masjid.

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Satrio.