webnovel

4 - Konflik Tak Terduga

Di tengah mendungnya malam, Agisa berdiri di depan sebuah kamar yang terkunci. Ia mengetuk dan berusaha membuka paksa pintu kamar itu sekuat tenaga. Namun tanpa dirinya ketahui, kalau apa yang dibalik pintu itu akan terus membekas dalam ingatannya sebagai sebuah trauma mengerikan.

Karena setelah berhasil mendobrak pintu tersebut, ia seketika kehilangan seluruh tenaga di dalam tubuhnya seolah nyawanya keluar dari raga. Tangan dan kakinya langsung lemas sampai membuat badannya bertekuk lutut. Matanya tidak bisa berkedip sedikit pun ketika mendapati...

Tubuh Diki yang tergantung di langit kamar.

*KRINGGGGGGGGGGGGGG

Sebuah alarm berdering keras, membangunkan gadis tersebut dari mimpi buruk yang dialami. Ia segera mengatur nafas, masih mencoba untuk memulihkan penuh kesadarannya. Segera ia gapai ponsel yang terletak di atas meja untuk mematikan alarm yang masih menyala.

Agisa masih terus teringat momen di malam itu, sebuah momen yang akan terus menerornya di setiap mimpi. Momen dimana jiwa dan hatinya hancur karena tak percaya apa yang dilihat adalah pahitnya realita.

"Mimpi itu lagi dan lagi." gerutu Agisa.

Ponsel di tangannya bergetar, memunculkan notifikasi di layar.

Dilirik ponselnya untuk mengecek yang ternyata adalah sebuah notifikasi chat.

-Diki-

"Mau berangkat bareng gk?"

Dengan senyum kecil, ia pun mengetik.

"Mau lah."

Setelah bergelut dengan gravitasi kasur, ia pun akhirnya bangun dan beranjak menjalankan rutinitas pagi seperti mandi dan sarapan guna pergi ke sekolah.

Beberapa puluh menit kemudian, di pagi hari yang cerah, nampak Agisa yang sudah berseragam rapi berdiri di depan sebuah rumah berpetak sedang menunggu seseorang.

"Diki! Cepetan!" panggil Agisa agak kencang.

"Sabar!" sahut Diki dari dalam rumah.

Alasan bagaimana Agisa bisa sampai di rumah Diki adalah karena jarak antara rumah mereka yang tepat bersebelahan. Satu-satunya pembatas hanyalah sebuah tembok putih yang bisa dengan mudah dipanjat memakai tangga.

Tak berselang lama, Diki pun akhirnya keluar sambil mendorong motor matic hitam. Sama seperti Agisa, ia juga sudah berseragam lengkap. Tanpa pikir panjang, keduanya pun segera berangkat bersama. Dalam perjalanan, Agisa yang dibonceng menyamping memulai pembicaraan untuk menghabiskan waktu selama perjalanan.

"Hei, lo tau berita baru-baru ini nggak?" tanya Agisa bersemangat.

"Berita apaan?" jawab Diki datar.

"Jadi kemaren malam tuh ada tawuran di sekitar Jembatan Plengkung."

"Jembatan Plengkung? Bukannya itu proyek mangkrak?"

"Emang. Parah asli, katanya sih kemaren sampe ada lima orang yang meninggal."

"Ohhhh."

"Ihhhh... masa cuman gitu reaksi lo."

"Ya gimana ya?"

Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya sampai di depan gerbang sekolah, mempersilahkan Agisa untuk turun lebih dahulu.

"Makasih. Sampai jumpa di kelas." ujar Agisa.

Diki yang sudah memarkirkan motornya pun juga ikut masuk ke kelas. Terlihat Joseph yang sudah datang, duduk meletakkan kepalanya di atas meja terlihat capek.

"Kenapa kau? Sakit?" tanya Diki sambil meletakkan tas.

"Nggak, cuman susah tidur aja beberapa hari ini entah kenapa."

"Susah tidur?"

"Iya, gue tiap malem tuh kebangun gara-gara... apa ya kata yang pas?"

"Hantu?"

"Heh! Mulutnya dijaga! Padahal nggak pernah kejadian kek gini. Aneh banget."

Bel masuk berbunyi, semua siswa segera duduk di bangku mereka masing-masing. Disaat yang bersamaan, Dean yang agak terlambat juga ikut masuk ke masuk sambil cengengesan.

"Maap agak telat, hehe."

Pelajaran pun dimulai, memulai kehidupan sekolah seperti hari-hari biasa dengan Joseph yang terkadang mencuri waktu untuk tidur dalam kelas.

Setelah seharian penuh belajar, akhirnya bel pulang pun berbunyi menandakan akhir dari pelajaran untuk hari ini. Dean segera berjalan mendekat ke arah dua temannya dan berkata.

"Hei, ayo malam ini ke Jembatan Plengkung! Mumpung besok libur." ajak Dean penuh semangat.

"Ngapain?" sahut Diki.

"Lo gak tau berita tawuran yang lagi panas?"

"Tau sih, diceritain Agisa tadi."

"Nah, makanya ayo kita kesana."

"Hei, kau lupa apa yang terjadi terakhir kali kita uji nyali malam-malam?" tanya Diki mengingat kejadian sebelumnya.

"Ya elah, nggak mungkin kek gituan bakalan terjadi lagi." protes Dean.

"Aku mah ikut aja dah, kalo Joseph?"

"Aku juga sama ngikut aja, tapi sekarang ngantuk banget." jawab Joseph agak lemas.

"Emang lo kenapa? Tumben banget sampe tidur di kelas. Biasanya juga palingan gue." tanya Dean penasaran.

"Gak bisa tiduaaahhhhh." jawab Joseph diiringi menguap panjang.

"Gini aja, aku nginep ke tempatmu entar gimana? Secara yang paling deket kan rumahmu. Emak bapak juga nggak ada di rumah jadi santai sih." ucap Diki.

"Ide bagus tuh. Lo mau nggak?" lanjut Dean

"Okelah okelah, itung-itung nyari temen."

Dari arah belakang, Agisa yang telah menguping sedikit pembicaraan mereka menepuk pundak Diki untuk mendapat perhatiannya. Meskipun tidak ada satu kata pun yang terlontar, Diki langsung mengerti maksud dari Agisa hanya dengan menatap matanya.

"Tapi aku harus mengantarkan Agisa pulang dulu, jadi nggak bisa langsung ke rumah Joseph."

"Kalo keberatan, aku bisa ngojol atau nebeng yang lain kok." ujar Agisa.

"Gapapa, aku juga belum nyiapin baju ganti. Aku akan ke rumahmu agak sorean. Duluan."

"Oh, oke-oke, hati-hati di jalan." ucap Joseph dan Dean bebarengan.

Diki pun pergi keluar kelas bersama Agisa, meninggalkan Joseph dan Dean yang masih bercakap di dalam kelas.

*

Di tengahnya malam, dari arah kejauhan, terdengar suara mesin motor yang melaju kencang hingga memecah keheningan malam. Siapa lagi kalau bukan Dean dan kedua temannya yang berkendara ugal-ugalan, dan lebih parahnya mereka boncengan bertiga.

"DEAN! BERHENTI WOI! KITA UDAH SAMPE! DEAAAANNNN!" Joseph berteriak sekencang mungkin untuk menghentikan ulah Dean.

Dean pun menarik rem motor yang dikendarainya kuat-kuat sampai roda motornya menyeret tanah, membuat kepulan debu bertebangan di sekitarnya.

"Oh yeah! Itu apa yang gue maksud!"

Melihat tingkahnya, Diki dan Joseph serentak langsung menampar punggung Dean kencang-kencang karena saking kesalnya sebelum turun dari motor.

"Gara-gara kau, kita tadi nyaris nabrak tong!" ucap Joseph dengan nada marah.

"Hei! Yang penting tidak nabrak, kan? Pembalap handal ini!" jawab Dean dengan santai.

"Ini orang kalo dikasih tau."

Disinilah mereka sekarang, sebuah area konstruksi yang sudah terbengkalai cukup lama. Meskipun begitu, di beberapa titik juga masih terdapat lampu yang menyala cukup terang untuk memperlihatkan tiang-tiang besar yang sudah setengah jadi. Beberapa tumpukan batako dan pipa besi berkarat juga terlihat disana-sini, bekas pembangunan proyek yang ditinggalkan begitu saja.

Ketiganya berjalan beriringan untuk menelusuri area lebih dalam. Namun tak lama kemudian, langkah mereka terhenti ketika melihat garis kuning polisi yang membentang panjang.

"Sepertinya ini adalah batasnya. Baiklah ayo kita pulang sekarang." ucap Joseph.

"Agak aneh nggak sih? Kejadiannya itu kemarin tapi nggak ada satu orang pun disini." sahut Dean.

"Lagian untuk apa mereka kemari?"

Tanpa berpikir panjang, Diki yang dari tadi diam saja segera melompat melewati garis pembatas. Hal tersebut segera diikuti oleh kedua temannya dan mereka pun berjalan semakin jauh ke area konstruksi. Sedikit mereka tahu ternyata ada bahaya yang menunggu mereka di dalam sana.

Samar-samar mereka mendengar ada suara tangisan anak kecil, seketika membuat bulu kuduk Dean dan Joseph berdiri.

"Eh anjir! Kalian denger, kan?"

Keduanya mengangguk lalu dilanjutkan Joseph berkata.

"Pulang aja yuk. Terakhir kali kita berurusan ama horor ginian, kita malah terlempar ke dunia ini."

Dean mengangguk cepat, tapi tidak dengan Diki yang justru malah mencari sumber tangisan tersebut karena terdengar familiar.

"Diki! Aduh nih anak emang nggak ada takutnya apa gimana?"

"Hei, ayo balik ajalah!"

Keduanya hanya bisa mengikuti dari belakang sambil membujuk Diki untuk ikut pulang, namun ia tidak menghiraukannya. Di balik sebuah tiang besar, ternyata ada banyak gubuk dan tenda yang telah dibangun, tersembunyi dari pandangan orang-orang awam yang lewat.

"Sepertinya... ini tempat gembel ama pengemis."

"Kelihatannya begitu."

Semakin mereka berjalan masuk, hawa di sekitar perlahan menjadi semakin pengap dan sesak. Bau tak sedap juga menusuk hidung mereka karena sampah yang berserakan dimana-mana. Jalan yang mereka lalui juga terkadang becek karena adanya genangan air, bahkan tak jarang mereka menemukan baju-baju dan sandal di beberapa gubuk. Tapi hal yang membuat aneh yaitu tidak ada satupun orang yang ada disini, seolah mereka meninggalkannya begitu saja.

Ketiganya sudah semakin dekat dengan sumber tangisan tersebut. Di balik salah satu gubuk reyot, Diki mendapati asal suara tersebut ternyata adalah Nita yang sedang menangis.

"Nita?"

Nita segera menoleh ke arah panggilan tersebut. Ketika ia mendapati bahwa itu adalah Diki, ia langsung berlari kencang kemudian memeluk kakinya.

"KAK DIKI!!! TOLONGGGG!!!"

"Tolong kenapa?"

"Aku... aku lagi dikejar!"

"Sebentar, sebentar lo kenal nih anak?" tanya Dean seolah tak percaya.

"Bakalan ribet kalo dijelasin dari awal."

"Ya jangan dijelasin dari awal. Gitu aja kok repot." sahut Joseph.

"Jad-"

"Aku sarankan kalian untuk pergi dari sini sekarang."

Tiba-tiba muncul sepasang pria berjas formal dari balik kegelapan malam, keduanya tidak lain adalah Haiden dan Boris yang memang sedari dulu mengincar Nita. Namun hal tersebut tidak diketahui oleh ketiganya.

"Maaf, pak. Kami akan segera pergi sekarang." jawab Joseph.

"Nita, mau ikut bersama kakak?" bujuk Diki.

"Mau." jawab Nita sambil mengangguk lirih.

Mereka berempat segera berjalan hendak pergi meninggalkan area kumuh ini, namun segera dihentikkan oleh Boris dengan berkata.

"Akan lebih baik kalau kalian meninggalkan anak itu disini."

"Memangnya kenapa? Bukannya justru bagus kalo kita membawa anak ini sehingga bapak-bapak tidak kerepotan?" tanya Joseph kebingungan.

"Itu bukan urusan kalian."

Diki seketika menaruh kecurigaan kepada kedua pria tersebut ketika melihat sikap dan pakaian yang mereka kenakan terkesan agak aneh di tempat seperti ini. Terlebih mengingat apa yang Nita tadi katakan.

"Maafkan aku, tapi siapa kalian sebenarnya?" tanya Diki sekarang.

"Kami adalah orang yang bertanggungjawab untuk menjaga tempat ini. Kami punya otoritas disini jadi kami menyarankan kalian untuk segera pergi dan meninggalkan anak itu disini."

Diki dapat dengan jelas melihat adanya kebohongan dan niat jahat di perkataan Haiden barusan. Lantas, ia mengarahkan Nita untuk bersembunyi di belakangnya. Melihat respon Diki, kedua pria tersebut perlahan berjalan mendekat, membuat atmosfer di sekitar menjadi tegang.

"Kita nurut aja daripada kena masalah." bisik Dean.

"Iya Dik, daripada kenapa-kenapa." lanjut Joseph.

Diki dan yang lain perlahan berjalan mundur untuk menjaga jarak. Namun langkah mereka seketika terhenti ketika mendapati ada sebuah tembok yang muncul dari tanah menghalangi jalan mereka. Hal tersebut seketika membuat mereka terkejut tidak main.

"Seharusnya kalian mendengarkan perkataan kami."

Menyadari seberapa genting keadaan mereka sekarang, Nita langsung mengaktifkan bakatnya Chronokinesis yang seketika merubah kedua pupil matanya menjadi jarum jam.

"Berhenti!"

Nita berteriak kencang dan disaat yang bersamaan, terdengar dengan jelas suara dentuman jarum jam yang sangat keras. Dalam sekejap semuanya langsung berhenti, tidak, seluruh dunia berhenti. Kecuali Nita dan apapun yang ia kehendaki, tidak ada satupun yang bisa bergerak di dunia dimana waktu sudah membeku. Senyap, tak ada suara sedikit pun ketika seluruh dunia berhenti bergerak. Ini adalah salah satu kemampuan manipulasi waktu milik Nita yaitu menghentikan waktu.

Nita segera memegang tangan ketiga remaja tersebut yang seketika mendapatkan kesadaran mereka kembali dalam keadaan penuh kebingungan.

"Apa yang terjadi?" tanya Diki.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, kita harus segera pergi dari sini. Jangan lepaskan tanganku!"

Nita pun menarik tangan mereka dan berlari keluar dari tempat tersebut sebelum durasi kekuatannya habis.

10 detik sudah berlalu, waktu kembali berjalan seperti semula. Haiden dan Boris yang mendapati Diki dan lainnya sudah hilang langsung menyadari bahwa ini semua disebabkan oleh Bakat Chronokinesis yang dimiliki Nita.

"Kemana mereka pergi?"

"Disana!"

Boris dan Haiden langsung berlari mengejar. Perlahan tapi pasti, langkah kedua pria tersebut yang lebih cepat mulai mendekat dari belakang. Menyadari hal ini, Diki segera meminta Nita untuk menggunakan kembali Bakat-nya.

"Nita, gunakan lagi kekuatanmu!"

"Tidak bisa, ada jedanya."

Boris dan Haiden semakin dekat, kini mereka tepat di belakang mereka. Namun siapa sangka, Dean tiba-tiba melakukan hal yang tak terduga, bahkan kedua temannya tidak menyangkanya sama sekali. Ia membalikkan badannya dan langsung meninju kedua pria tersebut. Boris terkena pukulan telak di pipinya sampai terjatuh, sementara Haiden yang memiliki reflek lebih bagus segera menghindar dengan membungkukkan badannya.

"DEAN! Apa yang kau lakukan?!"

"Kalian pergilah! Aku akan menahan mereka."

"Jangan lakukan hal tidak-tidak!"

Haiden segera membantu rekannya untuk berdiri, menyadari hal itu ia pun meneriaki kedua temannya untuk segera pergi meninggalkan.

"AKU BILANG PERGI!"

Tidak ada pilihan lain. Dengan berat hati mereka mau tidak mau harus meninggalkan Dean di belakang.

"Kau bodoh! Kami akan mencari bantuan! Bertahanlah!"

Di sisi lain, Boris yang sudah berdiri segera membersihkan jasnya dari debu dan langsung menyadari rencana mereka. Ia berbisik kepada Haiden.

"Kau bisa mengatasinya?"

"Dia hanya bocah, apa susahnya?" jawab Haiden dengan nada meremehkan.

Boris segera berlari mengejar Diki dan yang lainnya. Melihat hal tersebut, Dean langsung sigap untuk menghentikannya namun hal itu tidaklah mudah. Sebuah tendangan tiba-tiba mengenai punggungnya sampai membuatnya terguling jatuh.

"Lawanmu adalah aku."