"Pak minggir Pak minggir!" ucap Aura menggoda Abangnya.
Leni tertawa kecil sedangkan Rio cemberut sebal. Belum sempat Rio protes Aura kembali bersuara. "Kak Leni jangan lupa dibayar ya Bapaknya, Aura duluan," pamitnya pergi dengan terburu - buru sebelum diamuk Rio.
"Sayang?" panggil Leni setelah Aura menutup pintu. Rio yang tadinya tampak sebal, rautnya langsung berubah serius. "Aku mau ngomong soal Aura."
"Kenapa? Dia buat masalah lagi?"
"Aura baik - baik aja, keadaanya membaik."
"Sayang ... kalau Aura baik - baik aja kamu gak perlu lapor apa - apa."
"Tapi ... sayang--"
"Sayang ... kamu kan tau. Kerjaan aku banyak, dibanding bahas tentang Aura mendingan kita bahas rencana kita. Jadi kamu gak perlu bahas Aura lagi ya kalau dia baik - baik aja. Lagian kamu jangan anggap serius deh ucapan Papa buat jaga Aura, cukup kamu pantau aja ya sayang?" Leni hanya diam. "Ya sayang?" tanya Rio memastikan.
"Aku masuk dulu," ujar Leni yang memilih keluar mobil.
"Cium dulu dong, sini."
Setelah Aura keluar dari mobil Rio, tak sengaja dirinya berserobok dengan Ibe.
"Aura?" Ibe yang baru keluar dari mobilnya melambaikan tangannya ke arah Aura.
Aura tersenyum lalu menghampiri Ibe. "Hai?" sapa Aura saat di hadapan Ibe.
"Ceritanya lo udah gak marah sama gue nih?" ucapnya. Aura mengerutkan dahinya bingung.
"Kapan gue marah sama lo sih?" Aura benar-benar lupa. Namun seketika ia teringat akan kejadian di kantin kemarin. "Gue masih marah deng!" ketus Aura.
"Udah deh lo itu gak bisa pura-pura marah sama gue." Dengan santainya Ibe merangkul Aura. "Tangan lo gimana? Masih sakit?" Ibe menarik tangan kiri Aura. Perbannya kini berganti dengan plester.
Belum sempat Aura menjawab. Ibe tiba-tiba saja berteriak, "WOI JE?" Aura langsung mencari Jeje. Ternyata Jeje keluar dari mobilnya yang terparkir manis di samping mobil Ibe.
Jeje menyandang tasnya dengan gaya coolnya membuat Aura menjerit dalam hati.
'Oksigen mana oksigen? Gue butuh oksigen sekarang juga! Gak kuku gak nana, gue gak guna!!!' batin Aura.
"Yuk bareng ke kelas," ajak Ibe. Jeje melihat Aura sejenak yang langsung membuat Aura tersenyum manis ke arah Jeje. Namun, Jeje hanya diam dengan wajah datarnya. "Yuk, Ra." Ibe menepuk lengan Aura dengan tangan yang masih merangkul bahu Aura.
Aura yang langsung tersadar dengan panik ia menghempaskan tangan Ibe. "Apa-apaan sih lo megang-megang!" ucap Aura tak terima. Ibe langsung bingung, sedangkan Aura melirik ke arah Jeje yang hanya diam seolah tak perduli.
"Gue ke kelas duluan deh," pamit Jeje yang tak ingin menyaksikan hal yang menurutnya sangat tak penting.
Dengan cepat Aura berseru, "gue juga! Gue mau ke kelas. Bareng ya?" Ia berkata sangat lembut berbeda dari biasanya. Aura tanpa sadar menarik tangan Jeje. Itu membuat Jeje menatap ke arah tangan Aura yang bergelantung manja di lengannya.
"Kok kalian jadi ninggalin gue?" protes Ibe saat keduanya berjalan meninggalkan dirinya sendiri di parkiran. "Tungguin gue, WOI!" Ibe pun berlari mengimbangi keduanya.
Saat ketiganya sampai di kelas Jeje dan Ibe. Aura yang letak kelasnya tepat di sebelah kelas keduanya memilih untuk berhenti di depan pintu kelas kedua lelaki itu.
"Gue mau masuk," ucap Jeje dengan wajah datarnya.
'Mamaaaaa!!! Gue gak salah denger 'kan Jeje minta izin gue untuk masuk ke kelas? Aaakkk ... gimana nanti kalo pacaran? Gue yakin dia pasti minta izin gue kemanapun kalau mau pergi. Uuu ... Jeje so sweet anget cih jadi cowok,' batin Aura kembali menjerit.
"Gue mau masuk ke kelas," ulang Jeje lagi dan Aura pun mengangguk. "Lo mau ikut gue masuk?" tanyanya masih dengan wajah datar.
"Emangnya boleh?" tanya Aura dengan PD-nya.
"Je? Ngapain lo masih di depan pintu?" tanya Ibe yang telah lebih dulu meletakkan tasnya. "Woi, Ra! Lepasin tuh tangan si Jeje. Dia mau masuk kelas!"
Aura yang baru tersadar langsung melepas tangannya dari lengan Jeje. "Eh ... iya," cengirnya. "Gue lupa. Habisnya tangannya Jeje nyaman sih." Aura mengedipkan sebelah matanya ke arah Jeje. Namun, yang diberikan kedipan tak perduli. Ia malah masuk seolah tak terjadi apapun.
"Ra, temen gue jangan lo apa-apain! Dia tuh anak polos jangan lo jadiin bangsat ya!" titah Ibe memperingatkan Aura.
Aura yang tadinya tersenyum menyaksikan Jeje yang masuk ke dalam kelas sampai duduk di mejanya dengan selamat, langsung mendengus ke arah Ibe. "Dasar dengki!" setelah itu Aura melengos pergi.
Ibe berlari kecil masuk ke dalam kelas, ia menghampiri Jeje. "Je?" panggil Ibe. Jeje tak menjawab, bahkan menghiraukan keberadaan Ibe saja tidak.
"Kok bisa Jena sama Aura suka sama lo? Mereka sahabatan loh Je. Lo gak boleh ngerusak persahabatan dia!" tekannya.
"...."
"Je, orang ngomong juga! Awas lo ya kalau ngerusak hubungan mereka, gue gak akan tinggal diam!" ancamnya dengan berlagak keren.
Dalam hati Ibe berujar, 'anjrit keren banget gue ngancemnya!'
+-+-+-+
"Uhuk ... uhuk ..." Jena langsung tersedak mendengar curhatan Aura. Ia melambai-lambaikan tangannya meminta pertolongan Aura agar memberikannya air. Aura pun langsung membukakan tutup botol air mineralnya dan diberikannya kepada Jena. Dengan sekali tegukan Jena menghabiskan separuh dari air mineral botol 1500 ml tersebut.
"Kalo makan pelan-pelan Jen. Lo laper banget kayaknya sampe keselek gitu," ujar Aura yang menepuk-nepuk pelan pundak sahabatnya.
"Gue keselek bukan karna gue makan buru-buru, Auraaaa!" geramnya. "Ini tuh karna denger cerita lo tau gak?" Jena menjauhkan mangkuk baksonya yang isinya telah habis. "Gimana ceritanya lo gak berani bales pesan dia tapi lo berani gandeng tangan dia?" Jena benar-benar tak mengerti dengan kelakuan absurd terbaru sahabatnya itu.
"Tubuh selalu tau kemana ia harus kembali ke pelukan jodohnya," ujar Aura dengan tersenyum bahagia. Jena yang mendengarnya ingin sekali memuntahkan makanannya karena melihat sahabatnya sekarang menjadi sangat alay hanya karna cinta.
Tiba-tiba Aura menarik tangan Jena yang berada di atas meja. Ia meletakkanya di dadanya tepat di mana jantungnya berdetak. "Terasa gak jantung gue lagi mengebu-gebu?"
"Biasa aja!" Jena menarik tangannya menjauhkannya dari dada Aura. "Sama aja kek detakan jantung gue." Jena pun kini mencoba membandingkannya dengan jantungnya sendiri.
"O iya ... gue lupa kalo bukan sama Jeje mana bisa jantung gue menggebu-gebu." Jena yang mendengarnya hanya mendengus geli lalu berdiri dari duduknya.
"Ra, gue mau ke perpustakaan. Bayarin ya?" Gantian sekarang ia yang meninggalkan sahabatnya yang menurutnya sudah mulai gila.
"Mau ngapain lo ke perpus?" tanya Aura sambil mengeluarkan uangnya dari saku. Ia meletakkan uang sepuluh ribuan tersebut di bawah mangkuk bakso.
"Mau nyari buku tentang pengobatan orang yang gila karna jatuh cinta."
"Dasar jomblo! Gue kenalin sama cinta baru tau rasa lo!" Jena yang mendengar kutukan dari Aura hanya mengangkat tangan kanannya yang hanya melambai sebagai jawaban sambil terus berjalan keluar kantin.