webnovel

Delapan Belas

Jena berlari terburu-buru. Tadi saat ia mendengar berita Aura di telepon ia langsung menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam agar sampai di sekolah dengan cepat. Tiada hari tanpa kelakuan aneh Aura. Sekarang apa lagi yang di lakukan gadis itu? Pertanyaan itu sedari tadi bergentayangan di dalam pikiran Jena.

Ia harus bertemu Aura secepatnya. Tak perduli dengan gerutuan beberapa orang yang di tabraknya. Jena terus saja berlari mencari keberadaan sahabat gilanya itu.

"JENAAAAA???" pekikan nyaring Aura membuat Jena menambah kecepatan larinya. Ketika ia telah berada di hadapan gadis itu, dengan napas ngos-ngosan menatap Aura penuh khawatir "JENA ... JENA ... JENAAAAAA!!!" pekiknya histeris dengan tersenyum. Aura langsung memeluk Jena. "SUMPAH ... SUMPAH GUE SENENG BANGEEEEETT!!!" Jena yang masih tampak lelah karena telah berlari-lari di pagi hari hanya diam di dalam pelukan Aura.

Setelah mengumpulkan seluruh tenaganya Jena melepaskan pelukan Aura. "Lo gak apa-apa 'kan?" tanya Jena dengan khawatir. Ia memegang bahu Aura mengecek setiap jengkal tubuh Aura apakah gadis itu kenapa - napa, adakah yang kurang dari diri sahabatnya. Setelah merasa Aura tidak kenapa - napa Jena pun akhirnya bernapas legah.

"Syukurlah ...," ucapnya setelah itu ia berjalan untuk duduk di bangku yang terletak di depan ruang UKS ini. Aura berjalan mengikuti Jena.

"Gue mau terima kasih sama Gilang." Jena langsung menoleh ke arah Aura dengan melotot tak percaya. Bukankah ia berlari seperti orang gila karena si Gilang?

"NO AURA!" larangnya dengan cepat. "Lo gila apa? Dia hampir aja lecehin lo. Lo tau gak sih itu bisa dibilang pelecehan?"

"Jen ... gue gak apa-apa kok," jawabnya santai sambil merentangkan tangannya seolah menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Lagian gue rasa Gilang gak maksud gitu. Pasti dia cuma bercanda."

"Gak ... gak ... gak! Ngapain lo terima kasih? Lo seneng digituin? Lagian lo ngapain sih subuh-subuh ke sekolah? Udah tau sekolah sepi. Ntar kenapa-napa nangis lo!"

"Ya ... gue harus terima kasih lah sama dia."

"Jangan bilang lo terima kasih karena ...?" ucapan Jena menggantung sembari dengan pelototan tajamnya. Aura yang mengerti mengangguk dengan tersenyum malu.

"Lo tau gak sih? Gak sia-sia gue semalaman belajar buat nasi goreng untuk Jeje. Gak sia-sia gue datang subuh-subuh untuk naruh bekal yang gue buat untuk Jeje. Semua itu terbayar, saat Jeje datang menyelamatkan gue dari Gilang yang terkutuk itu. Eh ... gak ... gak ... gak boleh bilang Gilang terkutuk. Karena berkat dia Jeje nolongin gue."

Dengan kasar Jena menghela napasnya. Kali ini ia kembali tak habis pikir. Semua ini karna Jeje? Hanya Jeje? Jeje lagi ... Jeje lagi ... ingin rasanya Jena membunuh lelaki bernama Jeje itu, karena dia telah membuat sahabatnya jadi gila seperti ini. Dengan kesal Jena meninju-ninju tangannya ke udara karna hanya itu yang bisa melampiaskan kekesalannya kepada lelaki yang bernama sang pemilik nama Jeje.

"Lo kenapa?" Pertanyaan yang sangat amat tak ingin Jena dengar.

"Pengen bunuh orang!" ketus Jena sebelum ia pergi meninggalkan sahabatnya itu.

"Jena ... tunggu!" Aura berlari menghampiri Jena lalu ia menggandeng lengan sahabatnya. "Nanti pulang sekolah anterin gue ke rumah Gilang ya?" Ia menggoyang-goyangkan lengan Jena. "Iya ya? Ya? Ya?" Jena melirik sahabatnya dengan sinis setelah itu ia menghela napas. Mau tak mau suka tak suka Jena yang tak tega melihat sahabatnya memohon menganggukkan kepalanya. "Uh ... Aura makin cayang deh sama Jena," ujarnya dengan memeluk Jena dari samping.

"Jangan peluk-peluk! Gue normal!" Aura pun langsung mencebikkan bibirnya tanpa melepas pelukannya pada Jena.

"Kalo normal buktiin dong," goda Aura. "Jangan ngomong aja bisanya," cibirnya lagi.

"Belum saatnya." Jena melepaskan pelukan Aura dari tubuhnya.

"Udah saatnya tuh ... jodoh lo dah dateng," ujar Aura menunjuk seseorang dengan kepalanya. "GOOD MORNING IBE ...," sapa Aura saat Ibe berjalan menghampiri ia dan Jena. Orang yang ditunjuk Aura itu adalah Ibe.

"Lo apain Jeje Ra?" Ibe menyipitkan matanya ke arah Aura.

"Gue kasih cinta." Jawaban Aura langsung membuat Ibe tak segan-segan menjentik dahi gadis itu. "Sakit Ibeeee!!!" rengeknya. "Jena! Liat nih jod—" Mulut Aura langsung di bekap Jena dengan cepat. Jena tau apa yang akan di ucapkan Aura dan sebelum itu terjadi Jena terpaksa harus menyiksa Aura walau sebenarnya dalam lubuk hatinya ia tak pernah tega.

"Gue mau ke kelas dulu Be," pamit Jena yang langsung menyeret Aura dengan tangan yang masih membekap mulut sahabatnya itu. Tiba-tiba Jena merasakan sebuah benda lembut dan berair menyentuh telapak tangannya. "EW ... AURA ... JOROK!" teriakan Jena membuat beberapa anak menatap ke arah mereka berdua penuh ingin tahu.

Jena yang telah melepaskan tangannya langsung memeperkan telapak tangannya yang dijilat Aura ke baju gadis itu. "Najis banget sih lo!" Aura hanya menyengir.

"Salah sendiri bekap-bekap mulut gue!" rutuknya dengan bibir yang dimanyunkan. "Kenapa sih lo malu ya kalo ketauan suka sama Ibe?"

"Apaan sih? Siapa yang suka sama Ibe cobak?"

"Alah ... BOHOOOONGG!!!" Jena memilih untuk kembali berjalan dari pada mendengar analisis salah sahabatnya mengenai perasaannya kepada Ibe. "Kayaknya Ibe suka juga deh sama lo! Cie ... cie ... cehati nih ye ...," goda Aura dengan tersenyum geli. "Eh ... cocok deh kayaknya lo sama Ibe dan gue sama Jeje. Kita bakal jadi sahabat gawang!"

"Moh ... lagian apa lagi itu sahabat gawang?"

"Is ...." Aura berdesis sebal. "Itu loh Jen, sahabat goals!" Ia menyengir kuda.

"Goals ... goals ... goals ujung-ujungnya bubar! Mau lo?" Jena melepaskan tasnya lalu duduk di bangkunya.

"Kita 'kan gak gitu Jen. Percaya deh sama gue. Lo mau ya pacaran sama Ibe?"

"Aura ...," desis Jena dengan tajam. "Jangan gila! Perasaan bukan untuk main-main Ra. Kalo mau main-main sana gih ke taman bermain!"

"UWEEEEEEWWW" Aura yang tadinya duduk di atas meja langsung berdiri. Ia juga bertepuk tangan sebanyak tiga kali. "Jena telah berubah. Ternyata jomblo akut bisa bijak juga ya?" godanya.

Jena memutar kedua bola matanya lalu berdecak. "Serah lo dah serah! Btw, lo udah PR fisika ya Ra?" Pertanyaan Jena berhasil membuat Aura langsung mati kutu.

"Jen ...," ucapnya dengan horor. "NYONTEK PUNYA LO!" teriaknya dengan histeris sambil berlari mencari buku PR fisikanya.

Bel telah berbunyi sedari tadi mulut Aura berkomat kamit agar guru fisikanya terlambat masuk kelas. Hanya tinggal satu jawaban lagi yang belum disalin Aura ke buku PR-nya. Sayangnya seorang wanita tinggi semampai dengan tas dan buku fisika yang berada di tangan kanannya berjalan dengan elegant menuju meja guru yang terletak di depan kelas.

"Silahkan kumpulkan PR kalian." Guru itu seperti biasanya langsung memerintahkan para murid untuk mengumpulkan PR. Semua murid berbondong-bondong maju silir berganti mengumpulkan PR mereka masing-masing. Berbeda dengan Aura yang masih saja belum selesai menyalin PR Jena yang telah di fotonya. Sedangkan Jena telah lebih dahulu disuruhnya untuk mengumpulkan PR. Aura tak ingin hanya karna dia Jena yang dicap sebagai anak pintar tidak mengumpulkan PR-nya.

"Apa yang sedang kamu lakukan Aura?"