webnovel

A Hello With No Goodbye

Ini bukan tentang Andri. Atau Emi. Ini tentang seseorang yang jauh lebih penting dari pada mereka berdua. Yang sudah mengubah hidupku dan cara pandangku tentang sebuah hubungan. Dan ketika Rio mempertanyakan tentang komitmen itu, aku tahu aku harus menjawab apa. Well Rio, membuat komitmen enggak semudah loe menyeduh kopi di pagi hari. Yang kalau loe rasa kurang manis, loe tinggal tambah gula sedikit. Berkomitmen berarti loe harus terima sepahit apa pun rasa yang akan loe cicipi. Bahkan setelah loe merasakan manisnya. Dan yang perlu loe tahu, gue salah satu orang yang membenci rasa pahit.

syahharbanu · Urbano
Classificações insuficientes
21 Chs

A Hello With No Goodbye

Sepanjang jalan di dalam taxi, aku berdoa agar acaranya belum berakhir. Waktu sudah menunjukkan pukul 9.15 aku semakin dibuat gelisah. Hibgga sampai saat taxi berhenti di depan sebuah gedung, buru-buru aku turun dari taxi. Kuangkat sedikit gaunku dan berlari menaiki tangga. Syukur lah acara masih berjalan. Meski pun beberapa orang tamu sudah pulang. Aku mengedarkan pandanganku memcari siapa pun yang aku kenal yang dapat menunjukkan aku dimana Rio sekarang. Karena aku gak berhasil menemukan Rio.

"Leah." Suara seseorang yang gak asing ditelingaku membuatku spontan memutar tubuh dan benar saja. Ibu Rio berdiri beberapa langkah di depanku. Sangking leganya, tanpa sadar aku menghembuskan nafas keras. Setengah berlari aku menghampiri ibu dan berhambur ke dalam pelukannya.

"Apa kabar??" Tanya beliau sambil mengusap punggungku lembut.

"Baik bu." Perlqhan aku melepaskan pelukkannya. "Ibu gimana?" Tanyaku tulus.

"Baik. Alhamdulillah. Ngomong-ngomong kamu masih marah sama Rio?" Tanya ibu terdengar hati-hati. Tanpa pikir panjang aku menggeleng.

"Gak bu. Aku sudah gak marah lagi sama Rio. Aku sudah maafin Rio. Ngomong-ngomong Rio nya dimana ya bu?" Aku melihat ibu tersenyum lega.

"Rio tadi katanya lagi cari angin. Mungkin balkon belakang." Segera setelah mengetahui lokasi Rio, aku pamit sama ibu dan kembali berlari menuju taman belakang. Sepi. Sunyi. Tak ada siapapun, kecuali seorang laki-laki dengan jas putih yang tengah memunggungiku. Dia membungkukkan tubuhnya dan menopangkannya dengan kedua tangannya yang menempel ketat di lengan tangga. Sementara pandangannya lurus ke depan. Beberapa kali aku mendengarnya menghembuskan nafas keras.

"Hai." Sapaku canggung. Untuk beberapa saat, Rio bergeming. Namun di detik berikutnya dia menegakkan tubuhnya dan memutar tubuhnya menghadapku. Aku tersenyum menatapnya. Sementara dia gak berekspresi. Hanya menatapku dengan tatapan yang sulit kujelaskan. Tapi untuk beberapa saat kemudian, dia membalas sapaanku gak kalah canggung.

"Hai." Rio memasukkan sebelah tangannya di dalam saku celananya. "Kamu datang." ucapnya lebih kepada dirinya sendiri. Tapi tetap saja aku mengangguk untuk meyakinkannya.

"Gimana gaunnya?" Tanyaku sambil merentangkan tangan. Mencoba mencari bahan pembicaraan supaya suasana gak mendingin. Rio menatapku dari atas ke bawah sebelum kembali lagi menatap mataku.

"Seperti yang aku duga. Gaunnya akan indah kalau dipakai kamu." Aku mendengus, tersenyum sambil membuang wajahku sekilas.

"Gombal kamu tu." Jawabku. Rio tersenyum.

"Kemarin, Nadin datang ke kantor bawain gaun ini. Dia bilang, aku gak akan pernah tahu gimana usaha kamu buat dapetin gaun ini kalau aku gak nanya sama kamu." Aku menggigit bibirku kemudian menatap Rio yang masih menatapku.

"Dapetin kamu memang butuh perjuangan Le. Kamu ingat gak pertemuan pertama kita?" Rio memulai ceritanya sementara aku mencoba mengingat ingat. Pertemuan pertamaku dengan Rio, sepertinya saat Rio datang service dan kebetulan aku hendle.

"Di lift Le. Pertemuan pertama kita di lift." Aku mencoba mengingat-ingat. Di lift?

"Segitu gak memorablenya aku ya?" Protes Rio. Aku memiringkan kepala.

"Di lift? Kapan ya? Apa kita pernah kenalan formal? Shake hands gitu?"

"Gak."

"Terus?"

"Hari itu hari pertama kamu kerja di kantor kita. Kamu buru-buru masuk ke dalam lift yang nyaris tertutup. Waktu itu aku di dalam gak kalah buru-buru juga untuk mencegah pintu lift tertutup. Aku fikir, kasian. Kayaknya kamu udah telat. Kalau nunggu lift turun lagi atau musti naik tangga darurat pasti akan lama. Dan begitu pintu terbuka. Kamu tersenyum lega. Senyum kamu di hari itu yang buat aku gak bisa lupain kamu." Aku tertegun. Aku ingat sekarang hari pertamaku masuk kerja, aku memang datang terlambat dan ada seseorang di dalam lift yang menyelamatkan aku dari keterlambatanku. Tapi jujur saja, sejak hari itu sampai saat ini, aku gak pernah tahu kalau orang itu adalah Rio. Sampai dia mengaku sendiri.

"Kenapa...kenapa kamu gak ngomong?" Tanyaku tergagap. Rio menghembuskan nafas dengan keras.

"Well, waktu itu aku masih Rio yang terbayang-bayang sama kepergian Dio. Aku takut deketin kamu. Aku takut kalau aku deketin kamu akan terjadi apa-apa sama kamu. So.. aku memilih untuk mengabaikan perasaan aku dan hanya diam-dima mengamati kamu. Ya kamu tahu sendiri lah gimana gelagat orang yang diam-diam memendam rasa." Rio mengibaskan tangannya acuh.

"Sampai akhirnya," aku merasakan suara Rio melembut dan ada pergerakan samar dari langkahnya. Dia maju selangkah, sementara aku bergeming masih mencoba mencerna ceritanya.

"Kita semua dapat undangan pernikahan dari pak Nosen." Kenapa rasanya cerita ini mirip dengan dengan cerita pertemuan aku dan Rio yang aku ceritakan ke Emi? Perlahan, mataku mulai bergerak menatap Rio yang semakin mendekat.

"Hari itu. Kamu pakai gaun putih, dengan renda  yang melingkar di bagian leher dan menjuntai sampai ke dada." Rio semakin memdekat hingga posisinya kini persis di depanku. Tanpa jarak. "Kamu pakai anting-anting panjang sebahu." Dia menyelipkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. Memperlihatkan anting-anting yang ku kenakan saat ini. Anting-anting yang sama dengan yang dimaksud Rio. Karena sejujurnya, aku memang gak terlalu suka memakai anting-anting. Jadi aku hanya punya satu anting-anting ini saja. Yang aku beli 3 tahun lalu saat pernikahan pak Nosen rekan kerja kami. Aku terus menatap Rio yang juga masih menatapku. Kenapa jantung ini rasanya bergemuruh sekali?

"Aku suka penampilan kamu hari itu. Aku suka kamu yang sederhana. Aku suka kamu yang manis. Aku suka kamu yang anggun. Dan aku suka kamu. Hari itu, sepulang dari acara pernikahan, aku menggambar gaun yang kamu pakai. Menggambar kamu yang memakai gaun itu. Dengan harapan, suatu hari nanti, aku akan lihat kamu pakai gaun Itu lagi. Berdiri di depan aku. Untuk aku. Karena sejak hari itu, aku sadar, kalau aku suka sama kamu. Aku mau kamu. Dan setelah tiga bulan hubungan yang kita lalui, aku tahu kalau aku sayang kamu." Seletika lututku terasa lemas hingga nyaris saja terseok. Buru-buru Rio mencengkram kedua lenganku, menopang berat tubuhku. Ini konyol sumpah. Kenapa juga aku harus segitu geroginya.

"Aku cuma mau kamu percaya sama aku Le. Itu aja." Pinta Rio dengan tatapan cemas. Selama bersama Rio, untuk pertama kalinya aku melihat tatapannya ini. Tatapan lelah, cemas, takut. Entahlah. Seolah seluruh perasaannya terdefinisi dalam tatapannya.

"Yo, aku..." seluruh kalimatku rasanya hilang. Aku menggigit bibirku sambil mencoba mengumpulkan kata-kata. Merutuki diriku sendiri yang mendadak bego begini. Lalu sekali lagi, aku merasakan langkah Rio semakin dekat. Aku mendongakkan kepala mendapati Rio yang berdiri hanya dalam jarak sepersekian mili saja. Dia menundukkan kepala mencoba menyejajarkan matanya dengan mataku.

"Yes, or no?" Tanyanya dengan suara yang mulai bergetar. Aku gak boleh kekanakan seperti ini. Rio berhak mendapatkan jawaban atas pengakuannya. Iya atau pun tidak. Yang dia ingin dengar atau pun tidak ingin didengarnya sekali pun, Rio berhak tahu.

Aku menghembuskan nafas keras. Kupejamkan mata dan memberanikan diri. Bismillahirrohmannirrohim.

"Iya." Sebulir air mata mengalir diwajahku saat itu juga. Kubuka mataku dan memberanikan diri menatap Rio yang kini tengah tersenyum. Aku mengangguk dua kali.

"Iya Yo." Ulangku untuk lebih meyakinkan. Bukan meyakinkan Rio, tapi meyakinkan diriku sendiri. Sudah terlalu lama aku sembunyi dalam ketakutanku. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar menginginkan seseorang. Menginginkan laki-laki ini. Rio tersenyum semakin lebar dan tangannya mulai bergerak menghapus air mata di wajahku.

"Kalau iya jangan nangis dong. Nanti disangka orang aku maksa kamu." Kami berdua tersenyum dan buru-buru kuhapus air mataku.

"So, kita pacaran?" Tanya Rio untuk memastikan

"Emang kurang jelas ya?" Tanyaku dengan sisa suara serak dan hidung yang mulai mampet.

"Yaa biar lebih meyakinkan mereka aja." Rio menunjuk ke arah di belakang punggungku. Aku memutar tubuh dan seketika terkejut mamdapati beberapa orang tengah berkumpul mengintip dari balik pintu balkon yang terbuka. Ada ibu, bapak, beberapa orang keluarga Rio yang aku kenal dan belum aku kenal, beberapa tamu undangan dan bahkan ada pengantinnya juga.

"Cieeee..." goda mereka kompak.

"Kalian?" Aku masih gak percaya melihat semua orang berkumpul menyaksikan Rio membuat pengakuan atas perasaannya padaku. Wajahku mulai terasa panas. Sukurlah tempat ini remang-remang jadi wajahku yang sudah dipastikan memerahjadi tersamarkan. Mereka swmua tertawa melihat reaksiku yang benar-benar terkejut. Begitu juga Rio. Menyebalkan. Mau gak mau aku ikut tertawa melihat kekonyolan ini. Saat itu aku merasakan tangan Rio tersampir di punggungku. Aku menoleh menatap Rio.

"Masuk yuk. Aku mau dansa sama kamu." Permintaan Rio dan tatapannya membuatku gak bisa menjawab selain mengangguk dan mengulum senyum. Kami semua masuk ke dalamngedung diiringi lantunan musik Best Part milik Daniel Caesar feat HER. Ditengah ruang gedung, kami berdiri berhadapan. Rio meraih kedua tanganku dan menggiringnya melingkar di lehernya. Kemudian dia meletakkan tangannya kembali dipunggungku dan menarik tubuhku mendekat. Aku harus kembali mengatur nafas dengan keberadaan Rio yang tanpa jarak denganku. Untuk kali ini, aku gak bisa menahan diri untuk gak menyandarkan kepalaku di dadanya. Tanpa sadar aku memejamkan mata menikmati aroma tubuh Rio.