Damian untuk sesaat terdiam, namun ia segera keluar ruangan untuk menyusul Aruga.
"Aku ke rumah sakit," katanya. Aruga amenoleh dan mengerutkan dahinya. Ia melihat kepanikan di wajah sahabat sekaligus bosnya itu.
"Rumah sakit?"
"Dominic kecelakaan."
"Cepatlah pergi kalau begitu," ujar Aruga.
Sementara itu di rumah sakit, Dominic hanya berbaring sambil memperhatikan perawat yang tengah merawat kakinya. Ia menyesal tadi tidak mengindahkan perkataan sahabatnya untuk tidak mengemudi dalam kondisi sedang emosi.
"Mas nya ini pasti mau menyaingi Valentino Rossi ya? Balap-balapan," celetuk perawat yang sedang membalut pergelangan kaki kirinya.
"Rossi mah pembalap motor, suster," protes Dominic antara kesal dan juga geli.
"Yang penting judulnya pembalap," jawab perawat itu sedikit galak.
Tak lama kemudian, Damian muncul dan menatap anak pertamanya itu dengan perasaan sedikit lega.
"Loh, Daddy ngapain ke sini? Kok tau aku di sini?" tanya Dominic. Ia memang tidak pernah merasa menghubungi Damian.
"Dodi yang menelepon Daddy, katanya kau kecelakaan."
Damian menghela napas, Dodi sahabatnya itu memang mendapat amanat khusus dari Daddy-nya untuk selalu mengabarkan jika terjadi sesuatu padanya.
"Hanya kecelakaan kecil kok, aku nggak apa-apa. Hanya pergelangan kakiku yang retak, beberapa minggu saja sembuh. Daddy nggak perlu repot datang kemari untuk mengurus aku,"kata Dominic.
"Aku masih Daddy-mu."
"Aku bukan anak kecil lagi, Dad."
"Lalu, siapa yang akan mengurusmu jika kau seperti ini?"
"Ini rumah sakit, ada banyak perawat yang bisa mengurusku dengan baik. Daddy lebih baik kembali ke kantor. Aku baik-baik saja," kata Dominic dengan tegas. Damian hanya bisa menghela napas. Sudah lama sekali hubungan mereka kaku seperti kanebo kering begini.
Damian sebenarnya ingin mereka kembali seperti dulu. Tapi, hal itu rasanya tidak mungkin terjadi.
"Ya sudah kalau begitu, Daddy kembali ke kantor. Kalau ada apa-apa kau bisa telepon Daddy."
"Iya."
Di pintu kamar, Damian berpapasan dengan Dodi yang baru saja menyelesaikan administrasi.
"Loh, Om mau ke mana?" tanya Dodi.
"Dom sudah tidak apa-apa," jawab Damian singkat dan langsung meneruskan langkahnya. Sementara Dodi langsung menghampiri sahabatnya itu.
"Lo kenapa lagi sama bokap?"
"Ah, lo pake laporan sama dia. Gue kan udah bilang nggak usah. Kalo pun ada yang mau gue telepon Mami gue, bukan Daddy."
"Ya udah, gue telepon Mami lo sekarang."
"Mami yang mana?"
"Ah, hidup keluarga lo kebanyakan drama," kata Dodi menyadari bahwa Dominic memanggil Mami pada dua wanita,Liemey dan Zalina.
Dominic pun tertawa geli melihat wajah Dodi yang terlihat kesal. Dodi adalah sahabat Dominic sejak SMP. Mereka melanjutkan ke SMA yang sama dan juga kuliah di tempat yang sama bahkan jurusan yang sama, dan sekarang bekerja pun di tempat yang sama. Sama-sama memiliki status jomlo, setelah 3 jam sebelumnya Dominic memergoki kekasihnya bersama pemuda lain.
"Lo sih bro, pohon lo tubruk, untung gue baik-baik aja cuma jidat yang benjot. Trus lo sendiri cuma kaki, kalo sampe kita mati, ambyar bro. Bakal ada berita besok 'Dua Pemuda Jomlo Meninggal Akibat kecelakaan', kata Dodi. Dominic hanya tertawa geli mendengar ucapan sahabatnya itu.
"Lo udah telepon kantor, kan?" tanya Dominic.
"Sebelum gue telepon Daddy lo, gue telepon kantor duluan. Eh, serius ini gue telepon Mami lo yang mana?" tanya Dodi. Ia tau betul bagaimana kehidupan sahabatnya itu.
Dodi ingat saat pertama kali Dominic mengatakan bahwa ia tinggal bersama Zalina dan segala cerita tentang Mami angkatnya itu. Hingga pada akhirnya ia kembali tinggal bersama Daddy-nya. Dan, pada akhirnya Dominic pun hanya bercerita tentang segala kekecewaannya.
"Mami Zalina ajalah, Dod. Gue kangen juga sama Mami gue."
Dodi pun segera menelpon Zalina. Tidak tanggung dia menghubungi Zalina melalui video call. Tepat saat Zalina baru saja turun dari mobilnya ponselnya berdering. Dan ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya saat melihat siapa yang menghubunginya.
"Halo, Dodi. Apa kabar?" sapa Zalina. Tampak Dodi melambai dan ia langsung mengarahkan kamera ke arah Dominic.
"Tante, anak manjanya Tante abis mendzalimi pohon. Pohon lagi diem nggak salah dia tabrak. Liat ni Tante jidat aku sampai benjut," kata Dodi.
Zalina tertawa geli melihat tingkah Dodi.
"Baik, Tante akan ke sana sebentar lagi. Chat saja di rumah sakit mana dan kamar berapa."
"Ashiap Tante."
Zalina pun menutup sambungan telepon dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berencana untuk membawa Arlina ikut bersamanya. Arlina sangat senang jika bertemu dengan Dominic.
Gadis kecil itu sedang makan di suapi oleh Laela saat Zalina masuk ke dalam.
"Mami! Aku pintar loh makan," lapor Arlina dengan mulut penuh. Zalina tertawa geli melihat kelakuan putri bungsunya itu.
"Kunyah dan telan dulu makanannya baru bicara," kata Zalina.
Arlina pun buru-buru menelan makanannya dan memperlihatkan mulutnya yang sudah kosong pada Zalina.
"Kalau sudah selesai makan, mau ikut Mami? Kakak Dom sakit, kita jenguk di rumah sakit."
"Mau ikut, tapi aku habiskan dulu makannya ya, Mami," jawab Arlina. Gadis itu pun langsung menghabiskan sisa makanan di piringnya dengan cepat.
"Mas Dominic sakit apa, Bu?" tanya Sutinah.
"Nggak ngerti, Mbak. Tapi kata Dodi tadi mobilnya menabrak pohon."
"Lah, yo opo sih, Bu. Ada- ada aja Mas Dom iki."
"Anak muda, Mbak. Tolong masukkan makanan ke dalam kotak, Mbak. Mereka pasti belum makan siang, kebetulan ada rendang, kan. Dom biasanya suka rendang buatanku," kata Zalina.
Sutinah mengangguk dan segera memasukkan nasi dan lauk pauk ke dalam dua kotak nasi. Satu untuk Dominic dan satu untuk Dodi. Setelah semua siap, Zalina langsung menggandeng Arlina dan mereka pun segera berangkat ke rumah sakit. Jarak rumah Zalina ke rumah sakit tempat Dominic dirawat tidak terlalu jauh, sehingga dalam waktu 40 menit mereka sudah sampai.
Tepat seperti dugaan Zalina, Dominic dan Dodi memang belum sempat makan siang. Mereka pun langsung memakan makanan yang dibawa oleh Zalina dengan lahap.
"Pasti Mami yang masak," kata Dominic.
"Tau dari mana?" tanya Arlina dengan kenes.
"Dari rasanya dong, cantik," jawab Dominic gemas sambil menjawil pipi bakpao Arlina.
Gadis kecil itu hanya mengikik geli.
"Kok bisa sih mobil sampai tabrak pohon? Kakak ngebut?" tanya Zalina.
"Dia matanya asik liat ke belakang sih, Tante. Masa, Pohon segede gaban nggak keliatan. Maklum, patah hati Tante," celetuk Dodi. Dominic langsung mendelik sementara Zalina hanya terkikik geli.
"Bagus dong ketauan sekarang. Daripada taunya pas kalian udah nikah. Pilih yang mana, Kak?"
"Tuh, bener kan kata gue tadi, Mas bro? Ngeyel sih dibilangin, marahin aja sih Tante," kata Dodi lagi.
Zalina hanya menggelengkan kepalanya. Dia sudah maklum melihat kelakuan Dominic dan Dodi.
"Calista kuliah, Mami?" tanya Dominic berusaha mengalihkan perhatian Zalina.
"Iya, hari ini dia pulang agak sore. Kau istirahat baik-baik, Kak. Sampai benar-benar sembuh baru pulang. Nanti, pulang ke rumah Mami saja. Kakimu itu minimal 4 minggu baru membaik."
"Boleh, aku pulang ke 'rumah'?"
"Kau pikir? Tentu saja boleh, kau anak Mami, bukan? Meski sudah memiliki rumah sendiri, seorang anak boleh pulang ke rumah orang tuanya."
Dominic tersenyum haru, ia ingin sekali menangis dan memeluk wanita cantik di hadapannya ini tapi, ia malu pada Dodi. Dan lagi, dia adalah anak lelaki, sudah dewasa pula. Bisa jatuh harga dirinya jika menangis di hadapan Dodi dan Arlina. Dalam hati Dominic merasa bersyukur ia masih memiliki Zalina sebagai Maminya. Satu-satunya orang yang selalu bisa ia percayai. Tempatnya untuk mengadu dan kembali pulang.
"Tadi pagi, Daddy Kak Dom datang ke rumah loh, tapi marahin kakak El..." kata Arlina tiba-tiba dengan polosnya.
Zalina menepuk dahinya, tapi ia juga tidak bisa mengalahkan kepolosan putri bungsunya itu.
*