"Mami, maafkan aku. Aku ingin sekali tinggal bersama Mami dan Papi juga kembali bersama Calista. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan Mami Mey begitu saja. Mami Mey juga sudah merawat dan menjagaku selama sepuluh tahun ini. Dan, aku juga harus menerima segala resiko dari pilihanku. Dulu aku sudah memilih Daddy, jadi kali ini pun aku memilih untuk tetap di sini, Mami. Maafkan aku..."
Elena pun langsung berlari ke kamarnya. Ia tidak kuat melihat air mata Zalina, ia tidak bisa melihat wanita yang sangat ia cintai itu terluka. 'Maafkan aku, Mami. Maafkan anakmu ini. Untuk kedua kalinya aku melukai hati Mami dengan pilihanku,' bisik Elena dalam hati.
Zalina menatap punggung Elena dengan pandangan sayu. Ia tau saat ini Elena pasti sedang menangis. Dan, Zalina merasa hatinya juga terluka. Bukan sikap Elena yang membuatnya sedih dan sakit. Tapi, ia sakit karena merasa kehilangan, ia merasa tidak bisa menjaga apa yang diamanatkan kepadanya. Zalina menoleh pada Liemey, tanpa kata-kata namun Liemey tau apa yang ingin Zalina lakukan, ia pun mengangguk.
Zalina segera menyusul Elena dan mencoba masuk ke kamar gadis itu. Tapi, pintu kamar terkunci dari dalam. Perlahan Zalina mengatur napasnya, dan mencoba untuk tegar.
"Kak, boleh Mami masuk? Kakak yakin dengan keputusan yang kakak ambil? Sungguh, kakak nggak mau ikut sama Mami untuk pulang, nak? Kak, Mami dan Papi sayang sama Kakak. Kalau kakak merasa tidak nyaman bersama Daddy, Mami bisa kok bilang sama Daddy untuk membiarkan Kakak ikut sama Mami."
Tanpa Zalina tau, saat ini Elena sedang menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Ia tidak ingin Zalina tau bahwa ia sedang menangis dan meraung sedih. Zalina sendiri sudah menangis terisak di depan pintu kamar Elena.
"Kak, jika kakak tidak kuat lagi untuk berdiri sendiri dan perlu tempat bersandar, Kakak tau kemana harus pulang, kan? Pintu rumah Papi dan Mami terbuka lebar kak. Kakak tau kemana harus pulang."
Tanpa Zalina sadari ia sudah duduk sambil bersandar di pintu kamar Elena dan menangis tersedu. Liemey yang melihat itu hanya mampu diam dan ikut menangis. Mendengar Elena masih tidak menjawab, Zalina menghela napasnya kemudian dia bangkit.
"Mami pulang ya, kak," katanya lalu perlahan ia pun melangkah. Zalina sengaja melambatkan langkahnya. Ia berharap Elena keluar dan menyusulnya. Tapi, sampai ia masuk ke dalam mobilnya dan menunggu, Elena tak juga keluar. Zalina pun dengan berat hati segera menghidupkan mesin mobilnya. Tidak langsung pulang, tapi Zalina mampir ke kantor Damian.
Zalina tidak peduli saat sekretaris Damian yang menghalanginya untuk masuk. Zalina langsung menerobos masuk ke dalam ruangan Damian. Ternyata Damian memang sedang meeting bersama Aruga dan beberapa karyawan mereka. Namun, Zalina tak peduli. Iangsung menghampiri dan mencengkram kerah baju Damian dan menariknya.
"Kau dengar baik-baik, Dam. Sekali saja, sekali kau melukai Elena lagi. Atau aku mendengar sesuatu terjadi pada anakku, kau akan tau akibatnya. Jika dulu aku menjebloskan Ibumu dan mengungkapkan semua kejahatannya, maka kali ini aku akan menjebloskan dirimu karena kasus penganiayaan!" seru Zalina, kemudian ia mengempaskan tubuh Damian hingga tersungkur.
Damian merasa wibawanya sedikit jatuh, langsung bangkit dan berdiri menantang.
"Elena itu anakku!" balasnya. Zalina memicingkan matanya dan menatap Damian tajam.
"Mungkin dia adalah darah dagingmu, tapi KAU TIDAK PANTAS DI PANGGIL DADDY!!"
Dengan emosi, Damian menyerang Zalina saat Zalina membalikkan tubuhnya. Namun, Zalina yang memiliki kemampuan beladiri dengan mudah menangkis dan dengan satu kali gebrakan ia pun membanting Damian hingga tersungkur. Aruga yang melihat hal itu hanya meringis. Dia sangat mengenal bagaimana karakter adik iparnya itu. Mirip singa yang sedang mengamuk jika marah.
"Bangun! Jangan menyerang dari belakang kalau kau benar lelaki!" kata Zalina siap memasang kuda-kuda. Damian hanya meringis, ia merasa tubuhnya remuk. Meski Zalina wanita tapi, dia pemegang sabuk hitam taekwondo, sama sekali bukan lawan yang seimbang untuknya.
"Itu, balasan karena kau sudah menyakiti putriku tadi pagi! Ingat, Dam sepuluh tahun yang lalu, kau sudah menandatangani surat bahwa hak asuh anak-anak ada padaku. Dominic dan Elena bisa tinggal kembali bersamamu karena mereka yang mau. Dan aku mengizinkan, jadi jika Elena ingin kembali PULANG, kau tidak punya hak untuk melarangnya! Elena sekarang memilih tinggal di rumahmu karena ia masih menghargai istrimu. Tapi, ingat baik-baik sekali lagi kau menurunkan tangan pada Elena, membentak atau berteriak kepadanya, kau berurusan denganku!"
Zalina pun langsung melangkah pergi setelah melirik pada Aruga dengan tatapan mata elangnya. Aruga pun segera membantu Damian untuk duduk. "Meeting kita lanjutkan besok, kalian boleh keluar," kata Aruga pada karyawannya yang lain.
"Kau kenapa? Sudah tau dia itu singa betina, kau cari gara-gara. Kali ini apa yang kau lakukan?" tanya Aruga. Jika tidak mengingat persahabatan mereka sejak sekolah dulu, ingin rasanya Aruga meninggalkan Damian. Toh, tabungan yang ia miliki lebih dari cukup untuk membuka usaha sendiri. Tapi, Aruga masih menghargai persahabatan mereka. Ia juga tidak tega meninggalkan Damian berdiri sendiri.
"Aku memang salah tadi pagi, terlalu terbawa emosi. Dan, aku menampar Elena di hadapan Zalina."
"Haah! Wah, kau benar-benar cari ribut! Kau tau betul Zalina itu orangnya seperti apa. Sekeras apapun dia tidak pernah main tangan pada anak-anak. Aku sendiri saja tidak pernah membentak apalagi menampar anak-anakku. Kelewatan sekali kau ini."
"Aku menyesal, tapi tidak seperti tadi juga dia memarahiku," kata Damian sambil mengelus kepalanya yang sedikit sakit karena terbentur.
"Kita tau, Zalina tidak akan berbuat seperti itu jika belum dirasa keterlaluan. Dia sampai mengamuk seperti tadi, artinya kau sudah kelewat batas. Elena sampai terluka?"
Damian menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
"Bibirnya berdarah, dan tangannya lecet karena aku seret," jawab Damian. Aruga langsung menepuk dahinya sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak menyalahkan Zalina, kau memang pantas ia beri pelajaran seperti tadi," kata Aruga.
"Aku emosi."
"Meski kau emosi, dia itu anakmu. Dan, dia anak perempuan, Dam. Tidak pantas kau perlakukan seperti itu. Anak adalah cerminan orang tua, Dam. Jika Elena berbuat seperti itu, kau yang harus intropeksi diri. Kau lihat Dominic, apa kau pernah bertanya alasannya memilih tinggal di rumah warisan Arista? Pernah kau bicara dari hati ke hati dengannya? Kita ini sudah tidak lagi muda, Dam. Kau lihat karyawan kita? Banyak karyawan lama yang kita ganti dengan yang masih fresh graduate.
" Apa kau akan selamanya menjalankan perusahaan ini? Orang lain mewariskan apa yang menjadi miliknya pada anak-anaknya. Kau lihat Arjuna? Aku yakin, saat Krisna dewasa maka Krisna yang akan dia beri tanggung jawab. Sama seperti Syailendra memberikan tanggung jawab pada Arjuna dan adik-adiknya. Saat ini, Arasy juga sering melibatkan Ratu dan Raja dalam mengelola usaha toko kue kami. Sampai kapan kau akan seperti ini terus, Dam? Kau tenggelam dalam duniamu sendiri, mau sampai kapan, Dam?" Aruga menghela napas panjang, ia menepuk bahu Damian dan berjalan keluar ruangan.
Tiba-tiba ponsel Damian berbunyi, seketika wajahnya langsung pucat dan ia pun bergegas menyusul Aruga keluar dari ruangannya.
*