Calista tersenyum saat melihat Rama kembali ke kampus. Ia menyapa pemuda itu dengan ramah.
"Udah sehat? Maaf ya, aku tidak bisa menjengukmu lagi kemarin di rumah sakit."
"Tanteku menyebalkan, ya?"
"Hahahah, tidak. Bukan itu penyebabnya. Tapi, aku sedang mengerjakan sesuatu untuk pernikahan kakakku."
"Bukannya kakakmu resepsinya masih lama?"
"Kak Dom, bukan Elena. Resepsi Dom dimajukan, tidak jadi diadakan bersamaan dengan resepsi Elena. Tapi, semua sudah selesai kok. Sisanya dikerjakan oleh wedding organizer. Kau datang nanti ya, undangannya menyusul karena belum selesai di cetak."
Rama merasa bahagia melihat Calista mulai terbuka kepadanya. Bahkan, gadis cantik itu mau makan siang bersama dengannya di kantin.
"Kau sudah membawa mobil sendiri? Memang sudah kuat mengemudi?"
"Apa gunanya ada armada taksi online sih. Tante Verida belum memberi izin untuk mengemudi sendiri. Jadi aku menggunakan taksi online."
"Aku antar kau pulang nanti, ya."
"Hah? Kau serius?"
"Iya, aku serius."
"Lalu, kau sendiri dari rumahku? Aku antar kau pulang, kau antar lagi terus saja begitu sampai besok pagi."
Dan tawa keduanya meledak, membuat seisi kantin memperhatikan dengan tatapan tak percaya. Bagaimana tidak, Calista terkenal sebagai gunung es di kampus mereka. Dan kini, gunung es itu tertawa dengan renyah membuat wajah cantiknya makin terlihat cantik. Rama boleh merasa bangga akan hal itu. Tidak sia-sia ia menahan sakit terkena pisau selama beberapa hari di rumah sakit.
Rama menatap gadis cantik yang sedang tertawa di hadapannya itu penuh cinta. Ia merasa makin bertambah sayang pada Calista.
"Oya, adikmu yang bernama Krisna aku kok tidak pernah melihatnya? Kemarin aku melihat Arlina, tapi Krisna?"
"Krisna masih di Singapura. Tahun ajaran baru dia akan kembali sekolah di Indonesia. Ada adiknya Papi kok, di Singapura. Namanya Tante Kencana, dia yang menemani Krisna di sana. Tapi, mungkin nanti saat pernikahan kak Dom Krisna pulang."
"Cal, apa kau sadar kalau senyummu itu manis?" ujar Rama membuat Calista menautkan kedua alis matanya.
"Manis? Kau sedang merayuku, ya?"
"Aku serius. Kau tau tidak, saat pertama kali aku menawarkan untuk mengantarmu pulang. Ada dua mahasiswa lain yang mengatakan bahwa kau ini gunung es, perlu kobaran api yang besar untuk bisa melelehkan gunung es itu. Jika tau kau akan meleleh melihatku menolongmu, sejak lama aku menyuruh orang untuk menusukmu di depan matamu."
"Dasar kau ini raja gombal. Jika kau membayar orang, yang ada aku akan bertambah menjauhimu. Itu namanya curang, tidak jujur. Tapi, terima kasih ya, kau sudah membantuku dua kali di hari yang sama."
Rama hanya tersenyum dan mengangguk.
"Kita pulang? Sudah tidak ada kuliah lagi kan, hari ini?" tanya Rama.
"Mau mampir ke rumahku dulu? Mami pasti senang kalau kau datang. Tante Arasy dan Om Aruga tadi pagi baru saja berangkat ke Jambi untuk menjenguk sepupuku yang sedang KKN di sana."
"Apa aku tidak mengganggu?"
"Tidak. Kau belum mengenal Raja juga, kan. Dia saudara kembar Ratu."
"Baiklah, aku mampir. Tapi, nanti kau tidak perlu mengantarkan aku pulang, nanti kita main antar antaran aku lelah."
"Memang dasar kau ini," kekeh Calista geli.
Melihat Calista pulang bersama Rama tentu saja membuat Zalina mengerutkan dahinya heran.
"Nak Rama, sudah sehat? Ayo masuk, kalian sudah makan?" sapa Zalina.
"Sudah kok, Tante. Tadi, kami makan di kantin. Om kemana, Tante?"
"Ke kantor, dong. Masa mau work from home terus."
"Hahaha, iya Tante."
"Masuk, yuk. Cal, buatin minuman dong."
Calista mengangguk dan segera beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman.
"Saya saja yang buat, Non," kata Markonah yang sedang asik menonton drama Korea di dapur.
"Udah, kamu nonton aja, Mar. Nggak apa-apa, ini kan jam istirahat. Kenapa nggak tidur?"
"Ini,Non. Dramanya bagus, saya dari kemarin malam nonton sampai episode 5 , lah kok penasaran."
"Healah, awas ojo baper kamu Mar. Jomlo kalo baper nggak seru," goda Calista.
"Baper itu opo sih, Non?"
"Nggak ngerti baper, tenan?"
"Tenan, Non. Aku yo ojo ngerti opo sih baper iku, Non?"
"Baper itu bawa perasaan, Markonah. Kalo kamu jomlo, sopo sing mau kamu peluk?"
Tiba-tiba saja wajah Markonah merona merah.
"Aku yo udah punya pacar saiki, Non. Tapi, ojo ngadu sama Ibu, aku kok isin."
"Jangan bilang kamu pacaran sama Suparman supir tetangga rumah sebelah," kata Calista. Tapi, wajah Markonah semakin memerah malu.
"Ealaaah, pantesan kalau bersih-bersih halaman sama buang sampah ke depan suka lama, kamu main mata sama supir sebelah," kekeh Calista.
"Anu, Non. Mas Suparman iku kok ya guanteng, Non. Kapan hari, saya dari pasar dia lagi bawa motor, eh, saya diantar pulang. Katanya dia juga baru kerja di rumah sebelah itu, Non."
"Awas jangan pacaran terus. Kalau mau pergi keluar malam minggu, bilang Mas Suparman suruh datang ke sini jemput kamu."
"Ibu nggak akan marah, Non?"
"Mami itu baik, ngapain larang kamu pacaran, Markonah. Yang penting kerjaanmu beres, sesekali kalau kamu mau refresing jalan-jalan sama Mas Suparman boleh, kok. Tapi, ingat jangan main belakang, suruh Mas Suparman datang baik-baik menjemputmu."
"Suwun, Non. Duh, Non Calsita ini syantik cuco meong."
"Eh, Calista! Enak aja Calsita."
"Eh, iya Calsi- eh, Non Calista."
"Healah cah gendeng," kekeh Calista geli. Dia memang mamanggil Markonah tanpa embel-embel mbak, karena usia Markonah yang masih belia dan kelakuan Markonah yang masih lucu itu.
Kembali ke ruang tamu, Zalina dan Rama tampak berbincang-bincang dengan akrab. Calista tau, Maminya pasti menyukai Rama, hal itu tampak jelas dari wajahnya.
"Loh, mana minumannya?" tanya Zalina.
"Markonah yang buatin, Mami."
"Oh, ya udah. Kalian ngobrol aja, Mami mau ke atas dulu, ya. Takut adikmu bangun dan mencari Mami."
"Iya Mami."
"Iya Tante."
Rama tersenyum pada Calista, "Mamimu baik sekali, ya. Beliau mirip denganmu."
"Aku yang mirip mami. Masa mami yang mirip aku."
"Cal, kenapa sih awal kita bertemu kau judes dan galak sekali?"
"Aku hanya tidak mau sibuk dengan percintaan, Rama. Aku mau kuliah dengan baik dan menggapai cita-citaku dulu. Aku ingin seperti mami."
"Jadi, kau belum pernah punya pacar?"
"Aku ingin seperti papiku, Ram. Mami adalah cinta pertama dan sekaligus terakhir untuk papi. Seingatku begitu juga Mami. Dulu, pernah ada seorang dokter yang menyukai Mami. Tapi, Mami tidak pernah mencintai dokter itu. Dan, pada akhirnya mami memilih papi untuk menjadi suaminya dan mereka menikah."
Rama menghela napas panjang.
"Apakah aku juga tidak bisa untuk menjadi kekasihmu, Cal?"