Snot dan Vista sedang sibuk menyiapakan tes untuk kenaikan kelas. Mereka mesti giat belajar, agar bisa naik kelas dengan menyandang gelar juara kelas. Tapi apa itu mungkin karena akhir-akhir ini mereka juga disibukkan dengan berita tentang perampokan-perampokan di daerah pinggiran ibukota. Pengejaran-pengejaran komplotan perampok sudah dilakukan. Ada beberapa yang tertangkap tapi pimpinannya bak belut, bisa berkelit sehingga selalu lolos dalam sergapan-sergapan. Gento nama pimpinan perampok itu.
"Dia perampok yang sangat berbahaya," kata Mayor Dud. "Berkali-kali dia menganiaya korban."
"Mengapa aparat selalu gagal menangkapnya?" tanya Vista. "Betulkah dia bisa menghilang?"
"Lolos, bukan menghilang," jawab Mayor Dud. "Mungkin dia sudah mencium gelagat sehingga bisa menghindar terlebih dahulu."
Snot mendengar pembicaraan mereka, tapi hanya diam, belum tertarik terlibat. Mungkin dia sedang serius belajar. Tangannya sibuk membuat gulungan-gulungan kertas kecil. Vista mengambil salah satu gulungan kertas dan membukanya.Dia menemukan rumus-rumus matematika. "Hayo, kamu akan menyontek, ya?" seru Vista.
Snot kaget dengan tuduhan Vista. "Jangan menuduh sembarangan, gulungan itu nanti akan saya masukkan botol lalu saya kocok. Yang keluar itulah yang saya pelajari lebih dulu."
"Ah, tak usah berkilah, ya!" seru Vista.
"Apa Snot suka menyontek selama ini?" tanya Mayor Dud.
"Mana mungkin anak Mama menyontek," kata Mama Snot, sambil tersenyum. Paling ini dukungan Mama Snot agar anaknya tidak menyontek
"Jangan dengarkan kata-kata Vista, Om. Dia memamg iri dengan otak saya," kata Snot. "Kemarin dia merayu untuk tukar-tukaran otak, jelas saya tolak."
"Ah, mana saya mau tukar otakmu! Kan cuma sekepalan bayi!" teriak Vista.
"Hiya, karena kamu lebih bertukar dengan otak kerbau!"
Vista melempar bukunya ke arah Snot, kena, Snot meringis. "Sudah, jangan bertengkar!" seru Papa Vista.
"Oke, saya jalan dulu. Silakan belajar giat," kata Mayor Dud. Pasti akan ke kantor polisi. Tak tahulah, kumis delapan itu sudah pensiun tapi tetap suka begadang di kantor polisi. Jangan-jangan belum betul-betul pensiun, jangan-jangan ada misi rahasia yang diembannya. Tak tahulah.
"Tapi kalau pimpinan perampok itu tertangkap kabari kami segera. Kita akan adakan kenduri kecil-kecilan," kata Vista, sambil tertawa.
"Kenduri kecil-kecilan, kenduri semut maksudmu?" goda Snot. Mayor Dud meninggalkan mereka.
Sampai ujian semesteran selesai ternyata pimpinan perampok itu belum juga tertangkap. Eh, apakah Snot dan Vista jadi juara kelas? Ya, Vista juara satu sedang Snot juara dua. Nilainya sama persis, hanya saja Snot pernah tidak masuk karena sakit mata.
Koran memberitakan tentang perampokan-perampokan yang dilakukan oleh gerombolan baru yang dipimpin si Gento. Gara-gara penyergapan aparat yang berkali-kali gagal menimbulkan cerita-cerita yang menempatkan sosok Gento sebagai perampok sakti. Malahan, ada koran yang memuat kisahnya secara berseri. Diberitakan pula kalau Gento kebal senjata, termasuk anti peluru.
Konon katanya, dia selalu mengaku memiliki jimat popok wewe gombel. Apa sih jimat popok wewe? Itu tentang kisah hantu perempuan yang disebut wewe. Konon, wewe memiliki kain selendang. Bila ada orang yang bisa mengambil selendangnya maka orang itu bisa menghilang karena ketularan menjadi hantu.
"Kamu percaya dengan kisah ini?" tanya Vista pada Snot sambil menyodorkan koran.
Snot tertawa. "Saya memang suka cerita seram, tapi bukan berarti saya percaya hal-hal seperti itu. Saya yakin Gento pakai baju anti peluru. Atau memang tembakan aparat meleset. Tahu baju zirah? Baju perang kuno yang terbuat dari baja, pemakainya jadi kebal senjata karena tertutup lempeng besi."
Vista mengejar lagi, "Bagaimana dengan jimat popok wewe?"
"Untuk yang ini seharusnya kamu tanya sutradara sinetron hantu," seru Snot sambil tertawa. "Sebentar lagi juga ada di tivi, kamu tanya, ya!" Vista cemberut, merasa pertanyaannya tidak dihargai.
Mayor Dud mengajak Snot untuk menyelidiki Gento. "Kemarin sore, kira-kira jam tiga, saya bersama teman-teman menggerebeknya. Saat itu kepolisian mendapat informasi bila dia sedang berada di rumahnya, di daerah Pondok Cabe. Kami sempat melihat kelebatnya. Tapi pengepungan itu gagal total, dia hilang bak ditelan bumi. Harap kamu tahu, sudah beberapa kali kami menyergapnya di tempat itu. Tapi selalu lolos dengan mudah. Kita main ke sana, siapa tahu mendapat jejaknya."
Orangtua Snot boleh-boleh saja, karena mereka sangat percaya dengan Mayor Dud. Snot senang-senang saja, karena diajak jalan-jalan, dan jalan-alan berarti ada jajan. Itu hobinya, ditraktir makan. "Bagaimana dengan Vista, diajak nggak?" tanya Snot.
"Apakah kamu mau ikut?" tanya Mayor Dud pada Vista.
Vista tidak segera menjawab, mencabut permennya dulu. "Gimana, ya? Saya ada tugas baca buku Harry Potter."
"Siapa yang menugaskan?" tanya Snot.
"Saya sendiri!"
"Bilang saja tidak mau," sungut Snot. "Ayo, kita berangkat saja. Biar nenek-nenek itu tunggu pos." Tuk! Ada permen melayang di jidat Snot. Mayor Dud tertawa terbahak melihat kening Snot yang basah kena permen. Begitu Snot mengambil permen itu, Vista sudah lari terbirit-birit. Permen dilambungkan dan ditendangnya, kena tembok dan memantul jatuh ke tempat sampah.
"Wih, kamu melebihi David Beckham!" puji Mayor Dud. "Kita naik angkutan umum, ya?"
"Hah, lha, mobilnya di mana?"
"Ah, ini pengintaian, bukan piknik!"
"Naik taksi, ya?"
"Naik bis sampai Terminal Lebak Bulus, sampai sana kita ganti mobil kecil!"
"Setelah itu?"
"Kita jalan kaki! Karena letaknya di dalam, masuk kampung-kampung bertanah becek," kata Mayor Dud.
"Ngojek sajalah," rayu Snot.
"Pokoknya kita sampai di sana dulu," kata Mayor Dud. Mereka berjalan kaki ke arah by pass. Lalu mencegat bus menuju Terminal Lebak Bulus. Lalu disambung dengan angkutan kecil, setelah melewati lapangan terbang Pondok Cabe mereka berhenti di satu tempat. Mereka lalu naik ojek, Snot di tengah. Jadi bagian depan badannya kena keringat tukang ojek dan bagian punggung kena keringat Mayor Dud. Pasti bau Snot jadi tidak karuan, sangat masam, antara bau pencit mangga dan kedondong! Mereka melewati jalan-jalan terjal. Sampai suatu tempat sepi Mayor Dud minta berhenti lalu membayar ojek.
"Kita masih jauh dari perkampungan, Om?" tanya Snot, tampaknya dia kecapekan.
"Justru itu, kita harus melanjutkannya dengan jalan kaki. Dengan begitu kita bisa memperoleh banyak informasi. Pengepungan terakhir baru kemarin, masih jadi pembicaraan hangat warga. Sehingga kita bisa mendapat petunjuk baru."
Snot mengangguk. "Apakah desanya masih jauh?"
Mayor Dud menggeleng. Mereka lalu berjalan. Begitu ada warung kecil, kedai tempat jualan es dan makanan ringan, mereka masuk dan pesan minuman. Mayor Dud memancing pemilik warung yang sudah tua. "Tampaknya kok baru membicarakan tentang pengepungan, pak? Apakah baru saja ada perampokan di daerah sini?"
Pemilik warung melihat mereka sejenak, lalu sambil berbisik berkata, "Bukan perampokan. Justru perampoknya orang sini, tapi dia itu ulet. Katanya punya jimat popok wewe. Berkali-kali dia lolos. Malah beberapa peluru saja tidak mempan di badannya."
Snot menyimak kata-kata itu dengan serius. Apalagi ketika orang itu bercerita tentang jimat popok wewe. Wah, boleh nih tukang warung. Semalam mendengarkan ceritanya Snot akan betah. "Jadi bapak tahu tabiatnya sejak kecil, kan, tetangga?"
"Ya tahu sekali. Zaman dia masih kecil, sih, biasa-biasa saja. Tapi sejak lulus SMA tabiatnya berubah. Suka memeras orang untuk beli minuman keras," ujar pemilik warung, melihat sekeliling, takut ada yang menguping pembicaraannya. "Kami takut, karena dia suka mengancam. Sejak menghilang berapa tahun yang lalu, sekembalinya ternyata semakin menjadi-jadi. Sudah jadi pimpinan garong."
"Namanya siapa, pak?" tanya Snot.
"Aslinya Barji, tapi nama itu tak disebut-sebut lagi, karena dia lebih suka dipanggil Gento." Mayor Dud mengangguk-angguk dan tidak bertanya lagi. Setelah membayar mereka melanjutkan perjalanan lagi. "Mau ke mana sih, pak?" tanya pemilik warung.
"Ke rumah teman, sudah lama kami tidak bersua," jawab Mayor Dud, sekenanya. Wah, Mayor Dud bisa ikut lomba mengarang, nih. Sesampainya di suatu tempat yang banyak pohon singkong. "Kemarin kami mengepung di sini. Itu rumahnya! Tampaknya kosong!"
Snot memandang rumah yang ditunjuk, rumah itu sendirian dikelilingi kebun yang luas. Memang jarak antar-tetangga di tempat itu masih lumayan jauh, belum rapat. Tidak banyak pohon besar, dan malah terkesan lapang. Tentu memudahkan mata untuk melihat sosok yang keluar dari rumah. Tapi kenapa bisa lolos? Mereka dengan hati-hati mendekati rumah itu. Tangan Mayor Dud siap mencaput pistol di balik baju bila ada yang mencurigaikan. Pintu rumah tertutup tapi tidak terkunci.
"Apakah sebelumnya tidak dihuni?" tanya Snot.
Mayor Dud menjawab, "Ditempati keluarga adiknya. Mungkin sekarang mereka mengungsi. Boleh jadi mereka takut juga sama Gento." Mereka menyelidik seksama. "Kemarin dia keluar lewat pintu ini, lalu menyelinap di balik tembok dan setelah itu kami semua kehilangan jejak."
Snot keluar rumah, di pintu berhenti sebentar dan mengedarkan pandangan. Langkahnya ke kanan, hanya ada sumur timba. Snot melongok ke dalam sumur, agak gelap tapi permukaan airnya terlihat. Bening sekali, ada beberapa ikan emas kecil tampak berkejaran di sumur itu. Cukup lama Snot melongok sumur. "Apakah kemarin ada yang memeriksa sumur ini? Siapa tahu dia masuk sumur."
"Sudah, malah kami juga memakai galah bambu untuk mencari-cari dasar sumur. Siapa tahu dia menenggelamkan diri. Tapi kami tidak menemukan apa-apa," kata Mayor Dud. "Padahal kami sudah 'mengunci' tempat ini."
"Memang dia punya jimat popok wewe?" seru Snot sambil tersenyum.
"Mungkin saja dia juga punya ilmu belut goreng," sambung Mayor Dud. Padahal, Mayor Dud mengatakan itu hanya untuk mengolok-olok orang yang percaya dengan adanya ilmu belut putih. Orang awam sering menganggap mereka yang bisa selalu lolos bila dikepung memiliki ilmu belut putih. Selicin belut! Padahal bisa saja lolosnya itu karena kebetulan saja.
Saat itu melintas seseorang, lalu mengamati Snot dan Mayor Dud. "Mencari siapa?"
"Mereka pergi ya, pak?" tanya Mayor Dud. "Saya teman Pak Jarwo, sudah lama tidak bertemu." Jarwo adalah nama adik Gento.
"Sejak kemarin mereka pindah. Takut kena sasaran peluru nyasar. Kemarin rumah ini dikepung polisi. Hendak menangkap kakaknya."
"Ooo, begitu," gumam Mayor Dud. "Kasihan amat Kang Jarwo." Snot tersenyum melihat aktingnya. Mantan intel pasti pintar bersandiwara, agar penyamarannya tidak tercium. Orang itu berlalu meninggalkan mereka. "Kira-kira Gento menghilang di mana?"
Snot tidak menjawab, dia memang masih gelap dengan kasus ini. Orang dikepung rapat lolos. Padahal tidak ada tempat lain lagi untuk bersembunyi. "Apakah kemarin juga sudah memeriksa pepohonan? Siapa tahu dia memanjat pohon. Di atas dia merokok sambil melihat polisi yang kebingungan."
"Gundulmu! Kami sudah menyisir semuanya. Tidak ada yang kami lewatkan."
"Jika begitu dia memang perampok sakti," kata Snot. Saat itu pandangannya melihat serpihan kue di rumput. Dengan daun diambilnya lalu Snot menuju sumur. Dia hendak memberi makan ikan emas itu. Begitu melongok ke dalam sumur, terlihat air beriak dan karet timba sedikit bergoyang. Snot termangu. Apakah ada ikan besar di dalam sumur sehingga air itu beriak begitu kuat? Setelah air tenang diamatinya sumur, tidak ada ikan besar. Hanya ikan-ikan kecil tadi. Kejatuhan daunkah? Tidak juga, tiada daun jatuh ke sumur. Detak jantung Snot semakin kuat. Dia mundur dari sumur dan mendapati Mayor Dud.
"Ada apa?" tanya Mayor Dud. Snot menarik tangannya ke arah sumur dan menunjuk ke dalam.
"Airnya tadi bergerak cukup kuat," bisik Snot. Mayor Dud memandangi dalam sumur.
"Kamu pinjam lampu senter," kata Mayor Dud, matanya sudah tidak setajam mata Snot. Snot berlari ke rumah terdekat, lalu meminjam senter. Orang yang meminjami senter ikut Snot. Malah bukan hanya satu orang. Tapi Mayor Dud memberi kode agar mereka tidak mendekat. Snot memberitahu mereka dengan berbisik kalau yang di dekat sumur itu polisi. Apalagi Mayor Dud sudah mengeluarkan pistol. Bisikan Snot makin manjur. Tapi bisik-bisik segera menarik yang lainnya sehingga orang berdatangan dan seperti mengepung rumah itu dengan harap-harap cemas. Mayor Dud waspada dan tampaknya sedang menghubungi kepolisian.
Tidak berselang lama polisi datang dan melakukan pengepungan. Beberapa saat kemudian datang lagi bantuan, dari tim buru sergap. Beberapa polisi melongok ke dalam sumur. "Tidak ada apa-apa," kata salah satu polisi. Mayor Dud mengarahkan sinar senter ke salah satu sisi dalam sumur, di dalam air tampak kesan ada sesuatu yang beda dengan dinding sumur yang terendam air. Lebih gelap dibanding sisi yang lain.
"Ambil bambu, beri pengait yang agak panjang!" seru Mayor Dud. Dengan bantuan penduduk mereka mendapatkan bambu, lalu diberi pengait. Bambu dijolokkan ke dalam sumur, lalu diarahkan ke sisi gelap, lalu kait dicolokkan. Mereka yang melongok ke dalam sumur terkesima.
"Ada lubang!" seru salah satu polisi. Pimpinan polisi segera memberi kode kepada anak buahnya untuk siaga. Warga disuruh menyingkir, Snot tiarap bersama beberapa warga sambil menahan napas, deg-degan. "Geledah dalam rumah, apakah ada lubang menuju bawah tanah!" seru polisi itu. Beberapa polisi dengan penuh kewaspadaan masuk ke dalam rumah, menyisir dan tidak menemukan apa-apa. Tidak ada tanda lubang bawah tanah.
Mayor Dud diam sejenak lalu berteriak. "Kita kuras air sumur!" Lalu, polisi minta bantuan warga untuk mendapatkan pompa penyedot air. Dengan pompa penyedot air sumur dikuras habis. "Tapi berbahaya jika kita masuk ke dalam, siapa tahu dia bawa senjata."
Polisi segera menyeru dengan pengeras suara, agar yang di dalam sumur menyerah, tidak ada sahutan. Berkali-kali tidak ada tanda-tanda ada orang. Polisi sudah cukup kesal. "Pakai asap!" kata salah satu polisi. Polisi segera lari ke arah mobil dan mengambil koran, ditambah daun-daun pisang kering di sulut lalu dilempar ke dalam sumur. Asap memenuhi lubang sumur. Orang yang di atas menyimak dengan diam.
"Uhuk-uhuk-uhuk!" Terdengar suara batuk dari arah dalam sumur. Segera polisi mengarahkan senjata ke dalam sumur. Batuk di dalam sumur makin keras. Begitu asap habis tampak seseorang melambaikan tangan minta tolong.
"Buang senjatamu!" teriak polisi.
"Saya tidak bersenjata," jawaban dari bawah sambil terbata-bata.
"Ulurkan tali timba, biar dia naik lewat tali!" seru Mayor Dud. Begitu tali timba diturunkan, orang itu segera menangkapnya lalu naik dengan susah payah dengan tali. Kakinya menjejak tembok sisi sumur. Orang itu sudah tampak pengalaman sekali naik sumur dengan tali timba. Polisi siaga. Siapa tahu begitu sampai di bibir sumur Gento akan mengamuk dan melarikan diri. Perkiraan mereka meleset, Gento menyerah. Kondisi badannya lemah karena asap. Orang itu diborgol. Memang dia memakai baju tebal, dan begitu baju itu disingkap ada kepingan-kepingan logam. Itu yang membuatnya kebal peluru. Orang itu dibawa ke mobil dan dibawa pergi.
Salah satu polisi turun ke dalam sumur dengan tangga yang disambung, penuh kewaspadaan dan memegang pistol. Polisi masuk ke lubang yang dipakai Gento. Beberapa saat kemudian polisi itu naik dengan membawa beberapa benda. "Gila, dia punya bungker. Ada beberapa baju, mie instan, juga lampu senter."
"Tampaknya dia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari," kata polisi yang lain. Beberapa polisi menyisir sekitar sumur dan menemukan lubang yang tertutup semak. "Ini lubang ventilasi persembunyian bawah tanahnya, sehingga dia tidak kehabisan udara di dalam sana."
"Ada kasurnya nggak, pak?" tanya Snot ketika berpapasan dengan polisi yang masuk sumur.
"Kamu mau tidur di sana," kata polisi sambil tertawa. Mayor Dud melambaikan tangan kepada Snot. Snot tidak segera mendekat. Tapi celingukan mencari sesuatu. "Cari apa?"
"Ikan," jawab Snot. Tapi begitu melihat seorang anak memegang plastik berisi dan beberapa ikan emas di dalamnya dia tersenyum. "Ikan itu kamu dapat dari mana?"
"Tadi menggelepar lalu saya ambil," jawab anak itu. "Akan saya pelihara."
Snot tersenyum kepada anak itu. "Jangan lupa dikasih makan, ya!"
Mayor Dud mengembalikan senter kepada pemiliknya. "Terima kasih, pak. Oya, apakah sumur ini pernah dikeruk?"
"Betul, tapi itu sudah beberapa tahun yang lalu. Saat kemarau panjang dulu. Gento sendiri yang melakukannya, sendirian," jawab orang itu. "Ternyata dia membuat tempat persembunyian. Hebat juga, ya, otaknya. Terima kasih, pak. Karena telah menangkap bromocorah pembuat onar kampung kami."
"Ah, kita juga berterima kasih kepada bapak ibu sekalian," jawab pimpinan polisi. Mayor Dud dan Snot ikut mobil polisi.
Keesokan harinya koran-koran mewartakan penangkapan perampok jimat popok wewe. "Mengapa dia selalu mengaku memiliki jimat popok wewe?" gumam Snot.
"Ah, untuk mengelabuhi orang. Biar makin berwibawa di mata anak buahnya. Yang lebih penting lagi, agar orang tidak berpikir kalau dia memiliki goa rahasia," jawab Mayor Dud. "Kira-kira mengapa air itu beriak?"
"Mungkin dia menciduk air untuk minum," jawab Vista.
"Mungkin juga karena baru bangun tidur dan cuci muka," kata Snot.
"Atau untuk buat kopi," sambung Mayor Dud. Mereka tertawa terbahak. Jimat popok wewe hanyalah omong kosong belaka. Takhayul.
Jangan-jangan perampok itu diilhami oleh Saddam Husein yang memiliki bungker bawah tanah. Sehingga ketika Irak diserang tentara Sekutu pimpinan AS pada tahun 1991, dia bisa tidur nyenyak karena aman berlindung di benteng pertahanan bawah tanahnya. "Pimpinan Nazi, Jerman, Adolf Hitler memiliki bungker rahasia di bawah sungai Rhein. Dan itu diketahui setelah Jerman kalah dalam Perang Dunia II."
"Itulah salah satu strategi manusia untuk mempertahankan diri," tambah Mama Snot.
"Pertahanan Snot berupa gulungan kertas bertuliskan rumus-rumus, Ma!" seru Vista, sambil melihat Snot. Snot garuk-garuk hidung yang tidak gatal sambil nyengir.
Benteng maupun bungker bawah tanah adalah salah satu dari sarana perlindungan dari serangan musuh. Benteng yang paling murah dan bisa dibawa ke mana-mana adalah perisai. Kapan perang pertama kali terjadi? Tidak ada catatan yang bisa menunjukkan. Tetapi perang sendiri tampaknya sudah dimulai sejak bangsa manusia berkembang semakin banyak. Sejak saat itu timbul persaingan yang akhirnya terjadi aksi saling menyerang. Dan itulah yang disebut perang. Bila dihitung jumlah peperangan yang pernah terjadi di muka bumi maka jawabnya sudah ribuan kali. Bisa jadi lebih banyak lagi atau malah tidak bisa dihitung lagi karena terlalu banyak. Perang yang tercatat dalam buku sejarah lebih berupa perang-perang besar dengan melibatkan orang-orang ternama.
Lalu apa sih yang dimaksud dengan perang itu sendiri? Apakah perkelahian antara dua orang disebut perang? Bukan! Kalau perkelahian satu lawan satu disebut duel. Perkelahian antarkampung yang disebut perang? Bukan juga! Perang adalah perkelahian besar yang melibatkan minimal dua bangsa atau lebih. Layaknya perkelahian, perang juga mengenal keroyokan. Misalnya satu negara diserang oleh beberapa negara. Mengapa disebut Perang Dunia I dan Perang Dunia II? Disebut perang dunia karena terjadinya pertempuran merata hampir di seluruh penjuru dunia. Dilihat dari luas wilayah yang dipakai untuk berperang, Perang Dunia II lebih unggul dibanding Perang Dunia I. Mengapa begitu? Karena Perang Dunia I lebih banyak terjadi di sekitar daratan Eropa. Sementara pada Perang Dunia II peperangan meluas sampai beberapa benua dan samudera.
Apakah yang dimaksud dengan pertempuran? Pertempuran adalah sebagian dari perang. Misalnya pada Perang Kemerdekaan RI terjadi banyak pertempuran: Pertempuran Ambarawa, Pertempuran 1 Maret di Yogyakarta, Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, Pertempuran Margarana, dan sebagainya. Jadi pertempuran lebih menunjuk terjadinya 'perkelahian hebat' di suatu tempat.
Perang berkepanjangan banyak terjadi. Tetapi perang yang terjadi dalam waktu singkat sangat jarang apalagi kalau hanya dalam hitungan menit. Tetapi dunia pernah mencatatnya yaitu perang antara Ajazair melawan Inggris. Perang itu terjadi hanya 50 menit. Mengapa bisa seperti itu? Ketika itu tentara Inggris mengepung istana raja Aljazair. Lalu sang raja menyatakan perang. Begitu tentara Inggris menembakkan meriam pertamanya raja itu menyerah. Mungkin sebelumnya dia tidak pernah melihat meriam sehingga sangat syok mendengar bunyinya yang menggelegar. Dalam kata lain raja itu penakut. Tetapi bisa saja sang raja tidak ingin rakyatnya terbantai begitu saja di medan perang karena kalah jumlah dan persenjataan. Bagaimanapun kita membenci perang. (*)