"Jadi kita guild serius sekarang?" Tanya B4C0T setelah kami menyelesaikan dungeon pagi ini.
"Iya, kalian sih pada gak online pas voting kemarin." Jawabku.
Anggota grup kami saling pandang, yah, sekarang cuma ada dua pilihan sih. Tetap gabung dengan guild ini, atau pindah cari guild lain yang lebih santai.
"Tapi gue gak nyangka sih, pak ketua bisa-bisanya mikir begitu. Padahal selama ini kita kira dia gak punya ambisi…" Sambung B4C0T.
"Gitu-gitu dia salah satu Red Mage terkuat di server loh, yang bisa ngimbangin dia cuma Fyro dari guild Warrior, dan Eclyps dari guild Kingdom. Makanya gue juga heran kenapa dia adem ayem aja beberapa tahun ini…" Timpal Kiba.
"Dibilang ngumpulin kekuatan juga, guild kita udah jadi sarangnya pemain sultan padahal. Ya cuma gitu, kita gak kompak aja." Balas Knievel.
Iya sih, semua ini kerasa mendadak banget. Gak ada tanda apa-apa kalau ketua mau guild kita serius. Tapi susah juga sih keluar dari situasi sekarang, soalnya hadiahnya…
"Tapi 100 juta loh, 100 juta! Kalau gaji UMR kaya aku perlu berapa tahun buat ngumpulin segitu…" Kata Sakura.
"Yang dapat cuma satu orang dari sekian ratus anggota keluarga …" Balas B4C0T.
"Tapi kemungkinannya gak 0%!" Balas Sakura ngotot.
"Jadi gimana? Kita tetap di guild? Kalau iya, minggu depan bakal ada Raid Guild, kita bakal butuh banyak barang-barang penunjang mahal kalau mau selamat ikut begituan." Tanyaku.
Anggota grup kami pun berpikir sejenak, "Apa udah ada yang keluar dari guild?" Tanya B4C0T.
"Beberapa sih, gak banyak. Kalau gak salah ada 12 orang yang keluar dari guild kemarin. Masalahnya 5 orang di antara mereka udah level 90…" Jawabku.
Semua kembali terdiam, karena tahu betapa kuatnya level 90. Level sistem tertinggi di Immortal War sekarang level 100, dan di server kami level pemain tertinggi adalah level 94. Di guild kami sendiri, ada sekitar 12 orang level 90an, dengan level tertinggi di miliki ketua kami, Devil, yaitu level 92. Mayoritas para pemain, bahkan yang senior hanya mampu mencapai level 70 - 80an, itupun dengan susah payah. Di grup kami misalnya, level tertinggi di pegang B4C0T, level 87. Itupun setahuku dia membayar joki untuk menaikan levelnya, leveling habis-habisan memakai voucher saat ada event leveling. Sementara anggota guild yang lain, Kiba di level 82, Knievel level 82, Sakura level 79, dan aku sendiri di level 84.
Karena tergolong langka dan kuat, para level 90 selalu menjadi incaran guild lain. Para pemain level 90 dapat akses ke item, perlengkapan, dan senjata kelas tinggi. Mereka bisa merubah aliran pertempuran.
"Kekuatan tempur kita berkurang banyak kalau cuma ada 7 level 90. Guild Kingdom punya 30 pemain level 90, gimana cara kita ngalahin mereka?" Tanya Knievel.
Biasanya jumlah pemain level 90 maksimal 10 pemain di guild, karena mereka susah di temukan. Guild kami termasuk lumayan dulunya, punya 12 level 90. Guild Kingdom yang merupakan guild terbesar di server, tentu menggiurkan buat para pemain level tinggi. Cuma ya, guild itu benar-benar aktif, dan tidak segan mengeluarkan pemain yang malas.
"Bahkan menghadapi mereka dengan 12 pemain level 90 kita pun masih berat, sekarang kita cuma punya 7?" Ragu Kiba.
"Yah, ada satu pengumuman lagi yang belum gue kasih tahu ke kalian sih. Pak bos minta kita rekrut pemain level 90an yang kenal. Menurut keputusan dewan guild, anggota guild level 90an bakal dapat gaji per minggu." Kataku.
"Wah, kalau gini mungkin ada harapan sih. Gue ada kenalan beberapa pemain level 90, kalian ada?" Tanya B4C0T.
Hampir keseluruhan anggota grup menggeleng, kecuali Kiba.
"Gue ada kenal 1, cuman gak tahu dia mau apa engga." Katanya.
"Ok, coba lu tanyain. Jadi keputusannya kita tetap gabung guild nih?" Kata B4C0T memastikan.
"Kalau gue sih liat sitkon tar, gimana habis Raid Guild." Jawabku di iringi anggukan yang lain.
"Gue di guild dulu sih."
"Gue juga."
"Aku, aku juga tetap di guild."
"Ok, udah di pastiin kita tetap di guild ya. Gue log out dulu, nanti bakal gue kabarin gimana hasil nego gue. Kalau kita bisa punya seengaknya 25 pemain level 90, kita punya kesempatan ngelawan Kingdom di Guild Battle nanti. Kalau ngga, gak ada harapan buat kita menang." Kata B4C0T, yang sesaat kemudian langsung log out dari game.
"Ok, gue duluan ya, kayaknya ada kelas pagi ini, bye!" Sambung Kiba.
"Gue juga cabut ya, udah di tungguin pacar hehehe…" Kata Knievel.
"Hmmm, tinggal kita berdua nih?" Tanya Sakura.
"Iya, lu gak log out?"
Sakura menggeleng pelan, "Kayaknya mau farming dulu pagi ini, mau bareng?"
"Boleh…"
~ ~ ~
"MVP ya, kalau dapat 100 juta bisa nih buat beli kostum Imperial Lady hehehe." Kata Sakura di sela-sela pertarungan.
"Ngapain cuma beli kostum, 100 juta mah banyak Kur, beli bakso sebulan penuh juga masih sisa!" Jawabku.
"Yee, apaan sih Yam. Tujuanku kan memang itu, ya kalau ada sisa baru beli yang lain. Make up, Tas, Sepatu heheheh."
"Dasar cewek."
"Dasar cowok."
Akupun terkekeh pelan, kira-kira gimana reaksi pemain Sakura yang asli ya di balik layar? Apa dia ketawa-ketiwi, atau cuma senyum garing?
"Ngomong-ngomong, kita beneran bisa menang Guild War?"
"Ya, kayak yang di bilang om Bacot." Jawabku, "Kalau kita bisa punya seengaknya 25 pemain level 90 masih ada harapan. Guild Protector emang gede, anggotanya minimal level 80, tapi kebanyakan anggota kita sultan atau farmer, duitnya banyak wkwkwkwkwk."
"Hmm, oh ya, gimana kalau anggota grup kita naikin level aja Yam, kan lumayan buat bantuin kekuatan guild. Lagian acara dungeon kita bakal makin enak kalau level kita naik."
Naikin level ya? Bukannya gak bisa sih, tapi…
"Misi leveling susah-susah sih Kur, perlu anggota yang kompak, barang-barang mahal, dan panjang-panjang misinya."
"Anggota grup kita kan udah kompak…" Sambung Sakura.
Iya sih, tapi apa mereka mau?
"Ok, akan gue coba tanyakan ke mereka lagi ntar…" Ujarku setuju.
"Makasih ya Yam, kamu emang paling bisa di andalkan deh…" Puji Sakura.
"Hehehe, udah kan ngobrolnya? Yuk kita lanjut farming lagi!"
"Siap!"
~ ~ ~
Ku renggakan kedua tanganku yang terasa pegal karena menekan kombo skill tiada henti dari pagi. Melirik ke arah jarum jam tua di kamarku, hmmm, baru jam 2 rupanya. Sakura sudah keluar 1 jam yang lalu, meninggalkan aku sendiri di area hunting.
"Hunting sendirian rupanya membosankan juga ya, udah lama gak solo play di game ini sih…" Gumamku.
Ya, pertama main Immortal War, bisa di bilang aku solo player. Bermain sendirian, tanpa guild ataupun grup. Hanya saja, sistem misi di Immortal War memaksaku bergabung dengan grup dan guild. Awalnya aku hanya melakukannya untuk menyelesaikan misi saja, siapa sangka, aku benar-benar mendapatkan teman…
"Coba sistem gini di terapkan di dunia nyata ya…"
Kadang aku berpikir, dunia game sebenarnya bentuk penyederhanaan dunia nyata. Tetapi kenapa dunia game terasa jauh, jauh lebih menarik dari dunia nyata? Hal yang sama juga terlihat di anime, kenapa karakter 2D yang merupakan penyederhanaan dari manusia nyata, terasa lebih indah?
Apa-apaan sih aku ini, emang aku Filsuf?
Ku gelengkan kepalaku pelan, apa ini efek dari kebanyakan baca komik?
Bangkit berdiri dari kursiku, ku pandangi kamar pengapku pelan. Jendela yang selalu tertutup tirai, AC yang menyala 24 jam sehari, barang-barang yang penuh berhamburan memenuhi setiap sudut menjadi pemandangan harian bagiku. Aku tidak begitu memperdulikan kondisi kamarku yang menyedihkan ini sih, karena aku punya video game, internet, dan anime. Kapan saja aku ingin melihat hijaunya hutan, tinggal login Immortal War, kemudian jalan-jalan ke Hutan Lindungan Dewa, area level rendah dengan salah satu pemandangan terindah di Immortal War. Ingin menikmati keramaian? Bisa jalan-jalan di situs berbagi video ataupun peta global. Makanan selalu di sediakan, pakaian ku di cucikan, dan sampahku hanya tinggal di letakan di depan pintu. Kenapa juga aku harus keluar kamar?
Hehehe, aku memang menyedihkan…
"Sudah tiga tahun ya?"
Kurang lebih sudah tiga tahun sejak aku memutuskan mengurung diri di kamar. Pada tahun pertama aku melakukannya, hampir seluruh anggota keluarga mencoba untuk membuatku keluar. Ayah, ibu, bahkan adikku Gilang tanpa pernah lelah selalu berusaha membujukku agar mau keluar kamar. Di hadapi kesia-siaan dan kebuntuanku, akhirnya mereka menyerah.
Sekarang hanya ibu yang mau repot-repot mengurusku, mengantarkan makanan, juga mencucikan pakaian dan membuang sampahku. Entah berapa lama lagi sampai ibu juga menyerah.
Ku tundukan kepalaku pelan, sambil bersender di dinding kamar ku tatapi poster-poster dan barang-barang di kamar. Memori manis kenangan masa kecil seketika memenuhi angan, membuat ku berharap bisa mengulang waktu ke masa-masa indah itu, masa ketika aku memiliki potensi untuk menjadi apa saja, potensi menjadi siapa saja. Masa di mana aku tidak harus mengkhawatirkan pendapat orang tentangku, masa di mana aku bisa menjadi diriku sendiri.
Tentu, masa itu tidak akan terulang. Masa yang mana di saat itu, dengan polosnya sangat ingin kita lalui dengan cepat, kini sudah habis.
Lelehan air mata perlahan mengalir di pipiku, sialan, penyesalan ini tidak akan pernah hilang ya?
"Galih, bapak mau bicara…"
Suara ayahku tetiba terdengar dari balik pintu, heh, orang tua itu sudah berhenti menggangap ku anak ya?
"Besok akan ada psikolog yang memeriksamu. Jangan bertingkah aneh-aneh, dan turuti dia, mungkin itu bisa membuatmu sembuh…"
Sembuh, sembuh ya? Memang aku terkena sebuah penyakit?
Aku tidak merespon, ayah pun sepertinya tidak mengharapkan responku. Langkah kaki menjauh pun terdengar, sepertinya dia hanya ingin memberitahukan hal itu ya? Tentu saja, aku tidak punya pilihan. Aku tidak pernah punya pilihan di rumah ini.