webnovel

04. Ratapan

"Yam, kamu baik-baik aja?" Tanya Sakura khawatir?

"Ya? Gue baik-baik aja kok…" Balasku

"Gak, lu gak baik-baik aja. Sepanjang dungeon pagi ini lu kebanyakan ngelamun, untung aja kita milih dungeon yang agak mudah." Omel B4C0T.

"Sorry."

"Ya udah, udah kejadian juga. Emang ada masalah apa sih Yam? Lu bisa cerita sama kita-kita kok…" Timpal Knievel.

"Yah gitu deh, masalah pribadi pokoknya. Dari pada bahas masalah gue, gimana soal pencarian level 90nya? Terus gimana sama usul Sakura buat leveling?" Jawabku.

"Temen gue gak mau sih…" Kata Kiba.

"Gue entah gimana bisa yakinin 4 kenalan gue. Mereka bakal join sampai Guild Battle, udah gue kenalin juga sama pak ketua. Soal usul leveling, ide yang asik sih, tapi apa kalian mau komit?" Kata B4C0T.

"Iya sih, event leveling udah dekat, harusnya kita bisa ngejar level di situ. Cuma ya, misi leveling bakal berat banget, bakal habis banyak barang-barang penunjang mahal nih. Kita juga harus kompak login barengan loh…" Sambung Knievel.

"Gerbang beberapa misi juga cuma di buka malam, kita harus benar-benar ngerjain sampai kelar kalau mau leveling. Masing-masing juga siapin voucher buat boost xp, kita gak mau nyia-nyiain waktu. Kalau kalian udah mutusin ikut, gak ada yang boleh mundur. Kita cuman punya waktu tiga bulan sebelum Guild Battle. Kalau kita benar-benar push, mungkin lu pada bisa naik 5 level. Gue jujur ngincar naikin level ke 90 sih." Jelas B4C0T panjang lebar.

"Gue sih ikut kalau kita beneran mau ngejar level, bosen gue di level 82." Jawab Kiba.

"Sama." Knievel menimpali.

"Boleh, nanti aku cari waktunya deh." Kata Sakura.

Sepertinya semua udah kompak ya?

"Oke, gue ikut!" Jawabku.

"Oke, semua udah sepakat ya? Waktunya kita tentuin kelar Raid Guild nanti, sementara persiapkan diri kalian dulu buat ngehadapin itu Raid, bakal berat banget biarpun banyak sultan di Protector. Sekarang juga kita punya 17 pemain level 90, masih kurang tapi udah mayan. Tiga bulan ke depan kita harus nambah seengaknya 8 level 90an, tapi kalau gue sukses naik ke 90 berarti kita cuma perlu nyari 7." Jelas B4C0T.

Wah, sekarang udah mulai berasa aura serius di guild ini. Emang seharusnya guild di game mmorpg itu seperti ini sih wkwkwkwk.

"Oke, gue cabut dulu ya. Hasil dropan tadi jual masing-masing aja, gak ada dropan yang bagus pagi ini. Bye!"

[B4C0T keluar dari game]

"Wah, gue lagi semangat nih, kayaknya masih pengen main. Kita ngapain sekarang?" Tanya Knievel.

"Apa farming dulu ya?" Tanya Kiba.

Tumben-tumbenan dua manusia ini gak langsung cabut, kalau farming berempat gini sih pasti seru. Walau sebenarnya jujur aku lebih suka berduaan sama sakura aja.

"Gimana yam? Lanjut farming?" Tanya Sakura.

"Ya, kayaknya asik, apalagi ada Kniv, bakal cepat kita habisin monster-monsternya."

"Gua gak lu anggap Yam?" Omel Kiba.

"Ga"

"Hehehehe, sudah jangan bertengkar. Kita senang kok Kiba ikutan." Jawab Sakura.

"Iih, jadi makin sayang deh sama Sakura. Denger tuh Yam, kalo bukan karena Sakura yang baik udah gue pites lu."

"Bawel."

Ok, komposisi gini udah asik buat farming. Walaupun sebenarnya gak ada Kiba juga lancar sih, tapi ya lumayan lah. Melemaskan jari-jariku, akupun bersiap menuju area kuil. Dengan anggota sebanyak ini menyingkirkan para perusuh bukan hal yang mustahil.

TOK TOK TOK

Apa? Ada seseorang yang mengetuk pintuku?

"Nak, ini ada pak dokter. Nanti beliau yang akan menolongmu nak. Buka pintunya ya?" Kata ibuku, aku bisa mendengar suara pelannya yang lirih.

"Permisi nak Galih, saya Dr. Gustian Rahmat, panggil aja Dr. Gustian. Saya psikolog yang di panggil untuk membantu nak Galih, boleh saya masuk?"

Sial, mereka benar-benar memanggil psikolog ya? Jadi sekarang keluargaku menganggap aku orang gila gitu?

Aku hanya diam, tidak tahu mau menjawab apa, dan sejujurnya juga tidak ingin menjawab apa-apa.

"Nak, buka pintunya ya? Biar pak dokter bisa membantu…" Lirih ibuku setelah lewat beberapa menit.

Tentu, aku tak bergeming. Sambil berharap dokter itu menyerah.

"Maaf ya pak Dokter."

"Tidak apa-apa bu, mungkin nak Galih butuh waktu. Nak Galih, sekarang saya kembali dulu ya. Besok saya akan datang lagi, terimakasih."

Hah….

Aku berhasil, setidaknya untuk saat ini.

"Yam, Yami! Kamu ngelamun lagi ya?" PM Sakura tiba-tiba.

Entah, aku jadi gak mood main sekarang.

"Sorry ya Kur…" Balasku.

"Semua, gue cabut dulu ya. Lagi ada urusan pribadi yang bikin mood ilang."

"Yah, lu cabut Yam? Tar yang nahan monsternya siapa dong?" Eluh Kiba.

"Kan ada lu Kib, udah dlu ya, bye!"

"Darah gue kan tipis kam-"

Tombol log out sudah keburu ku tekan sebelum Kiba menyelesaikan kata-katanya, yah, aku sudah menduga sih kata apa yang mau dia semprotkan dari keyboardnya.

Mengela nafas lelah, akupun menyenderkan punggungku ke kursiku pelan.

Apa ini akhirnya? Apa aku tidak punya tempat untuk lari lagi sekarang? Aku melarikan diri dari dunia, dan menjadikan kamar kecil ini sebagai tempat aman untuk diriku sendiri. Apa aku juga harus menyerahkan tempat ini?

Apapun itu, aku tidak punya kemampuan untuk melawan orang tuaku. Memang apa yang mahasiswa drop-out dan pengangguran sepertiku bisa? Bahkan biaya hidupku pun di masih di tanggung orang tuaku. Kamar ini menjadi satu-satunya tempat yang menerimaku, aku tidak punya apa-apa lagi selain ini.

Psikolog ya? Memang apa yang mereka bisa bantu? Semua yang ada di dunia ini seakan melawan keberadaanku. Aku keberadaan yang tidak di inginkan, dan aku tidak merasa harus memenuhi ekspetasi dan harapan dari dunia, aku tidak punya kewajiban untuk itu.

Ku pijat kepalaku pelan, sedikit pusing, aku sudah lama tidak menggunakan otakku untuk berpikir keras ya? Memangnya apa yang akan berubah? Tidak ada bedanya aku keluar atau tidak dari kamar ini, sudah tiga tahun berlalu! Bahkan para b*jing*n itu mungkin sudah lulus dan mulai bekerja sekarang, menikmati hidup normal mereka, sialan!

Sementara aku membusuk disini, para k*par*t itu hidup dengan nyaman! Mereka pasti lulus dengan nilai tinggi, nilai hasil sogokan dan contekan, kemudian dapat kerja dengan bantuan koneksi, anj*ng-anj*ng itu hidupnya sungguh sangat beruntung. Tidak peduli sekeras apa anak orang biasa sepertiku belajar, aku tidak akan bisa menyaingi nasib baik mereka.

Aku terisak pelan, mentalku memang agak tidak stabil semenjak kejadian itu.

Tapi aku tidak bisa munafik juga kan? Ada satu temanku yang pantang menyerah, teman yang sama-sama berasal dari keluarga biasa sepertiku. Kudengar dia sudah sukses sekarang, di terima bekerja di salah satu bank swasta.

Teman ya? Kurasa di dunia nyata, hanya dia satu-satunya yang bisa ku anggap teman. Walau sebenarnya kami bertemu juga hanya faktor kebetulan. Tinggal di kompleks yang sama, status sosial yang tidak jauh berbeda, bahkan satu sekolah sejak SD. Tentu, mau tidak mau, kami menjadi teman. Aku juga heran, dengan semua kebusukanku, entah kenapa dia tetap menganggapku teman, bahkan sampai hari ini.

"Kamu udah kaya karakter utama di Anime aja Nes…" Gumamku pelan.

Yah, jika ada yang bisa membuktikan bahwa perjuangan keras bisa berhasil, Qines temanku, adalah orangnya.

Kurengangkan leherku pelan, memutar kepalaku ke kanan dan kiri. Dengan jarangnya olahraga (Bisa di bilang hampir tidak ada kegiatan fisik berarti yang kulakukan) tentu tubuhku menjadi kaku dan lemas. Tentu, aku tahu pentingnya berolahraga, tapi…

Terlalu melelahkan, tidak akan ada yang berubah juga jika aku berolahraga.

"Kenapa tadi kamu tidak membuka pintunya?"

Suara ayahku yang tiba-tiba datang, sedikit mengagetkanku. Aku tidak ada mood untuk bicara sekarang, malahan sejujurnya, aku tidak ingin bicara.

"Jangan aneh-aneh, apa kamu pura-pura tidak tahu, sudah tiga tahun kamu bertingkah konyol seperti ini! Bapak harap besok kamu mau kerjasama, mau sampai kapan kamu begini hah?"

Tentu aku tahu, aku sangat tahu dengan jelas waktu tiga tahun yang sudah kubuang percuma itu!

Suara ayahku terhenti, hanya suara nafas beratnya yang terdengar.

"Sudahlah, turuti saja apa kata dokter besok…" Katanya serak seraya berlalu pergi.

Aku hanya terdiam, seperti yang biasa aku lakukan. Diam, pasif, tanpa ada keinginan untuk melawan. Aku tahu, harusnya aku bangkit dan berjuang, Qines menunjukan kepadaku kalau kita bisa bangun dari keterpurukan. Tapi aku sudah terjatuh terlalu dalam di jurang keputus-asaan ini, sejauh apapun aku menatap ke atas, tidak ada sedikit pun cahaya yang terlihat.

Eh, ada sedikit cahaya yang berkedip…

Tentu saja, lampu notifikasi di smartphone lamaku. Benda ini sudah ketinggalan jaman namun ajaibnya masih berfungsi dengan baik. Semenjak aku mengurung diri, benda ini sudah tidak terlalu ada kegunaannya. Paling sesekali kugunakan untuk bertukar kabar dengan Qines.

"Tumben ada pesan, penipuan kah? Atau iklan?" Tanyaku bingung.

Eh, ada pesan dari Qines, tumben. Tak ingin membuang waktu, akupun membuka pesannya cepat.

"Lih, gimana kabarnya? Kamu baik-baik aja, masih belum keluar kamar ya?"

Aku tersenyum, dia masih sebaik yang kuingat. "Iya, gini-gini aja, masih di kamar sih. Kenapa Nes, tumben kirim pesan."

"Anu Lih, aku sebenarnya ngga enak buat bilangnya, tapi anak-anak minta tolong aku buat hubungi kamu sih…"

Anak-anak…?

"Yang lain gak berani hubungin kamu, beberapa katanya kamu blokir ya. Aku maklum sih, setelah semua itu. Mereka katanya nyesal, dan mau minta maaf sama kamu Lih…"

Aku ngga suka arah pembicaraan ini.

"Gini, SMA kita bakal ngadain reuni dalam waktu dekat ini, apa kamu mau ikut Lih? Ini kesempatan yang bagus buat perbaikin semuanya…"

SMA ya, masa di mana semuanya dimulai.

"Maaf nes, kayaknya aku gak bisa…"

Próximo capítulo