Elia dan Theria menikmati pemandangan malam. Di depan mereka ada gemintang dan cahaya bulan. Sofa dan dinding kaca yang membatasi mereka memberi ilusi seolah mereka sedang menghayati lukisan.
"Aku tak pernah tahu kalau malam bisa seindah ini. Apa semua ini nyata? bukan buatan kekuatan magimu?"
Elia sampai harus meragukan penglihatannya karena keindahan yang dirasanya tak layak untuk dilihatnya malam itu.
"Ini nyata. Ini yang kami lihat setiap hari. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku menikmati pemandangan itu. Aku sudah terbiasa dan semua itu menjadi bagian hidupku."
Theria menjawab apa adanya. Tak ada penghayatan dalam kata-katanya tapi juga tak ada pula tanda-tanda ada rasa bosan dalam ungkapannya. Sepertinya dia benar-benar menerima semua yang ada di luar sana sebagai bagian dari dirinya. Berbeda dengan Elia yang baru pertama kali melihatnya. Dia merasakan dirinya seolah-olah di bawah terbang ke ruang angkasa.
"Semua itu seolah seperti mimpi bagiku," ujar Elia dengan tenang. Rasa kagumnya pada pemandangan di luar terpancar dari senyumnya. Theria mengamati perubahan perasaan yang terekspresi di wajah Elia. Dia mudah terhanyut oleh suasana, kata Theria dalam hati. Baguslah, ketegangan dalam dirinya bisa luntur. Ketika nanti harus menghadapi sesuatu yang sulit, dia masih bisa bertahan.
"Nikmatilah suasana ini, aku akan menyiapkan makan malam. Aku harap cemilan dan minuman yang tersedia itu cukup sampai aku menjemputmu lagi," kata Theria.
Elia melihat cemilan, minuman, dan beberapa salad yang masih ada di meja.
"Tentu saja ini lebih dari cukup."
"Baguslah," Theria bangun dan mulai berjalan ke lorong yang mengarah ke ruang lain.
"Tunggu!"
Theria menoleh.
"Kenapa nggak pakai kemampuanmu saja?"
"Hemat energi," jawab Theria dengan ekspresi mengingatkan Elia pada penjelasannya tentang magi yang dimilikinya.
"Ah... oke. Sorry."
Theria tersenyum. Setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya. Elia sempat mengamati punggung Theria yang hilang ditelan lorong yang gelap karena kekurangan cahaya. Elia melihat sekeliling. Elia bertanya-tanya dalam hati kenapa lampu di sini tak seterang di dunia manusia meskipun sudah dinyalakan. Selain itu, kenapa mereka pelit, hanya pasang empat lampu warna kuning, itu pun di pojok ruangan.
"Anehnya ini terasa nyaman. Mungkin karena lampu yang diletakkan di sudut ruangan, penglihatan jadi nggak silau atau karena tempat ini sangat tenang?"
Elia bicara sendiri sambil mengamati bentuk lampu-lampu yang menempel di empat sudut. Bentuk yang menarik, seperti kunang-kunang. Jangan-jangan mereka bukan lampu buatan seperti di dunia manusia. Karena penasaran, Elia iseng mendekati sebuah lampu. Saat sudah dekat, dia bisa melihat bentuknya yang sebenarnya. Benar-benar mirip dengan kunang-kunang, hanya ukurannya saja yang lebih besar. Elia menggunakan telapak tangannya untuk menyentuhnya. Betapa terkejutnya dia ketika benda itu berkelip-kelip dan kepalanya menoleh padanya. Bentuk benda itu lalu bergerak berdiri terbalik, kedua matanya mengarah pada Elia.
"Oh, maaf, aku tidak bermaksud mengganggu. Sungguh, aku tidak tahu," Elia berjalan mundur, kebingungan dan terlintas di pikirannya kalau mungkin saja makhluk itu bisa menelannya hidup-hidup. Jantungnya berdetak cepat dan keras seperti palu yang digedor-gedorkan ke tembok. Keringat dingin sudah bercucuran dan kakinya lemas. Dia terduduk. Pada saat itu, seseorang muncul dan berdiri dengan aneh menatap Elia.
"Azaila! tolong! sepertinya dia mau memakanku!"
Azaila melihat makhluk yang akrab baginya berdiri terbalik menempel tembok.
"Ornic kembali bekerja!" Perintah Azaila. Ornic mengikuti perintah Azaila seketika. Setelah itu, Azaila berlari menghampiri Elia.
"Dia tidak akan memakan siapapun, Anda baik-baik saja?"
"Ornic?"
Elia heran. Dia kembali berdiri dengan kaki yang masih sedikit gemetar dengan bantuan Azaila.
"Ya. Di dunia manusia, dia mungkin termasuk kunang-kunang, serangga yang bercahaya."
"Memang sangat mirip! "
Saat mengatakannya, Elia menatap Ornic lagi. Dia msih cemas kalau-kalau Ornic bergerak dan menghampirinya tiba-tiba.
"Tak perlu khawatir, dia mungkin kaget. Apa Anda mencoba menyentuhnya?"
Elia menggangguk kaku dan menyesal.
"Ornic tidak suka disentuh," kata Azaila. Kelembutannya membuat Elia jadi tenang. Rasa takut Elia hilang saat melihat Ornic yang lain cukup tenang di tempatnya.
"Apa mereka semua dinamai Ornic?"
"Ya."
Elia tertegun dan merasa itu kurang tepat. Akan tetapi, saat itu dia tidak dapat mengusulkan apapun. Jangankan memberi nama, seluruh inderanya sedang sibuk menerima fakta baru itu. Pantas saja menyala sendiri, kan tadi tidak ada yang menyalakan saklar, batin Elia yang masih syok.
"Mereka sangat cerdas," Elia memuji dengan kikuk.
"Mereka sudah mengetahui tugas mereka. Jadi mereka bergerak otomatis tanpa diperintah."
Elia mengangguk-angguk. Kemudian dia berpikir, jangan-jangan beberapa patung dan lukisan yang dilihatnya sebenarnya juga makhluk hidup. Mungkin mereka hanya sedang enggan bergerak.
"Maaf, apa Anda memikirkan sesuatu? ada yang bisa saya lakukan untuk Anda sekarang?" Azaila jadi sopan.
"Ah, tidak, aku hanya masih terkejut. Benar-benar tidak kuduga kalau tempat ini tidak punya listrik."
Azaila tersenyum maklum.
"Silahkan duduk kembali, saya akan temani Anda dan mengobrol dengan Anda."
"Ung, terima kasih."
Mereka lalu duduk di sofa. Karena masih terkejut, Elia mencoba mengurangi ketegangan barunya itu dengan mengambil cemilan dan memakannya dengan santai. Dia juga sempat menawari cemilan kesukaannya itu pada Azaila, tapi perempuan itu menolak.
"Kamu nggak perlu sungkan," kata Elia.
"Saya hanya tidak terbiasa," aku Azaila.
"Aku juga tidak terbiasa dipanggil dengan sopan seperti itu, kamu boleh memanggilku dengan namaku saja seperti yang dilakukan Theria."
Azaila agak terkejut saat mendengar dan menerima sikap akrab dari Elia.
"Saya tak mengira akan diperbolehkan memanggil Anda hanya dengan nama saja."
"Tentu saja boleh, cobalah, E li a," kata Elia membimbing teman barunya.
Azaila tampak mempertimbangkannya dengan serius. Sementara Elia terus mendorongnya untuk melakukannya.
"Aku rasa kamu bisa jadi temanku, karena itu panggil aku pakai namaku saja, seperti aku memanggilmu, Azaila."
Ada debaran khusus yang terjadi pada hati Azaila saat Elia mengatakannya. Hal itu membuatnya tersenyum dan langsung merasa lebih nyaman di dekat Elia. Dia memutuskan untuk mencobanya. Sementara itu, Elia menunggu dengan wajah tersenyum.
"E...lia," ucap Azaila dengan pelan dan sopan.
Elia tertawa. Sikap Azaila yang masih sopan tapi berusaha menjadi kasual itu menarik hatinya. Dia lalu menyodorkan cemilan ke depan Azaila. Mereka lalu menikmati cemilan itu bersama. Sejak saat itu, Elia juga meminta Azaila untuk menggunakan ungkapan aku saja daripada saya.
"Ngomong-ngomong apa yang dilakukan Theria di dapur? apa dia mengawasi orang-orang memasak dan memberi perintah saja?"
Azaila cukup terkejut dengan ungkapan itu.
"Ah, tidak, beliau justru yang memasak, yang lain hanya membantunya menyiapkan bahan-bahan. Seharusnya aku juga membantunya, tapi beliau menyuruhku untuk menemanimu di sini."
Elia terkejut lagi. Sepanjang hari entah sudah berapa kali dia terkejut dengan setiap hal yang terjadi di Mansion Melianor.
"Beliau? kenapa kamu memanggilnya begitu?"
"Ah, beliau jauh lebih tua dariku, senior di sini, seorang guru, dan juga beliau adalah tangan kanan Madam Melianor yang terpercaya."
Elia mencoba memahami hierarkinya. Walaupun dia merasa tak enak dengan sisi konservatif itu tapi dia memutuskan untuk menerimanya saja. Mungkin ini adalah langkah terbaik dan ternyaman untuk semua orang sampai nanti.
"Oh begitu. Jadi Theria juga memasak?"
Azaila mengangguk.
"Makanan yang kamu makan kemarin malam juga disiapkan oleh Tuan Theria sendiri."
Elia kemudian ingat makanan yang dimakannya bersama Theria. Rupanya itu masakannya sendiri. Pantas saja dia tidak mau memakannya pada awalnya dan juga kelihatan sangat bahagia ketika kubilang masakan itu enak. Kenapa dia tidak jujur saja kalau itu masakannya.
"Tuan Theria orang yang cekatan dan teliti. Dia tidak hanya membuatkan makanan untuk Madam Melianor, tapi dia juga yang dipercaya untuk mengatur seluruh isi rumah."
Mata Elia terbelalak.
"Itu artinya seluruh tatanan rumah ini, termasuk penataan cahayanya dilakukan oleh Theria sendiri?"
Azaila mengangguk, "Betul, Tuan Theria yang melakukan semuanya."
Elia terperangah. Kedua matanya berkeliling ke seluruh ruangan. Komposisi di dalam ruangan itu sangat apik, nyaman, baginya tak ada minus. Seleranya luar biasa.
"Kenapa kamu memanggilnya Tuan Theria? apa ada alasan khusus?"