Senyum Azaila memberi kesan hangat dan manis. Elia terkesan dengan senyuman yang dilihatnya untuk pertama kalinya itu. Elia mulai menduga Azaila menyukai Theria lebih dari yang bisa dia bayangkan. Dia menunggu Azaila menceritakan yang bisa diceritakannya.
"Dari dulu sampai sekarang keluargaku selalu menjadi pelayan untuk keluarga Tuan Theria, leluhurnya memimpin suatu klan besar bersama leluhur Madam Melianor. Masa-masa indah, ceria dan penuh kehidupan di antara kami terjadi sebelum suatu kejadian besar. Setelah kejadian itu, kami telah kehilangan banyak hal sehingga kami memutuskan untuk tinggal bersama demi tujuan bersama."
"Maksudmu antara Theria dan Melianor?"
Azaila mengangguk.
"Untuk saling melindungi, mereka hidup bersama. Tuan Theria membawaku. Jika tidak, aku pun tak tahu harus berbuat apa."
"Lalu apa ada orang lain yang bekerja di sini?"
Azaila mengangguk. Dalam hati dia membanggakan rekan-rekannya. Tanpa diungkapkan itu terlihat dari caranya menceritakan tentang mereka.
"Sebagian dari mereka telah bekerja dengan Madam Melianor sejak awal, dan sebagian lagi adalah mereka yang bekerja dengan keluarga Tuan Theria."
"Apa seharusnya di sini ada banyak orang?"
Azaila dengan tenang menjelaskan, "Memang banyak, tapi mereka tetap tinggal dalam bayangan sampai nanti Madam Melianor atau Tuan Theria memerintahkan mereka untuk keluar. Akan tetapi, aku berharap itu tidak terjadi."
"Kenapa seperti itu?"
"Selama masa damai seperti ini, kami tidak perlu melakukan apapun. Tuan Theria adalah salah satu penjaga gelombang. Pengawalnya dan semua orang yang bekerja dengannya terhubung dengannya. Jika Tuan Theria menghendaki gelombang yang tenang tentu saja tugas kami hanyalah menyelaraskan diri agar Sang Gelombang tetap stabil."
Elia merasa kapasitas otaknya tak mampu memahami penjelasan Azaila. Sedangkan Azaila yang berpikir Elia dapat mengikuti ceritanya tetap melanjutkan, "Sebagian besar dari kami tetap dalam bayangan. Aku sendiri berharap, kami tidak perlu melakukan apapun. Aku tidak ingin terjadi peristiwa besar lagi."
"Sepertinya peristiwa besar itu memiliki dampak besar pada hidup kalian."
Tatapan Azaila menerawang ke masa lalu. Elia bisa merasakan kerinduan dan perasaan menyesal dalam waktu bersamaan dari sikap Azaila.
"Apa boleh buat, kami dulu berbuat terlalu jauh."
"Maksudnya?"
"Ada sekelompok ilmuwan di masa lalu yang bertindak terlampau jauh. Mereka menciptakan berbagai macam makhluk campuran. Para tetua klan telah mencoba menghentikan mereka, tapi upaya penghentian itu justru mengakibatkan terjadi revolusi kepemimpinan. Hal buruk terus terjadi, eksperimen makhluk campuran terus berlanjut, para pemimpin klan dan pengikutnya sampai tak dapat membendung semua itu. Kemudian ... leluhur Madam Melianor meramalkan bencana yang akan datang secara besar-besaran sebagai hukuman kepada generasi kami yang telah terlampau jauh melawan hukum alam. Bahkan ada yang mengagap diri sebagai Sang Pencipta."
Elia merasakan suatu hal buruk yang terjadi pada mereka seperti terjadi baru kemarin sore.
"Dan melalui kepercayaan pada leluhur Madam Melianor itulah kami selamat, tapi setelah itu kami membuat pernjanjian agar tak mencampuri hidup generasi selanjutnya."
"Hah? apa itu maksudnya?"
"Generasi selanjutnya yang dimaksud adalah generasi anak-anak manusia yang masih tidak tahu apa-apa, perlahan-lahan kami menyingkir, membuat pembatas agar mereka tidak pernah lagi mengakses ilmu-ilmu eksperimen yang akan menghancurkan dunia ini lagi."
"Maksudnya kalian sengaja menyimpan rahasia kelam bersama kalian sendiri?"
Azaila mengangguk. "Kami selalu khawatir, rahasia kelam itu akan berakibat buruk jika diketahui oleh generasi selanjutnya, rasa penasaran manusia bisa menjadi motivasi besar untuk membuat mereka melampaui diri mereka sendiri. Rasa penasaran itu bisa menciptakan gelombang penghancur dan sekaligus bisa menciptakan gelombang yang memperindah dunia. Masalahnya, sisi ambisius setiap makhluk juga dapat menciptakan monster. Kami mengkhawatirkan kelahiran sisi gelap itu. Ah, aku tak pandai membicarakan ini, mungkin nanti kamu bisa tanya sendiri pada Madam atau Tuan Theria." Azaila mengakhiri ceritanya dengan wajah malu.
"Walaupun aku tak mengerti semuanya, rasanya aku bisa mengerti perasaanmu karena aku paham sebagian ceritamu, intinya aku menangkap kesan bahwa kamu akan setia selamanya pada Theria."
Azaila tersenyum. "Itu tugasku."
Elia merasa agak iri karena tak pernah ada seseorang yang seperti itu di sampingnya. Sekalipun ada max di sampingnya, dia selalu ragu.
"Ada apa?" Azaila seperti bisa membaca ekspresi Elia.
"Ah, aku hanya merasa iri dengan kalian. Aku tak mengerti sepenuhnya kenapa kalian bisa saling setia satu sama lain."
"Dari sudut pandaku, karena kami memahami posisi masing-masing dan kami menghormati itu."
"Posisi?"
Azaila tercenung sesaat. Dia tak menyangka akan membicarakan hal filosofis dengan Elia.
"Kami memahami tugas kami masing-masing, aku sebagai pelayan Tuan Theria dan Tuan Theria sebagai pelayan gelombang atau penjaga gelombang, sehingga dia fokus untuk terus bersikap tenang sehingga gelombang semesta juga berjalan semestinya. Jika dia marah, maka akan terjadi perubahan gelombang, begitu pula ketika dia sedang sedih, itu akan mempengaruhi beragam bentuk di alam semesta. Karena itu, kami selalu berhati-hati, karena kami tidak ingin memberi pengaruh buruk pada sang penjaga gelombang itu."
Elia menangkap kata kunci yang menarik dan misterius.
"Gelombang?" Elia mengulang kata-kata itu dengan lembut. "Aku tak mengerti, apa makna gelombang itu untuk alam semesta?"
Azaila menggunakan ujung jari salah satu tangannya untuk menopang dagu. Dia jadi terlihat sangat animatic. Elia menerka apa makna di balik ekspresi itu. Dia pikir itu bukan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.
"Ini agak sulit untuk kujelaskan. Lain waktu mungkin kamu bisa mencari lebih dalam. Sebagian besar informasi ada di perpustakaan atau pada sang saksi hidup iu sendiri, Madam Melianor dan Tuan Theria."
"Ummm, bagaimana denganmu? aku ingin tahu makna gelombang itu berdasarkan versi yang kamu tahu."
"Baiklah," Azaila nampak senang bisa menjadi orang yang diandalkan. "Versiku tentang gelombang ini adalah ... ung.... kita pakai analogi saja, apa kamu pernah menulis cerita? sebuah prosa panjang atau pendek."
Elia mengangguk. Dia mengingat momen menulis yang akhirnya tak ditekuninya.
"Dalam membuat cerita kita akan mulai dari memperkenalkan karakter, kemudian akan ada suatu kejadian yang dialami oleh karakter, tidak hanya satu kejadian tapi beragam kejadian, kemudian setiap kejadian mengubah pola pikirnya. Apa kamu bisa menangkap analogi yang kupaparkan?"
"Aku rasa, ya."
"Kejadian itulah gelombang dalam kasus Tuan Theria. Dia harus menjaga agar gelombang itu tidak merusak pola pikir sang tokoh utama."
"Ung, jadi siapa tokoh utama ini?" Elia semakin tertarik.
"Tokoh utama dalam alam semesta adalah alam semesta itu sendiri. Jika gelombangnya terlalu keras, alam semesta alam bergejolak keras. Bagaimana perasaanmu ketika kamu mendengarkan musik yang suaranya terlalu keras di telingamu?"
"Owh, aku takkan nyaman."
"Kamu mungkin juga akan marah, lalu berbuat sesuatu pada sumber suara yang membuatmu tak nyaman itu."
"Ah, aku mungkin akan membanting speaker yang mengeluarkan suata keras itu."
"Itu tindakan impulsif," kata Azaila yang dibarengi dengan tawa.
"Apa boleh buat, sesuatu yang terlalu berisik sering bikin emosi."
Di sini terjadi perubahan ekspresi dari Azaila. Dia seperti kembali ke masa lalunya yang menyedihkan dan dia hanya bisa meratapinya.
"Hal yang sama juga bisa terjadi, ketika alam semesta menjadi emosi, DIA juga akan berbuat sesuatu pada kita semua. Awalnya DIA akan membuat peringatan, tapi ketika peringatan itu tak diindahkan, lama kelamaan seperti dirimu yang marah lalu merusak sumbernya, benda yang membuatmu merasa tak nyaman itu kamu hancurkan. Tapi apa kamu pikir akan selesai sampai di situ?"
Elia merasa dirinya harus berpikir. Masalahnya dia tak tahu apa yang harus dipikirkannya. Dia menjawab secara asal.
"Mungkin tidak, karena setelah marah dan meluapkan emosi, aku jadi lelah dan biasanya aku pilih tidur."
Azaila tersenyum misterius.
"Alam semesta juga memiliki sistem seperti itu. Setelah emosinya meluap dan terekspresikan, akan ada sisa, dan sisa kemarahan alam semesta tak bisa diperbaiki oleh makhluk hidup manapun. Kita hanya bisa hidup di antara puing-puing sisa kemarahannya. Tuan Theria telah melihat dan merasakannya sendiri, dia tak mau mengulangi memulai hidup dari puing-puing, sehingga dia bersama Madam Melianor terus berusaha menjaga konstruksi gelombang aman untuk semua makhluk hidup yang tinggal di bumi."
"Apakah mungkin bisa terjadi suatu pengulangan?"