webnovel

Dimensi Waktu Mansion Melianor

Theria menghela nafas lebih dulu seolah itu akan memudahkannya menjelaskan tentang dunia bawah. Ketika mau membuka rahasia, dia teringat apa yang harus dijelaskannya mungkin lebih baik jika dibimbing oleh pertanyaan yang ada di benak Elia sekarang. Sehingga dia memutuskan untuk memulai dengan memberi pertanyaan.

"Mana yang ingin kamu ketahui lebih dulu. Kita harus spesifik dalam hal ini."

Elia berpikir sejenak.

"Apa pentingnya?"

"Setiap cerita yang bagus harus dimulai dari pertanyaan pertama, jadi pertanyaan pertamamu akan menentukan akan sampai di mana alur cerita ini terjawab nantinya. Karena itu juga akan memicu pertanyaan kedua, semuanya harus dihadirkan secara berurutan."

Theria bisa melihat kening Elia mengerut. Dia tahu Elia memiliki banyak pertanyaan dan menurutnya dia harus tahu mana yang paling perlu untuk ditanyakannya saat ini.

"Ummm, oke. Pertama tentang mansion. Aku jelas bisa melihat Mansion Melianor ini dibangun di atas pegunungan, tapi kamu bilang tempat ini masih di tengah kota. Jika ini di tengah kota, maka seharusnya masuk ke wilayah pemetaan negara, tapi aku tahu sekali tidak ada kawasan pegunungan di tengah-tengah kota."

Theria menikmati irama pernyataan Elia yang mengandung pertanyaan besar itu. Dia sudah punya jawabannya. Kini dia tengah mencoba menemukan kalimat yang tepat untuk menjelaskannya pada Elia. Mungkin ini tidak mudah dan tidak bisa dimengerti dalam waktu cepat, tapi harus dicoba.

"Dengarkan aku baik-baik," kata Theria, dia membuat sikap duduk santai ala orang berpengetahuan tapi punya sifat down to earth. Perubahan sikapnya dari casual menjadi karismatik membuat Elia tidak dapat bersikap seenaknya lagi. Entah energi apa yang telah mendominasi di sekitar Theria hingga membuat Elia menuruti pesonanya.

"Realita yang kamu lihat saat ini hanyalah sebagian dari realitas yang sesungguhnya. Ruang memiliki banyak bentuk dan energi memiliki daya lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Energi dan daya yang bersatu dapat membuatmu memperlakukan ruang itu menjadi apa saja yang kamu inginkan. Misalnya ...."

Theria menyentuh kening Elia dan dalam sekejab mata mereka sudah berpindah ke ruang yang lebih terang dengan nuansa santai yang sama seperti ruang makan tadi. Mereka sudah duduk di sebuah ruang yang luasnya membuat Elia merasa dipenuhi oleh realitas modern. Perabotan, dinding, dan langit-langit ruangan mengalami perubahan signifikan tapi masih dengan rasio yang sama seperti ruang makan sebelumnya. Bedanya adalah meja makan mereka tidak ada. Digantikan oleh meja bundar mungil dengan cemilan ringan, teko dan gelas cantik. Elia terngaga, dia berdiri dan memutar tubuhnya untuk melihat sekeliling. Tidak ada jejak dan aroma gothic. Semua itu seolah tidak pernah ada di sana. Belum selesai dia mencerna realitas itu, Theria mengenggam lengannya, menariknya dengan lembut sehingga membuatnya bergeser beberapa centi dan hentakkan ringan itu membuat tubuh Elia seolah akan terjatuh ke pelukan Theria. Siapa yang akan menyangka jika gerakan sederhana itu membuatnya berpindah ke puncak suatu menara?

Elia merasakan hentakan angin. Untungnya dia mengenakan celana dan kaos lengan panjang, sehingga dia lebih mudah menyesuaikan diri. Bila memakai rok panjang tubuhnya akan kesulitan untuk menemukan keseimbangan karena tersibak oleh angin yang deras. Hanya rambutnya yang panjang sebahu yang berkibar-kibar. Elia memang terlihat akan jatuh dan karena itu Theria meraih pinggang Elia, sehingga mereka berada dalam pose siap sedia untuk berdansa ketika Elia agak oleng untuk berdiri di atas keajaiban itu. Elia memutar tubuhnya untuk melihat kesekeliling, tapi dia tidak dapat melepaskan pelukannya pada Theria, karena kalau dilepas, dia bisa jatuh. Pijakan kaki mereka sangat kecil dan dari kejauhan terkesan mudah patah. Akhirnya, Elia bersandar pada Theria yang memeluknya dari belakang dengan erat. Dia merasa keseimbangan pikirannya hancur lebur. Tidak hanya itu, pemetaan waktu yang selama ini bertahan di dalam dirinya pecah berantakan.

Theria berbisik di telinganya, "Dunia ini terdiri atas magi yang terkumpul dari perasaan semua makhluk di seluruh dimensi."

Elia merinding. Dia merasa takut tapi bukan ketakutan yang membuatnya harus melarikan diri. Hanya saja saat ini dia tidak mampu mengenali level rasa takutnya. Dia hanya bisa menerimanya.

"Mansion Melianor adalah bagian dari dimensi. Dia terikat oleh ruang dan waktu tapi kekuatan magi yang menyelimutinya membuatnya tak terlihat oleh ruang dan waktu lainnya. Kekuatannya juga mampu membuatnya bertahan dalam waktu yang sangat lama."

"Maksudnya?" Elia mulai merasa mual.

Theria mencium pundaknya dan tepat saat itu, mereka sudah berpindah. Theria melepaskan pelukan eratnya pada Elia dan membiarkan Elia merasakan kembali seluruh indera tubuhnya. Theria berjalan mendekati sebuah kursi antik dan dia duduk di sana. Ada pemandangan perbukitan tanah merah. Elia berjalan perlahan mendekatinya. Dia berdiri di dekatnya tanpa kata. Pemandangan di depannya terasa romantis, ketika menoleh dan melihat pemandangan di belakangnya dia merasakan seluruh ruangan itu memiliki karisma, seolah-olah ruangan itu memiliki roh kehidupan.

"Apa dunia bawah selalu seindah ini? di mana kita sebenarnya?" Elia bertanya dengan suara lirih dan menghayati sepenuhnya suasana yang ada.

Theria lalu menarik lengan Elia. Dia mengarahkan Elia untuk duduk di sampingnya. Dengan tenang dia menjawab, "Kita sudah kembali ke Mansion Melianor."

Elia terkejut tapi tak bisa berkata-kata.

"Bagaimana kamu melakukannya?"

"Aku mengandalkan kekuatan magi."

Elia jelas tidak tahu. Dia meminta penjelasan lebih lanjut dengan wajahnya yang polos.

"Sumber magi para peri sepertiku adalah cahaya. Selama ada cahaya, aku bisa mengumpulkan magi, sumber kekuatanku. Dengan itu aku bisa melakukan banyak hal, pindah tempat seperti tadi salah satunya."

Elia terkejut sampai matanya terbelalak. Dia menarik nafas dan menahannya di dada untuk beberapa waktu.

"Kau benar-benar tidak tahu?" Theria yang kini dibuat kagum oleh kebodohan Elia.

"Aku menebak-nebak makhluk apa kamu ini karena jelas bukan manusia, aku sempat memikirkan kalau kamu peri, tapi aku sering mendengar kalau seorang peramal akan lebih dekat dengan bangsa jin."

Theria tertawa. "Kamu pikir aku ini jin?"

Elia mengangguk tanpa ragu. "Kamu pe...peri?"

Setelah mengungkapkan keterkejutan, Elia mengamati sekali lagi wajah Theria. Dia menemukan, wajah itu karakteristiknya sempurna sebagai wajah pria tirus. Setelah diperhatikan lebih seksama ada rona di wajah Theria terkesan lembut dan ringkih. Kedua matanya memikat, dengan bula mata yang lentik. Pria yang cantik, pikir Elia. Kenapa aku baru menyadarinya? bibirnya tipis, hidungnya sempurna dengan ukuran wajahnya yang kecil. Aku tak percaya dia seorang peri. Kekuatan teleportasenya sangat mulus. Apa dia termasuk peri yang akan mewujudkan apa saja keinginanku? seperti ibu peri?

Theria tersenyum dan itu membuat Elia terkejut. Hatinya berdesir untuk sesaat. Aku paham sekarang kenapa pesona peri di dalam film-film sering digambarkan memikat. Memang tak bisa kubantah soal itu.

Elia memalingkan wajahnya.

Theria mengamati semua itu dengan senang.

"Sekarang... apalagi yang ingin kamu tahu?"

Elia nampak berpikir. "Kalau begitu, kekuatan magi itulah yang membuat Mansion Melianor tak terlihat oleh orang di luar tempat ini?"

Theria mengangguk. "Mereka yang tidak memenuhi syarat untuk masuk atau melihat tempat ini tidak akan pernah bisa mengetahui tempat ini."

"Jadi ini sebenarnya berada di tempat yang sama dengan dunia manusia itu?"

Theria mengangguk.

"Waw... impossible but possible. Luar biasa! luar biasa!"

Elia tampak gila untuk sesaat. Bagaimana aku harus mencerna semua ini? rasanya menerimanya saja takkan cukup. Elia lalu menggigit kuku jempolnya. Theria menarik lengan itu dengan lembut.

"Oh maaf, aku sering begitu kalau sedang memikirkan sesuatu yang luar biasa."

"Aku tahu kamu kesulitan untuk memahaminya sekarang, sama persis dengan apa yang terjadi saat kamu membaca tarot dengan Madam sebelumnya. Kamu sampai pingsan. Untuk sementara, nikmati saja semua keajaiban yang terjadi dalam hidupmu sampai detik ini. Saat kamu siap menerima lebih banyak informasi, katakan saja."

Kata-kata yang disampaikan secara berkarisma itu membuat Elia menurut.

"Aku punya satu pertanyaan."

"Ya, apa itu?"

"Legolas pakai busur panah sebagai senjata, kalau kamu?"

Theria tertawa terbahak-bahak.

Próximo capítulo