Tawa Theria membuat Elia merasa kacau sendiri dengan pertanyaannya. Tawa itu seperti mengisyaratkan kalau dia sudah terkonsumsi oleh film-film murahan. Padahal film itu diproduksi dengan biaya yang mahal. Buku yang jadi sumber utama pembuatan film itu juga dijual dengan harga mahal, diapreasiasi oleh jutaan pembaca, memiliki banyak penggemar sampai didistribusikan ke berbagai negara, kenapa dia tertawa?
"Aku tidak tahu apa yang kamu tahu, tapi aku bisa saja menciptakan busur panah dengan magiku," kata Theria.
"Jadi kamu tak pernah menggunakannya?"
Theria menggeleng. "Aku belum pernah terlibat dalam peperangan secara langsung hingga harus menggunakan busur panah untuk membunuh."
Ucapan Theria dibarengi dengan perubahan pada ekspresi kedua matanya. Elia terkesiap karena dia melihat kesedihan di kedua mata itu. Sepertinya ada bagian dari masa lalu yang sangat menyakitkan baginya.
Merasa tak enak, Elia mencoba mengganti topik pembicaraan, sesuatu yang dikuasai oleh Theria dan juga ingin diketahuinya.
"Lalu tentang magi, apa itu sebenarnya? apa aku juga bisa menggunakannya?"
Theria berpikir sebentar. Kelihatannya dia sedang memindai informasi dari suatu tempat didalam ingatannya. Pada saat itu Elia sudah mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan pengetahuan baru.
"Magi itu sekumpulan energi yang ada di alam semesta. Kami mengumpulkannya dan mengikatnya di dalam diri. Ada yang disebut dengan golden chi di dalam tubuh kita, dialah yang menjadi wadah untuk menampung kekuatan magi itu. Golden chi yang terolah akan mampu menampung sebanyak apapun magi untuk kita, kemudian magi itu bisa kita bentuk kembali. Dulu aku memikirkan tentang bisa berpindah tempat dengan cepat, sehingga aku mengelola magi di dalam golden chi milikku menjadi kemampuan teleportase dan masih banyak lagi yang lain."
"Itu artinya butuh waktu untuk melatih dan membentuk magi?"
Theria mengangguk. Dia suka Elia memiliki bayangan yang tepat sehingga bisa menangkap kata-katanya dengan cepat.
"Ya, kita harus mengelolanya dan butuh waktu. Tidak semua makhluk bisa melakukannya dalam waktu satu atau dua tahun. Ada yang butuh waktu sampai ratusan tahun untuk bisa membentuk magi menjadi satu wujud kekuatan."
"Satu saja butuh ratusan tahun?!" Elia spontan mengekspresikan keterkejutannya. Theria tampak maklum.
"Dan kamu, kamu butuh waktu berapa tahun untuk bisa teleportase?"
"Tiga ratus tahun."
Elia terdiam. Tidak ada percakapan di antara mereka sampai waktu yang cukup lama. Theria tidak tertawa. Dia berhasil menahan tawanya ketika melihat reaksi cengo Elia. Dia segera menguasai dirinya supaya Elia bisa menikmati waktu untuk mencerna arti dari ucapannya.
"Ti...tiga ratus tahun?!"
Akhirnya Elia bersuara. Wajahnya dialihkannya dari melihat Theria lalu ke pemandangan di depannya. Dia menghela nafas panjang. Rasanya pemandangan di depannya adalah pelarian yang telah sengaja disiapakan agar dia tidak pingsan mendengar fakta baru itu. Pemandangan itu setidaknya bisa membuatnya rileks dan tetap sadar.
"Oke, tiga ratus tahun, dan itu terjadi sejak berapa ratus tahun yang lalu?"
"Tiga ratus tahun yang lalu."
Pelan dan akurat, Elia menjumlahkannya. Dia lalu tertawa datar untuk mengurangi keterkejutannya. Sedangkan Theria jelas sangat menikmati momen itu.
"Kamu tidak sedang membullyku bukan?"
"Akan kucoba kalau kamu sangat ingin dibully. Jawabanku belum selesai, masih ada lanjutannya."
Elia siap-siap untuk menerima kejutan selanjutnya.
"Sebenarnya, tiga ratus tahun yang kusebutkan itu punya sandangan."
"Hah? sandangan?"
Theria lalu berbisik, "Tiga ratus tahun cahaya."
Ledakan pesawat luar angkasa meluncur ke langit sepertinya baru saja terjadi di kepala Elia. Dia bengong seribu bahasa. Mungkin otaknya cukup mampu untuk mengkalkulasi kata-kata Theria sehingga dia menunggu otaknya memberikan perintah untuknya bereaksi.
Theria menunggu dan sudah cukup lama dia tidak mendapatkan reaksi dari Elia. Dia melanjutkan. "Mungkin lebih baik kamu tidak mengetahui fakta itu. Masih bisa kulanjutkan?"
Kedua mata Elia mengedip. Seluruh indera fisiknya tak sanggup untuk menerima semua itu. Dia langsung merasa lelah.
"Di mana pintu keluar? aku ingin pulang."
Theria tertawa saat melihat wajah anak kecil tercermin dari Elia. Dia bersenang-senang dengan setiap komentar Elia.
"Jangan menangis, aku mengatakan yang sebenarnya, kamu sendiri ingin tahu," dia mengatakannya dengan bibir tersenyum.
"Aku tak mengira akan selama itu, Aku sudah tak bisa menghitungnya," Elia seperti mau menangis dan untuk mengungkapkan pikirannya pun dia merasa sudah tak punya sisa tenaga. Wajahnya juga jadi pucat.
"Aku lelah, aku ingin minum sesuatu," Elia merajuk.
Theria mengabulkan permintaannya dalam waktu singkat. Di depan mereka muncul beragam minuman dan cemilan, serta salad. Elia berteriak dan melompat terkejut dari tempat duduknya ketika semua itu muncul dari ruang kosong.
"Kamu! apa yang kamu lakukan?"
Theria bersikap tenang seolah dia tidak melakukan apapun dan tidak tahu apapun.
"Aku hanya melakukan hal biasa."
Elia mencoba mengatur nafasnya. Dengan ragu-ragu dan gerakan kikuk yang lucu bagi Theria, dia mencoba menyentuh makanan dan minuman di depannya. Semuanya nyata.
"Oh Shit!" Elia berjalan mundur. "Kamu menggunakan magi bukan?"
"Masih mau yang lain?" Theria menantang.
"Sudah sudah sudah, jangan pamer!"
"Aku nggak pamer, aku hanya suka melihat reaksimu."
Elia mencoba menguasai situasi dan realitas barunya. Untuk waktu yang lama dia hanya berdiri untuk melihat makanan dan minuman di depannya.
"Duduklah, bukannya kamu haus dan butuh makanan manis? kamu harus minum itu. Jadi kamu juga bisa buktikan itu semua asli atau tidak."
Minuman, salad, dan cemilan yang tersedia di meja panjang minimalis warna putih itu merupakan makanan dan minuman yang sering dikonsumsi oleh Elia. Hampir bisa dikatakan kalau itu semua merupakan makanan dan minuman favoritnya. Elia sudah duduk kembali. Dia meraih sebotol air berkarbonasi untuk diminum. Awalnya dia curiga isinya tidak asli. Setelah menikmatinya, dia mulai percaya minuman dan makanan itu bukan ilusi. Dia lalu mengambil cemilan terbuat dari kentang. Dia menikmatinya tanpa banyak kata.
"Aku rasa kamu sudah lapar lagi," Theria menggoda Elia.
"Tidak, aku tidak selapar itu, aku belum butuh makan berat. Ini efek otakku berpikir cukup keras setelah mendengar kata-katamu, aku masih tak percaya kalau itu sungguhan."
"Ohh, karena otakmu bekerja cukup keras jadi kortisol di dalam dirimu meningkat...baiklah logis juga," Theria masih tergoda untuk menggoda Elia.
"Kamu memberiku soal yang lebih buruk dari matematika!"
"Kamu tak pernah menikmati matematika?"
"Oh please, kenapa aku harus menikmatinya? oh rasa rumput laut ini enak." Di tangan Elia ada sekantong kentang goreng rumput laut. Mulutnya juga sedang mengunyah beberapa potong keripik kentang yang dimasukkannya ke mulut sekaligus. "Kamu mengambil semua in dari mana?" tanyanya setelah menelan.
"Superindo," jawab Theria, semudah mengunyah keripik kentang. Masalahnya, jawaban yang diucpakan dengan ringan itu membuat Elia membeku sesaat.
"Kalau begitu, apa kita bisa ke Departement store Sunshine? aku harus belanja."
"Kamu nggak prerlu pakaian, sudah tersedia sangat banyak untukmu."
"Oh, umm, aku butuh handphone, kita ke toko handphone."
Satu jentikan ringan membuat sebuah handphone muncul di pangkuan Elia.
"Oh my GOD!" Elia kegirangan melihat handphone merek terkenal keluaran terbaru ada di pangkuannya dalam sekejap. "Kalau bisa semudah ini kenapa kamu tak melakukannya dari tadi?"
Elia jadi lupa dengan makanannya. Dia berfokus pada handphone barunya. Dia membuka kardusnya dengan antusias. "Ah, ada yang kurang," katanya dengan gembira. Dia mengangkat wajahnya dan melihat wajah datar Theria. "Itu loh, itu, ah apa si? itu... ummm... ah! SIM CARD!"
Dalam sekejap sim card itu muncul di meja. Elia buru-buru mengambil lalu memasangkannya di hanphonenya. "Kalau begitu, kamu pasti gampang mengumpulkan emas di seluruh dunia ya," Elia menceracau. "Semua hal jadi sangat mudah untukmu. Wah kalau aku punya kekuatan itu, aku akan menggunakannya untuk bersenang-senang juga."
"Kita tak boleh serakah."
Elia terkejut dengan sanggahan Theria. Itu membuatnya malu dengan antusiasmenya tadi.
"Setiap kekuatan mengandung tanggung jawab. Kalau aku menggunakannya terus menerus, aku juga harus siap untuk mengisi ulang nantinya."
Elia jadi lesu mendengar pengakuan itu.
"Apa artinya?"
"Setelah kamu menggunakan banyak tenaga apa yang terjadi padamu?"
"Lelah."
"Lalu apa yang kamu lakukan untuk memulihkan tenaga?"
"Aku istirahat untuk memulihkan tenaga."
"Hal yang sama juga terjadi padaku. Karena itu lebih baik hemat energi dan menggunakannya hanya di saat benar-benar butuh saja."