"Andi, mampir ke dalem yuk."
Arloji tepat menunjukkan pukul enam, namun ia masih berada di luar. Hujan sore tadi berlangsung cukup lama, ia masih bisa melihat aliran-aliran kecil air hujan yang berada hampir di sepanjang sisi jalan. Kabar baiknya langit tampak sangat cerah setelah hujan reda dengan hiasan awan kemerahan di ufuk barat. Hewan malam mulai menyuarakan keberadaannya dari tempat persembunyian, mungkin tengah bersiap menuju peraduannya. Kediaman Siska terletak di sebuah desa kecil yang asri dengan pemandangan yang cukup memanjakan mata tatkala fajar menyingsing. Itulah kenapa Andi tak pernah bosan untuk menjemput kekasihnya itu setiap pagi sebelum menuju sekolah. Cepat atau lambat kau akan merindukan suasana setenang ini, tak ada yang bisa membuatmu lebih damai daripada sejuknya suasana pedesaan di pegunungan dengan keramah-tamahan masyarakatnya.
"Ehm, Sis, udah maghrib nih. Malam Jumat lagi, aku mau pulang aja." Andi berdiri di depan pintu masuk rumah Siska. Lampu-lampu yang ada di pekarangan rumah mulai dinyalakan, pertanda malam akan segera menghampiri. Tubuhnya terasa dingin karena air hujan dan udara dataran tinggi.
"Justru itu, sanding kala. Mampir dululah, kukenalin kamu ke Bapak sama Ibu secara resmi. Ya?" Siska berusaha membujuk Andi untuk tetap tinggal. Ia akan merasa bersalah jika membiarkan Andi pulang dalam keadaan perut kosong.
"Resmi, resmi. Kaya pejabat aja, pakai dikenalin secara resmi."
Andi tak bisa berbuat banyak, ia pun hanya menuruti keinginan Siska. Lagipula, ia juga belum pernah berkunjung ke sana secara khusus. Di beberapa kesempatan ia telah bertemu dengan kedua orang tua Siska, mereka berdua sangat baik dan terlihat membuka segala kemungkinan untuk Andi. Tapi, jika untuk urusan pembicaraan serius di antara mereka semua tentunya masih belum terlaksana. Mungkin ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk menjadi lebih dekat dengan keluarga Siska. Ya, dia sendiri tahu hubungannya mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan pasangan lain yang lebih dewasa secara umur dan pemikiran. Hanya saja, jauh di dalam sana Andi memilih untuk tidak menjadikan 'drama remaja' sebagai bagian dari hidupnya. Terlalu klise dan ia tidak mau hidupnya berjalan sesederhana itu. Jadi, ia memilih untuk berkomitmen dengan seorang gadis saja. Siska adalah yang pertama dan terakhir. Namun, tetap saja segalanya bisa terjadi.
"Assalamualaikum."
Andi memasuki ruang tamu kediaman Siska setelah menanggalkan sepatu dan kaus kaki di teras depan rumah. Sedangkan Siska yang hanya mengenakan sandal jepit sedari tadi telah mendahului Andi.
"Kamu duduk sini dulu ya, aku ke belakang bentar."
"Oke."
Kesan pertama yang Andi dapat ketika berada di sana adalah keluarga kekasihnya itu ternyata cukup religius. Dinding ruangan dipenuhi potret ulama-ulama besar, salah satunya tak lain merupakan kakek buyut Siska. Andi mengetahuinya lantaran beberapa hari yang lalu, Siska sempat memberi tahunya di sela-sela pembicaraan mereka. Dua lukisan kaligrafi, lebih tepatnya surat Al-Fatihah dan Yasin, masing-masing terpajang indah di kedua sisi ruangan. Pembuka dan hati dari Al-Quranul Karim, sebuah pengingat yang sungguh mengena baginya. Andi bukanlah tipe orang religius, keimanannya masih seperti pasang-surutnya lautan. Ia memang menjalankan ibadah-ibadah wajib di kesehariannya, namun tak sampai pada tingkatan khusyu. Hubungannya dengan Sang Pencipta tak terlalu istimewa. Tentu saja ia ingin berubah terutama karena Siska, selain itu kejadian yang dialaminya belakangan ini haruslah berakhir sesegera mungkin. Mungkin kini yang ia butuhkan hanyalah bantuan spiritual.
"Eh, ada Mas Andi. Monggo Mas."
Sapaan dari Bu Siti membuat dirinya bangkit dan langsung meraih tangan beliau dan menciumnya. "Iya, Bu. Maaf aku datengnya kemaleman," kata Andi ramah dengan senyum sumringah yang terpasang di wajahnya.
"Nggak papa, Ibu selalu seneng kamu main ke sini."
"Bu, kalau aku sekalian mau salat di sini boleh?"
"Oh iya iya, silahkan. Mari."
Di rumah ini terdapat empat orang. Ayah, ibu, Siska, dan adik laki-lakinya. Pak Bayu, ayah Siska, adalah seorang ustad yang mengajar anak-anak TPQ di desa ini. Sang ibu, yang barusan Andi temui, mempunyai warung sembako kecil di sisi timur rumah. Adik Siska, Radit namanya, masih berusia lima tahun dan biasa mengaji bersama dengan ayahnya. Semua itu Andi dengar dari cerita-cerita Siska, dia memang sering sekali membagikan apapun kepada Andi, bahkan hal terkecil sekalipun. Terkadang Andi mendengarkannya dengan seksama, terkadang itu hanya seperti angin lalu. Ia selalu bisa memilah mana yang sekiranya penting untuk diingat dan mana yang tak perlu dipikirkan sama sekali karena itu hanya sekadar obrolan ringan perempuan.
"Mas Andi, mari makan sama-sama," ujar Pak Bayu ketika melihat Andi yang telah menyelesaikan salatnya.
"Waduh, Pak. Kok aku jadi ngrepoti ya," balas Andi ramah masih dengan senyum sumringahnya.
"Enggaklah, ayo jangan sungkan-sungkan. Kan jarang-jarang Mas Andi main ke sini."
Keramah-tamahan yang manis. Andi belum pernah mengikuti makan malam dengan keluarga lain sebelumnya, bahkan bisa dikatakan ia lebih suka makan sendirian saja. Ia melangkah ke ruang tengah dan menemukan meja makan yang terisi dengan masakan yang baru matang di sudut ruangan.
"Monggo, Mas. Ibu bisanya masak seperti itu, jadi ya ... seadanya saja ya."
"Oh, nggih, Bu. Ini juga udah banyak, jadi merepotkan Ibu. Makasih."
Bersama dengan Pak Bayu, Andi mengambil nasi hangat dari wadah yang terbuat dari anyaman bambu. Orang sini bilangnya ceting. Bu Siti menghidangkan masakan rumahan yang walau sederhana tapi tetap terlihat menggugah selera. Tumis kangkung, tempe kemul, tahu bacem, dan sambal terasi. Apapun yang menjadi lauk makan keluarga ini, kebersamaan selalu menjadi pelengkap. Ketika seluruh anggota keluarga berkumpul, serasa terdapat suasana yang membuat hati tentram. Satu hal lagi, mereka semua tidak makan di atas kursi. Ya, Andi dan keluarga Siska menikmati makan malam di lantai beralaskan karpet cokelat muda dengan motif sulur tumbuhan. Dalam sekejap, Andi merasa telah menyatu dengan keluarga kecil nan bahagia ini.
"Habis ini, mau ngobrol sama Bapak nggak?" celetuk Siska setelah makan malam berakhir. Kini ia telah mengenakan kaos panjang dan celana training lengkap dengan jilbab yang menutupi kepala.
"Kalau bisa ya mau-mau aja. Lagian, mumpung masih di sini," kata Andi menyetujui. Hanya mereka berdua yang masih di ruangan itu, anggota keluarga yang lain telah kembali ke rutinitas mereka masing-masing.
"Tuh dah kusiapin teh sama roti kelapa di depan. Habis ini, kupanggilin Bapak buat nemenin kamu. Tapi, sebentar." Siska mengecilkan volume suara dan mendekatkan wajahnya ke telinga Andi. "Kamu tahu cara mengesankan calon mertua, 'kan?"
Andi terkekeh mendengar perkataan Siska. "Wah, Sis, kamu terlalu ngremehin aku," balasnya dengan tatapan meyakinkan.