Sebenarnya, Andi tak pernah mempermasalahkan hal itu. Mereka menjalani hubungan yang apa adanya dan tidak dibuat-buat. Tentu ia cukup berkomitmen dengan Siska. Namun, ia lebih menganggap semua ini sebagai bagian dari proses kehidupan. Jika takdir tak menyatukan keduanya, apa boleh buat. Tapi, tidak ada salahnya memperjuangkan cinta pertama. Selebihnya, ia tak mau ambil pusing. Hanya itu yang dipikirkan olehnya saat menyeruput teh di ruang tamu, menunggu kedatangan Pak Bayu. Suasana di sekitar rumah cukup ramai dengan banyaknya anak-anak usia sekolah dasar yang lalu-lalang. Masih dengan peci yang tersemat di kepala, biasanya mereka tak langsung pulang selepas mengaji di rumah Pak Kyai setempat. Terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, mereka biasanya menghabiskan waktu bersama dengan bermain petak umpet atau kejar-kejaran, membeli jajanan ringan, sebagian kecil asyik dengan game online, atau hanya sekadar berjalan-jalan berkeliling desa. Andi tak pernah menemukan suasana semacam ini di lingkungan tempat tinggalnya. Alasannya sederhana saja, ia tinggal di komplek perumahan.
Akhirnya Pak Bayu datang juga. Dia juga masih mengenakan peci lengkap dengan baju koko dan sarung, seperti penampilan pak ustad pada umumnya. Mereka tak begitu mengenal satu sama lain, tapi entah kenapa keduanya bisa akrab dalam sekejap. Mungkin karena Andi pandai memulai pembicaraan, atau karena Pak Bayu yang terlalu ramah. Yang jelas, mereka membahas banyak hal satu sama lain. Sama sekali tak terlihat perasaan canggung dari mereka, senyum sumringah Andi menular pada lawan bicaranya itu. Sampai suatu ketika mereka sampai pada suatu topik pembicaraan yang cukup berbobot.
"Pak, begini," kata Andi dengan nada serius. "Aku memang banyak kurangnya. Tapi, kalau buat Siska insyaallah aku niat komitmen. Ya, memang jodoh itu sudah diatur sama Allah. Setidaknya aku udah menyampaikan, selebihnya itu terserah Bapak sama Siska."
Selama beberapa detik, Pak Bayu hanya terdiam. Ia menyeruput tehnya secara perlahan, kemudian meletakkannya kembali. Denting cangkir dan lambar yang terdengar membuat kepercayaan diri Andi tergerus.
"Bapak hargai niat baik kamu, Mas. Kalau saya sendiri nggak akan menuntut apapun dari kamu. Selama Mas Andi bisa menjadi pribadi yang jujur dan bertanggung jawab, saya rasa nggak ada masalah."
Gayung bersambut di malam purnama, Andi tak pernah merasa sesenang itu sebelumnya. Ini memang bukan lamaran pernikahan, tapi seolah-olah ia sudah semakin dekat dengan pelaminan. Kecuali tuntutan pendidikan formal memaksanya untuk menunda rencana besarnya itu. Terkadang sistem yang salah mengarahkanmu ke jalur yang keliru pula. Hanya saja, karena memang begitulah sistem yang ada, jadi semua pemikiran sepakat jika itu merupakan jalan terbaik. Tak apa, alam semesta selalu membawamu ke tempat dan di saat yang tepat.
Azan isya mulai berkumandang.
"Terima kasih banyak atas izinnya, Pak. Pokoknya aku akan berusaha yang terbaik buat Siska. Berhubung sudah isya, sekalian mau pamit sama Ibu, sama Siska juga."
"Oh ya. Kamu parkir di samping mushola, 'kan? Sekalian kita salat berjamaah saja di sana, gimana?"
"Boleh, Pak. Tapi, setelah dari mushola aku mau langsung pulang, nggak mampir ke sini lagi. Jadi, sekalian pamitan, udah malem soalnya."
Sulit rasanya mengakhiri kebersamaan yang manis ini. Kenapa momen indah cepat sekali berakhir? Kenapa kita semua begitu menikmati kebahagiaan hingga melupakan hakikat hidup yang sesungguhnya, yaitu untuk menderita? Ya, manusia begitu serakah menginginkan segalanya. Padahal sejak bermulanya waktu, manusia diciptakan dengan anugerah paling besar yang tidak didapat oleh makhluk-makhluk yang lain, akal dan kehendak bebas. Namun, musuh Tuhan membuat jiwa suci manusia ternodai oleh dengki dan kebencian. Itulah mengapa iman diperlukan sebagai pegangan di sini. Tanpa keyakinan, hidup bak kapal laut yang kehilangan nahkodanya. Hanya mengapung-apung di tengah samudera, menuju ke mana pun arus membawa, bahkan jika itu adalah kumpulan batu karang yang tajam. Baru sehari Andi mengalami hari yang benar-benar buruk, tapi dia sudah kehilangan sesuatu dalam dirinya. Ia pernah merasa begitu optimis akan ambisi baik serta motivasi mencapai tahap kehidupan yang mapan. Namun, sesuatu membalikkan segalanya hari itu.
"Semua kehormatan dan martabat akan menjadi milikmu, masa depanmu telah tertenun dalam untaian takdir ...."
Langkahnya terhenti ketika berada tepat di depan pintu mushola. Iqamah telah dikumandangkan, beberapa jamaah melewati Andi begitu saja dengan sedikit terburu-buru. Tetapi dirinya masih saja mematung. Suara terkutuk itu kembali mengganggu jalan pikirannya. Baru saja ia menikmati malam yang mengesankan bersama dengan keluarga kecil Siska, satu hal baik yang telah dinanti-nanti oleh Andi akhirnya bisa terjadi. Tapi, mengapa ia selalu saja mendapat nasib yang buruk hari itu? Terlalu banyak hal tak masuk akal yang telah ditemui, termasuk yang satu ini. Ya, sudah tidak diragukan lagi. Ini pasti karena pengalaman yang ia dapat semalam. Ia pun hanya tertunduk, meneteskan air wudhu dari rambut lebatnya. Matanya agak terbelalak, menunjukkan emosi yang kian memuncak. Suara itu bisa berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan mental Andi sedikit demi sedikit, tapi yang jelas tekadnya sudah bulat. Sesuatu yang gelap haruslah mendapat perlawanan sengit.
"Tidak."
"Kau akan menarik kembali ucapanmu, Anak Muda."
Sesuatu terjadi pada Andi ketika ia melaksanakan salat isya. Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi tak nyaman. Napasnya kian memburu, jantungnya berdegup kencang, serta keringat dingin mulai membasahi keningnya. Untung saja ia bisa bertahan sampai salam kedua, tanpa menunggu lebih lama lagi ia langsung beranjak tanpa menemui Pak Bayu yang datang ke sana bersamanya juga. Dengan segera ia memakai sepatu, mengenakan helm dan cepat-cepat melangkah menuju motornya. Beberapa saat kemudian, ia telah meninggalkan desa kediaman kekasihnya itu. Sepanjang perjalanan, yang ia rasakan hanyalah beban yang luar biasa berat yang sedang menghimpit tulang iganya. Suhu tubuhnya meningkat, kemampuan untuk tetap fokus pada jalanan berkurang. Sampai ketika ia keluar dari jalan raya dan menuju jalan yang lebih kecil, gelap, dan sepi, kecelakaan tunggal terjadi.
Ia terjatuh ke sisi kanan. Motornya terseret sejauh beberapa meter, begitu pula dengan tubuhnya. Lengan sweeter-nya terkoyak oleh kerikil yang terbawa arus hujan. Kaca helm membentur kerasnya aspal hingga pecah. Aliran air berubah menjadi merah terkena darah dari telapak tangan Andi yang tergores bebatuan tajam. Pada akhirnya, tubuh Andi berakhir terkapar melintang di tengah jalanan yang masih basah. Untuk sesaat dirinya terdiam, berusaha mencerna apa yang telah terjadi. Matanya menatap angkasa, lalu tiba-tiba saja suasana berubah. Ia mendapati sesuatu yang menakjubkan. Cahaya kemerahan yang hangat, namun perlahan berubah semakin cerah dan terang. Seketika ia teringat akan semua kesalahannya di masa lalu, bahwa ia belum bisa menjadi dekat dengan Sang Pencipta sepenuhnya. Ketika wajahnya dihantam angin lembut yang berasal dari sepasang sayap di angkasa, yang ia pikirkan saat itu adalah, "Aku akan mati."
Andi salah besar. Seketika cahaya itu menghilang ketika sorot cahaya yang lain menghampiri dari samping tubuhnya. Tanpa sadar, ternyata beberapa pengendara lain telah berhenti di sekitarnya. Seorang pria setengah baya mendatanginya dengan perasaan setengah panik.
"Mas? Mas? Bisa denger suara saya?"
Diikuti dengan wanita muda, sepasang pasutri, pemuda usia kepala dua, dan yang lainnya. Mereka semua terlihat begitu cemas karena Andi sudah kehilangan kesadarannya.
Apakah cerita ini menarik? Tambahkan ke koleksi. Jika sebaliknya, tuliskan pemikiran pembaca sekalian di kolom komentar. Suara kalian sangat berarti bagiku.