Bella melangkahkan kakinya mendekati jendela kamar yang terbuka, tampak Vincent di bawah sana sedang berenang di kolam yang jernih airnya. Ia merenung, 'Apakah ini tugas sekretaris jika sedang mendampingi bosnya keluar kota?' Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Beberapa hari yang lalu Ia mengajukan resign tetapi sampai sekarang surat pengajuan itu belum ada kepastian. Anehnya, Ia justru dipindahkan ke kantor CEO.
Melihat Vincent telah menyudahi acara berenangnya, Bella menyiapkan pakaian ganti di kamar, setelan kemeja, celana kain, dan jas seperti biasa. Ia juga memanaskan air jika nanti Vincent tiba-tiba menginginkan air hangat.
"Terima kasih, baru kali ini saya lihat Kau baik sekali," ujar Vincent mengetahui pakaiannya sudah disiapkan Bella.
"Bukankah itu tugas sekretaris, Pak?'
"Oh, jadi Kau sudah menerima posisimu dengan sukarela?"
"Maksud Bapak?"
"Hmm, tidak."
"Anda menginginkan kopi?"
"Tidak, saya sudah punya anggur merah yang jauh lebih segar dari pada kopimu," sahut Vincent.
Bella menggelengkan kepala mendengar ucapan VIncent. Mendampingi Vincent adalah hal baru baginya, meskipun Ia enggan menjalani posisinya sebagai sekretaris lelaki itu, tetapi Bella tidak bisa memungkiri bahwa banyak pelajaran yang bisa Ia ambil. Ia membenci Vincent karena lelaki itu sangat jelas tidak berakhlak, tetapi prestasi dan kegigihan lelaki itu patut diacungi jempol.
Bella berkutat dengan catatan harian dan laporan perjalanan Vincent, lelaki itu mandi dengan cepat dan segera mengenakan baju yang telah Bella siapkan tadi. Tanpa berlama-lama, Ia menenggak anggur di kulkas langsung dengan botolnya. Kira-kira lima kali tegukan anggur itu sudah berkurang dua pertiga.
"Pak, Anda bisa mabuk jika seperti itu!" pekik Bella.
"Biarlah, biarkan aku bersenang-senang sejenak Bella."
"Tidak, Anda harus berdiskusi dengan saya tentang hasil kunjungan hari ini, kalau Anda mabuk, bagaimana proyek perusahaan bisa segera selesai?"
Ucapan Bella tidak digubris sama sekali oleh Vincent, bahkan sampai Bella menarik botolnya dan menyingkirkannya ke ranjang sampah luar kamar.
"Ternyata lelaki hidung belang ini hobi mabuk juga," gerutu gadis itu.
Vincent bersendawa, membuat Bella menjadi semakin jijik. Gadis itu sangat terganggu dan aktivitasnya mengerjakan laporan terhenti. Beberapa saat kemudian Vincent mulai meracau. Apapun yang ada di kepalanya saat ini keluar melalui mulut, Vincent benar-benar seperti orang gila.
"Katakan padaku kalau negeri dongeng itu lebih layak daripada kekayaan ayahku yang laknat."
"Sebentar lagi aku akan bebas. Aku akan melepaskan Muktiningjaya dari namaku."
"Nama sialan."
"Hufffh."
"Hidup ini untuk apa, sih? Hidup ini harta, tahta, dan Bellaaa," racauan Vincent membuat Bella terbelalak.
"Bella, aku menginginkanmu."
"Aku sudah lama mendambakanmu. Kau wanita cantik dan nakal." Vincent berjalan sempoyongan.
"Tidak! Anda sedang mabuk, Pak!" seru Bella. Gadis itu merasa takut dan menghindar.
"Aku mencintaimu, Bella. Aku sudah bosan bercinta dengan wanita di luaran sana. Aku ingin bercinta denganmu, Istriku," racau Vincent.
"Apa? Istrimu?!!!"
Bella bergidik ngeri mendengar racauan Vincent. Tidak mungkin Ia menjadi istri lelaki itu. Jangan-jangan selama ini apa yang Vincent ekspekstasikan tentang dirinya adalah seorang istri baginya, tidak bisa! Tetapi biasanya ucapan seseorang yang sedang mabuk adalah suara hati yang terdalam. Orang bisa jujur dan mengungkapkan rahasia apa saja jika sedang mabuk.
Bella menggelengkan kepala memikirkan itu semua. Ini bahaya, dirinya bisa terancam jika masih berada di ruangan yang sama dengan Vincent. Bella dengan secepat kilat membuka pintu dan melarikan diri. Napasnya terengah lega ketika mendapati lift, untung saja gerakan tangannya sigap untuk mengunci pintu kamar dari luar.
Handphone ada di sakunya, Ia menelpon Alanis. Gadis itu menggerutu ketika satu-satunya teman dekatnya di kost tidak bisa dihubungi. Bella menghela napas, mungkin Ia bisa meminta bantuan Chelsea, tetapi Ia merasa tidak etis jika membuka kebobrokan CEO-nya di depan sesama pegawainya.
Gadis itu hanya bisa mondar mandir di taman hotel ataupun area kolam renang, hari sudah mulai sore, matahari sudah kembali menguning. Ia melangkahkan kakinya ke kamar, berharap lelaki itu sudah siuman dari mabuknya.
"Aku ingin pergi, aku ingin pergi," racau Vincent terdengar dari luar. Mungkinkah Vincent sudah sadar dan Ia merasa terkunci di dalam kamar? Bella tidak yakin.
Bella melihat dengan gamblang bahwa Vincent sejatinya hanyalah anak yang hidupnya penuh dengan tekanan yang lahir dari orang kaya raya. Ia menyangkal tekanan demi tekanan dan melampiaskannya di luar rumah dengan mabuk-mabukkan dan seks bebas.
Setiap orang memiliki pagar penghalang di hidupnya, mungkin itulah pembatas VIncent yang tidak banyak orang mengetahuinya. Hampir semua orang yang melihat Vincent mengetahui lelaki itu adalah simbol keberuntungan. Ia lahir dan tumbuh dengan baik tak ada cacat sedikitpun. Impian setiap orang. Tetapi hari ini Bella melihat kembali betapa rapuhnya Vincent sebenarnya.
"Permisi Ibu, mohon maaf, apakah Ibu tamu di hotel ini?" seseorang menghampirinya.
"Iya, saya bersama Bapak Vincent," tanggap Bella.
"Oh, baik kalau begitu, maaf mengganggu. Selamat menikmati liburan, Bu," ujar perempuan itu sebelum berlenggang pergi.
Bella mendesah sebal, mungkin staf hotel itu mengira dirinya adalah gembel yang menumpang di rest area. Ini semua gara-gara Vincent yang tidak tahu diri.
Seseorang menelpon. Lelaki itu, lelaki yang Bella kagumi diam-diam tanpa bisa diharapkan, membuat gadis itu menghela napas menyingkirkan rasa gugupnya.
"Hallo, Aron," sapa Bella.
"Hai Arabella. Maaf tiba-tiba nelpon, boleh ngobrol sebentar?" sapa lelaki di seberang sana dengan lembut.
"Boleh-boleh, ada apa?" tanggap Bella.
"Sebenarnya tidak ada apa-apa, cuma heran saja hari ini Kau tidak update di medsosmu," jawab Aron.
Bella mengerjapkan mata menyadari ada sesuatu, lelaki itu tiba-tiba memedulikannya.
"Oh, aku sedang kunjungan kerja di Palangkaraya. Jadi nggak sempat update," ujar Bella.
"Lagi sibuk ya? Kalau gitu good luck kerjanya. Maaf ngganggu," ujar Aron.
"Enggak, ini lagi longgar jadwalnya," tanggap Bella.
Obrolan basa-basi bersama Aron sedikit mengisi kekosongan Bella yang sudah seperti kehilangan arah. Ia tidak bisa berbuat banyak karena tidak ada sesuatu yang bisa Ia kerjakan di luar pekerjaan kantornya. Sementara laptopnya berada di kamar bersama dengan bosnya yang sedang mabuk parah.
"Kau belum tidur jam segini?"
"Belum," Bella menjawabnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Bertelepon dengan lelaki asing itu selama hampir satu setengah jam cukup membuat Bella lega. Gadis itu kembali ke lantai di mana kamarnya bersama Vincent berada. Tak ada suara dari luar, Bella membuka pintu perlahan. Pemabuk itu sudah tertidur. Bella menghela napas lega.
"Siapa yang menelponmu tadi malam?" tanya Vincent.
"Oh, mm, teman sekolah, Pak," jawab Bella spontan.
"Kau selalu canggung dengan setiap orang?" tanya Vincent.
Bella mengernyit, Ia merasa Vincent tahu bahwa dirinya sedang berbohong.
"Tidak. Tadi malam yang nelpon bukan teman akrab, hanya kebetulan kenal saja," ujar Bella. Vincent mengangguk-angguk tanpa melepaskan pandangannya dari Bella.
***