"Kapan Kau mengagendakan pertemuan untuk berkenalan dengan Primadona, Nak? Kau sudah cukup umur. Keterampilanmu mengelola perusahaan juga sudah bisa diakui kebolehannya," ucap Ibu.
Vincent terlonjak mendengarnya. Ia tidak bisa membantah apalagi menolak apa yang sudah Ibu ucapkan. Putra harapan yang dielu-elukan keluarga besar itu sudah dijodohkan dengan Primadona, tanpa pembicaraan sama sekali dengannya, tak peduli lelaki itu akan menyukai perempuan tersebut atau tidak. Yang terpenting adalah misi bisnis keluarga besar tercapai.
"Ibu, bisa tanyakan pada Primadona kapan Ia memiliki waktu luang?" tanggap Vincent.
"Baiklah. Keluarganya pasti juga sudah menunggumu," ujar Ibu.
Vincent berpikir apakah keluarga Primadona memikirkan anaknya atau justru sama saja seperti keluarganya, lebih mengutamakan misi bisnis keluarga dan menggunakan perjodohan sebagai jalan bisnis. Alangkah sedihnya jika perempuan itu ternyata tidak menyukai perjodohan ini, Ia pasti sedang cemas.
Vincent beranjak dari ruang tengah ketika Ibu sudah kembali ke kamarnya, tangannya menyambar kontak mobil kesayangannya. Ketika otak dan hatinya dijejali dengan tuntutan demi tuntutan yang membuatnya semakin remuk, hanya teman dan alkoohol lah yang Ia cari. Jemari Vincent menggenggam erat kemudi mobil hingga memutih, rahangnya mengeras, tatapannya tajam ke depan. Ia benar-benar merasa seperti di neraka.
Di ruangan yang sama hampir setiap malamnya, sudah ada tiga temannya dan beberapa perempuan penghibur termasuk Geisha dan Lexa, favoritnya. Tanpa berbasa-basi Ia menenggak satu botol wine di meja dan mengabaikan tatapan semua makhluk hidup di situ.
"Bagaimana perjalananmu dua bulan keliling Asia, Vin? Kudengar Kau juga sempat melakukan perjalanan ke Palangkaraya dengan anak itu," ucap Gerry. Vincent hanya mengangkat tangan terbuka dan menunjukkan telapaknya, tanda Ia tidak mau ditanya.
"Akhir-akhir ini Kau bekerja dengan sangat keras, Vin," ucap Farell.
"Iya, Kau sangat ambisius untuk menjadi orang kaya," sambung Tommy.
"Hei, aku sudah kaya!" sahut Vincent tidak terima.
Farell dan Tommy tertawa mendengar temannya ngotot tidak jelas.
"Lalu apa yang Kau kejar?"
"Oh, aku tahu. Pasti anak ingusan itu. Ngomong-ngomong Kau suka padanya, Vin?" ucap Geisha.
Vincent tidak menjawab sepatah katapun pertanyaan Geisha.
"Take off your clothes, Slut!"
Jari telunjuk Vincent membuat Geisha terkejut, perempuan itu mengerutkan dahi sebelum akhirnya menanggalkan gaunnya di tempat itu juga. Sungguh pemandangan yang biasa bagi Vincent ataupun ketiga temannya apabila mereka sedang berkumpul. Geisha melangkahkan kakinya dan duduk di pangkuan Vincent hanya menggunakan setelan bra dan celana dalam warna merah plum senada. Jika sudah seperti ini, mereka tahu apa yang diinginkan Vincent, lelaki itu menggendong Geisha ke kamar yang tersedia di ruang VVIP. Ia tidak peduli dengan tawa-tawa kecil yang lain.
Sembari mengecup tengkuk perempuan itu, Vincent membisikkan sesuatu yang membuat Geisha merinding, "Kau tahu apa yang kuinginkan."
Jemari lentik dengan warna merah menyala di kuku-kukunya bergerak menyusuri kemeja Vincent, membuka kancingnya, dan menyingkirkan helaian itu lalu melemparkannya ke sisi ranjang. Ujung kuku menyentuh dengan lembut dada bidang lelaki itu sambil sesekali mengecupnya. Vincent menghela nafas meresapi apa yang Geisha lakukan pada tubuhnya, perempuan itu cukup terampil untuk membangkitkan gairah lelaki-lelaki di tangannya, termasuk Vincent.
"Kau terlalu lama, Sayang," geram Vincent.
Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah menindih makhluk yang bersamanya. Suara khas dentingan ujung gesper Vincent membuat perempuan itu dengan gesit membantunya membuka resleting dan membelai apa yang ada di dalamnya.
Berbanding terbalik dengan gerakan Geisha yang pelan dan penuh sensual, Vincent justru menggertakkan gigi dan dengan kasar menarik dua helai pakaian yang masih tersisa di tubuh Geisha. Perempuan itu kini utuh menjadi santapan malam Vincent.
"Aku ingin kekasaran malam ini," desis Vincent. Naluri hewan buasnya menggeram menguasai ruangan kecil di antara dua insan.
Geisha memejamkan mata ketika Ia tak kuasa menghadapi lelaki di depannya. Tubuhnya hanya bisa pasrah di bawah kungkungan otot kekar Vincent, sekeras apapun Ia memberontak hanyalah sia-sia yang Ia dapatkan.
"Tenanglah, Vin. Aku tidak akan ke mana-mana," ucap Geisha mencoba menghentikan Vincent, lelaki itu bisa membunuhnya dengan binal. Tetapi Vincent menulikan telinganya seolah tak ada suara apapun dari perempuan di bawahnya.
Sebenarnya Geisha pun sadar jika apa yang dilakukan Vincent hanyalah pelampiasan emosi semata. Tetapi Ia tidak bisa menolak, Ia masih ingin hidup lebih lama lagi sedangkan sebagian hidupnya kini ada di tangan lelaki itu. Gerakan Vincent semakin membrutal, helai-helai rambut Geisha di tangannya menjadi bukti nyata bahwa lelaki itu benar-benar melakukannya dengan sangat kasar.
"Vin, sakit Vin. Kumohon," isak Geisha.
"Vincent, kumohon berhentilah."
Vincent tak peduli dengan rintihan dan isak tangis perempuan di bawahnya.
"Katakan padaku, siapa kamu?" geram Vincent.
"Aku Geisha, aku Geisha. Aku pelacurmu," jawab Geisha dengan lirih. Rintihan kesakitan dari mulut perempuan itu terus memenuhi ruangan, membungkam desah erotis dari tenggorokan Vincent.
Air mata dan peluh membasahi hamparan spring bed kecil, Vincent melihat perempuannya menangis. Tangannya pun bergerak merangkul perempuan itu, tetapi dengan gerakan pedas Geisha justru menepiskannya.
"Bicaralah, Vincent. Hubungan badan bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahmu," lirih Geisha.
Bibir Vincent bergetar, Ia menyimpan banyak rasa tetapi kata adalah hal yang sangat berat untuk keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu bagaimana caranya bercerita, Ia tidak tahu bagaimana caranya bicara, karena sejauh ini yang Ia dapatkan hanyalah rasa kecewa buah dari pengabaian. Vincent dituntut untuk menjadi sempurna tanpa Ia bisa menolak sedikitpun.
Detik demi detik berlalu dalam diam. Tak ada yang angkat suara di kamar sempit itu, malam semakin larut dan pagi mulai menyapa. Geisha tertidur dalam tangisnya sementara Vincent terjaga bersama keputus asaannya.
"Bella, tolong antarkan barang-barang ini besok ke alamat ini," chat Vincent dengan melampirkan foto berkas di mejanya yang Ia ambil kemarin. Kemudian lokasi sebuah tempat makan bersama lampiran google map.
"Restoran Jepang, Pak?" tak selang satu menit terlihat balasan dari Bella.
"Detail ruang dan mejanya saya kabarkan besok, ya," balas Vincent tak peduli dengan pertanyaan gadis itu.
Vincent menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya, Ia menggeleng ketika berpikir bahwa dirinya memiliki kecenderungan melampiaskan amarah dan rasa sedih kepada sex. Pedih rasanya ketika Ia menyadari hal itu memang nyata ada pada dirinya.
Melihat foto profil gadis itu di WhatsApp, Vincent langsung bergeleng memejamkan mata. Ia hampir saja membayangkan gadis itu untuk … ah, Vincent memang menyukainya. Tetapi dinding status hubungan mereka menyelamatkan gadis itu dari aksi gila Vincent. Seandainya mereka bukan kenal di kantor perusahaannya, mungkin gadis itu bukan sekretaris tetapi aset yang dimiliki Vincent.
Tidak. Gadis itu terlalu berbahaya, apa yang tidak Ia kehendaki bisa hancur di tangannya. Itulah yang Vincent ingat dari peristiwa perang dingin di media sosial waktu itu. Mengherankannya, hingga kini belum terungkap bagaimana proses kasus tersebut lenyap begitu saja. Apakah Bella adalah seorang hacker? Vincent tertawa. Tidak mungkin. Ia hanya takut berlebihan dan menduga-duga hal yang mustahil.
***