webnovel

#Pembuntut #037

Rencana Adiwangsa sukses. Semua orang berhasil keluar dengan selamat dan kini berada di dalam mobil arah pulang. Adiwangsa dan Mark duduk di depan, sementara Haidee, Hongli, dan Carl menumpuk di kursi belakang.

Mobil melaju dengan kecepatan yang menggila. Sekali lagi Mark berhasil memanfaatkan situasi untuk hobi yang selama beberapa bulan ini sudah ia tahan. Keselamatan Hongli adalah prioritas dan kalimat itu dimanfaatkannya sebagai alasan.

Setelah ini pun mereka tidak bisa menggunakan mobil Mark lagi. Mereka harus berganti kendaraan karena polisi lalu lintas pasti telah menandai dan menjadikannya target karena beberapa kali terekam CCTV jalan melaju dengan kecepatan di atas normal, melanggar rambu-rambu lalu lintas.

"Ada yang membuntuti." Mark berkata setelah mobil silver di belakangnya tetap mengikuti meski mereka telah melewati dua belokan.

Adiwangsa melirik dari spion sementara Haidee dan Carl menoleh ke belakang untuk memastikan. Hongli hanya diam saja di tempatnya, napasnya terasa semakin berat. Jangankan ikut menoleh, menggerakkan tubuhnya saja ia sudah tidak kuat.

"Orang itu mungkin Adiraja." Firasat Adiwangsa mengatakan dengan yakin bahwa orang yang mengikuti mereka adalah adiknya.

Meski tidak ingin percaya, Adiwangsa tetap memikirkan semua kalimat Arata. Tidak apa-apa, ia jadi memiliki kesempatan untuk bertanya, untuk menuntut penjelasan.

"Kenapa adikmu bisa mengikuti kita?" Haidee yang menangkap gelagat mencurigakan pada diri Adiwangsa sejak berada di gudang bertanya.

Adiwangsa tidak menjawab. Ia diam bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi karena tidak ingin mengatakannya. Belum saatnya untuk menjelaskan.

Alasan Adiraja mengikuti mereka tentu saja untuk membunuh Haidee. Semua yang Arata katakan bisa jadi benar. Adiraja bukan baru datang dan membuntut. Kemungkinan adiknya sudah berada di sekitar gedung sejak Kun dan Lukas menyusup ke dalam gudang. Setelah membuat Kun dan Lukas salah paham, Adiraja perlu memastikan secara langsung kedua orang itu berhasil membunuh Haidee.

Adiraja memilih membunuh Haidee hari ini karena Haidee dan kakaknya bergerak terpisah. Adiraja harus membunuh Haidee tapi tidak ingin melibatkan kakaknya, tidak ingin kakaknya ikut dalam bahaya. Seandainya Arata Baswara tidak mengatakan kecurigaannya pada Adiwangsa, rencana adiknya pasti akan berjalan dengan sempurna.

Pria itu benar-benar licik. Meminjam tangannya untuk menghadapi adiknya sekaligus melindungi Objek.

Sebenarnya penyergap yang Adiwangsa jadikan alasan agar Mark tetap menunggu di dalam mobil adalah adiknya.

Jika semua yang Arata Baswara katakan mengenai adiknya benar, jika semua tuduhan itu bukan sekadar omong kosong, Adiraja pasti akan muncul. Pertama, untuk memastikan keberhasilan Kun dan Lukas. Kedua, untuk turun tangan sendiri ketika rencananya gagal.

Adiwangsa telah membuktikan kalau kata-kata dan tuduhan Arata pada adiknya benar. Adiknya benar-benar muncul seperti prediksinya, adiknya benar-benar berencana membunuh Haidee.

Menghadapi kenyataan yang ada di depan matanya, Adiwangsa merasakan sakit yang entah di mana. Ia tidak menyangka, kecewa, merasa dikhianati, dan demi 1000 kata yang bisa menggambarkan bagaimana situasinya, Adiwangsa sungguh ingin menolak untuk percaya. Menolak untuk mengakui kebenaran.

Adiraja adalah seorang petugas panutan, berprestasi, anggota tim elite, selalu berada dekat dengan ibu. Jadi, apa yang membuatnya tidak puas? Apa alasannya? Siapa yang sudah mencuci otaknya sampai harus mengambil jalan yang salah? Apa yang mempengaruhi pikirannya sehingga meninggalkan pekerjaannya yang menjanjikan dan datang ke N Island untuk menjadi seorang pembunuh?

"Aku tidak sekali pun pernah meninggalkan Kakak, Kakak yang meninggalkanku."

"Aku akan selalu di pihak Kakak. Aku akan membantu Kakak menyelesaikannya."

Adiwangsa teringat kata-kata adiknya. Ia merangkai semua, memikirkan segalanya dengan begitu Adiwangsa bisa tahu alasan adiknya.

"Turunkan aku di depan!" Adiwangsa berkata kepada Mark. "Kalian fokus saja mengobati Hongli. Anak itu sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, darah yang keluar sudah terlalu banyak. Aku akan menyelesaikan urusanku sendiri."

Mark mengangguk tanpa bertanya. Prioritasnya memang Hongli.

Adiwangsa diturunkan di tempat yang sama seperti saat Adiraja menunggunya ketika mengunjungi di tempat tinggalnya untuk pertama kalinya.

Kendaraan mereka terpisah sedikit jauh karena kendaraan Adiraja tertahan oleh kereta yang lewat. Palang kereta baru akan menutup ketika Mark menginjak gas dalam-dalam dan menerobos rel.

Mobil silver yang Adiwangsa tunggu-tunggu telah terlihat. Adiwangsa butuh ruang untuk berbicara berdua dengan adiknya, tapi Haidee tidak memberi ruang seperti keinginannya.

Haidee berjalan ke arah Adiwangsa. Ia tidak terlalu mengerti masalah medis, jadi kehadiran Mark dan Carl sudah cukup untuk mengobati Hongli. Haidee telah mengendus sesuatu yang tidak beres pada diri Adiwangsa. Jadi, ia bersumpah untuk mencari tahu sampai ke akar-akarnya. Ia tidak ingin ada rencananya yang gagal dikemudian hari.

"Sedang apa kamu di sini?!" Adiwangsa bertanya dengan defensif. "Tidak ikut berkumpul mengobati Hongli? Walau tidak ada yang bisa kamu lakukan, minimal kamu bisa berdoa untuknya."

Haidee yang memungut kerikil entah dari mana, melemparnya ke udara kemudian menangkapnya kembali. Ia tertawa sengit mendengar sarkasme Adiwangsa.

"Untuk Hongli, keberadaan Mark dan Carl sudah cukup," jawab Haidee. "Yang juga penting adalah aku mengendus aroma mencurigakan dari tingkahmu." Haidee masih memainkan lempar tangkap kerikil yang ada di tangan.

"Dasar bodoh!" celetuk Adiwangsa.

"Bodoh?!" Haidee yang tidak terima melemparkan kerikil yang ada di tangannya ke arah Adiwangsa. Ia berharap ada satu di antara lima kerikil yang ia lempar mengenai mata pria itu dan membuatnya buta seketika.

Emosi Haidee masih sama seperti tiga tahun lalu. Setelah tahun demi tahun berlalu, Adiwangsa pikir Haidee telah berubah sepenuhnya, tapi tampaknya hanya usianya saja yang semakin tua.

Disebut bodoh tidak sepenuhnya salah. Meski tidak mengetahui kebenarannya, Adiraja adalah orang yang berencana membunuh Haidee, tapi bukannya menghindar Haidee justru ikut mendekat ke arah orang yang berencana membunuhnya.

"Kalau bukan bodoh apa? Kamu takut kehilangan aku karena berpikir aku akan berkhianat." Adiwangsa berkata seolah dia adalah segala-galanya, seolah pusat dunia.

Haidee sungguh ingin mematahkan hidung Adiwangsa yang jemawa itu. Ia berencana benar-benar melakukannya kalau saja Adiraja tidak berdiri di depan mereka dan mengawasi dengan mata penuh kebencian.

"Aku benar-benar merasa iri," kata Adiraja. Ia memarkirkan mobil pinjamannya di tepi jalan.

"Ibu menyuruhmu menghubunginya saat kita bertemu." Adiwangsa memulai dengan basa-basi. "Ibu benar-benar marah. Separuhnya menyalahkanku, separuhnya lagi memakimu."

Adiraja tersenyum. Mengomel dan menyalahkan orang lain memang khas ibunya, khas orang dewasa. Ah! Ia lupa kalau sekarang ia juga telah tumbuh dan menjadi dewasa. Waktu begitu cepat berlalu. Mengambil hari-harinya, mengambil kakaknya.

"Setelah tahu aku tidak ke sini karena perintah Ibu, Kakak percaya kalau aku selalu berada di pihak Kakak?"

"Jadi benar-benar karena aku?" Ekspresi Adiwangsa berubah total. Pembicaraan mulai memasuki pembahasan serius. Ia kembali merasa sakit. Ditatap mata adiknya lekat-lekat, seolah dengan melakukan itu ada jawaban yang memuaskan hatinya terdengar.

Adiraja kembali tersenyum. Senyum yang berbeda, senyum yang menunjukkan bagian dari dirinya yang licik. Ia yakin perbuatannya telah diketahui oleh kakaknya. Kalau tidak kakaknya tidak akan menunggunya di luar. Kalau tidak, kakaknya tidak akan terlihat kesakitan.

"Apa berkumpul lagi seperti dulu tidak cukup baik?" Adiraja balik menatap kakaknya.

"Kamu tahu aku pergi dari rumah karena mencari sesuatu."

"Kalau masih mencari, Kakak tidak akan bergabung dengan mereka!" Adiraja berteriak. Ia merasa marah karena Kakaknya terus membohongi diri sendiri. Terus-menerus menghubungkan segala hal dengan kematian ayah. "Kakak tidak suka bekerja dengan orang lain, Kakak tidak suka orang-orang ceroboh dan bodoh, Kakak tidak suka diganggu, Kakak tidak suka keramaian, Kakak tidak suka aroma kopi!"

Jeritan suara Adiraja membelah jalan dan sekeliling mereka yang sepi. Teriakannya bahkan mungkin bisa terdengar sampai pemukiman terdekat.

"Bukankah Kakak harusnya tetap sama seperti Kakak yang sebelumnya kukenal?" Suara Adiraja berubah lembut.

Adiwangsa tidak menjawab, tidak tahu jawabannya. Bukankah setiap orang berubah, bukankah segala hal berubah. Meski tidak ingin ia tetap saja berubah seperti yang hukum alam tetapkan.

"Karena Kakak tidak bisa melepaskan masalah Objek 011, maka aku yang harus turun tangan." Adiraja berkata dengan bangga. Seolah ia adalah malaikat penolong yang baik hati. "Jika penelitinya mati, Objek 011 mati, pencetus idenya mati, tentu saja penelitian tidak mungkin dilanjutkan. Misi Kakak akan tuntas untuk selama-lamanya."

Haidee mengerutkan keningnya. Ia mulai mengerti ke mana arah pembicaraan, mulai mengerti apa yang sedang terjadi, mulai bisa mencium dengan jelas aroma kecurigaan yang Adiwangsa sembunyikan. Perdebatan mereka bukan lagi sekadar pertengkaran adik-kakak.

Haidee adalah orang yang juga menjadi target, jadi harusnya ia juga tahu. Harusnya Adiwangsa tidak menyembunyikan hal sepenting ini darinya. Harusnya ia juga diberitahu mengenai keterlibatan Adiraja dalam bunuh diri Profesor.

Tidak terima dirinya dijadikan kambing hitam atas kasus yang menimpa Profesor, juga karena hidupnya terancam, Haidee maju dengan langkah cepat dan menyerang Adiraja.

Adiwangsa tahu hal ini akan terjadi. Tahu Haidee akan mengacaukan situasi dengan emosinya yang tidak bisa dikendalikan. Meski tahu, Adiwangsa tetap terlambat menahan serangan anak itu. Haidee memang telah menjadi lebih kuat dibanding tiga tahun lalu, tapi adiknya adalah salah satu pasukan dari tim elite. Perbedaan kekuatan mereka jelas jauh berbeda.

***

Sementara itu, yang terjadi di dalam tempat persembunyian, salah satu dari tiga orang yang berada di dalam rumah mengeluarkan pistol. Ia melakukannya saat dua yang lainnya lengah. Tidak lupa ia memasang peredam suara pada moncong senjatanya agar aksinya tidak menarik perhatian orang-orang yang berada di luar. Agar rencana berhasil tanpa masalah.

Tanpa ragu, ia mulai melepaskan tembakan.

###

Próximo capítulo