webnovel

#Penghianat #038

Pertarungan Haidee dan Adiraja berlangsung dengan cepat. Seperti dugaan Adiwangsa, perbedaan kekuatan di antara keduanya terlalu mencolok. Adiraja baru saja menendang Haidee tepat di ulu hatinya. Haidee tidak sampai terjungkal karena memfokuskan kekuatan pada pijakannya. Meski tidak sampai terjungkal, tapi sebelah lututnya membentur tanah.

Tidak juga menyerah meski telah dua kali terkena tendangan, Haidee berencana bangkit dan menyerang lagi tapi Adiraja berlaku culas dengan menarik pistol yang disembunyikan di belakang punggungnya.

Adiraja menodongkan moncong pistolnya di depan wajah Haidee. "Aku tidak ingin membuang-buang waktu. Ini akan berakhir dengan cepat."

"Tidak akan kubiarkan!" Adiwangsa menatap tajam ke arah adiknya. Ia berdiri di depan Haidee, menjadi perisai.

"Aku melakukan semua ini untuk Kakak! Kakak tidak mau mendukungku? Kakak memilih berdiri di pihaknya?!" Adiraja tahu persis kalau kakaknya tidak akan pernah setuju dengan cara yang ia pilih. Meski begitu tetap ia lakukan, demi kakaknya, demi keluarganya.

"Aku tidak meminta ini, tidak memintamu melakukan apa pun! Harapan terbesarku agar kamu mendukungku menemukan kebenaran, agar ibu menceritakan segala hal tentang ayah. Kamu benar-benar tidak mengerti itu? Bukankah kamu bilang kamu yang paling mengenalku?"

Adiraja akan menarik pelatuknya, tapi belum niatnya terlaksana, seseorang dari arah lain menembak dua kali. Tembakan pertama digunakan untuk melumpuhkan senjata yang Adiraja bawa, yang disasar adalah bagian tangan, pistolnya terlempar. Tembakan kedua melumpuhkan gerakan, sasarannya adalah kaki.

"Bukan hanya Adiwangsa yang tidak akan membiarkan Haidee mati, aku juga." Mark berkata masih dengan mengacungkan senjatanya.

Adiwangsa yang dapat lebih cepat membaca situasi, berencana melompat untuk mengambil senjata adiknya yang terlempar, tapi gerakannya ternyata mampu dibaca oleh Mark. Sebuah tembakan peringatan mendarat di dekat kaki Adiwangsa.

Adiraja tidak akan melepaskan tembakan karena Adiwangsa ada di depannya. Sebelumnya ia menarik pelatuk untuk membidik orang lain. Adiwangsa tahu itu, sayangnya Mark juga tahu sehingga melepaskan tembakan lebih dulu.

"Jangan membuat gerakan yang mencurigakan, atau aku tidak akan segan lagi!" Mark memberi peringatan terakhir.

"Apa maksudnya?!" Haidee menuntut penjelasan.

"Sorry, Bro aku keluar dari tim." Mark berkata tanpa menunjukkan penyesalan atau pun rasa malu karena telah mengkhianati teman-teman seperjuangannya. "Sejak awal aku adalah orang yang akan bekerja jika dibayar, tentu saja aku akan berpindah posisi jika ada yang menawarkan uang dalam jumlah besar."

"Sejak kapan?" tanya Haidee lagi dengan suara datar.

"Dua hari sebelum kamu kembali. Sepertinya keberadaanku terlalu men..." Mark terdiam sendiri sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Ah, di antara kita berlima mungkin ada seorang penghianat lagi, dan orang itu yang menjual identitasku. Karena jika dibanding dengan sniper dan hacker, harusnya keberadaanku tidak terlalu menarik perhatian."

Mark benar. Agar tidak begitu menarik perhatian, Haidee mengatur keberangkatan dalam waktu yang berbeda dan masuk dari kota yang berbeda juga. Harusnya keberadaan mereka tidak menarik perhatian. Haidee bahkan membuat peraturan tambahan bagi Mark dan Carl agar tidak membuat masalah sebelum hari yang ditentukan tiba.

"Jadi selama ini aku telah mempercayakan hidupku pada beberapa orang pengkhianat." Haidee menatap marah.

Bagi Haidee tiga tahun adalah waktu yang sangat lama. Ia pikir dirinya telah cukup kuat, sudah cukup membuat persiapan. Ia pikir roda keberuntungan akan memihak padanya, akan ada hal baik yang akan didapat. Nyatanya, pengkhianatan kembali terulang.

Sepuluh tahun lalu, Haidee ditinggalkan oleh pengurus panti yang sudah ia anggap sebagai keluarganya, dikhianati oleh orang yang berkuasa di negaranya. Setelah berpikir akhirnya mendapat teman seperjuangan dari Negara lain, ia dikhianati lagi. Padahal telah banyak yang mereka lalui, saling membantu, berutang nyawa, tapi tetap saja uang mampu meluluh lantahkan semua utang budi.

"Jangan terlalu kecewa, hidup memang kejam!" Adiwangsa menepuk bahu Haidee. "Paling tidak penilaianku terhadap mereka tepat. Mereka semua memang sudah waktunya diganti."

Mark tersenyum. Padahal keadaan sudah mendesak, tapi Adiwangsa masih saja menyombong.

"Karena kamu adalah pengkhianatnya beberapa hal jadi masuk akal." Adiwangsa masih berbicara dengan sombong. "Pertama, alasan kenapa kamu selalu membuntutiku. Kedua, kenapa rencana menangkap Moissani Sekai bisa gagal. Jadi, aku mulai bertanya-tanya untuk siapa sebenarnya kamu bekerja. Selama ini orang yang selalu kami waspadai adalah Arata Baswara, karena dialah otak proyek Rekayasa Emosi Manusia."

"Kemampuan seorang Adiwangsa memang patut disegani," puji Mark dengan lidah ularnya. "Pantas saja aku ditugaskan khusus untuk mengawasimu."

"Tapi jelas orang yang berada di belakangmu bukan Arata Baswara," Adiwangsa melanjutkan. Mark tampak terkejut. Ia tidak menyangka Adiwangsa bisa menebak sampai sejauh itu. "Jika Arata, harusnya dia tidak perlu sampai menggagalkan rencana penculikan. Meski tujuan kita mengadu domba mereka, Arata bukanlah tipe orang yang akan melewatkan kesempatan untuk membuat lawan politiknya malu. Kalau Moissani Sekai lebih tidak mungkin lagi. Orang itu bahkan tidak tahu kalau dirinya akan diculik. Jadi siapa, siapa orang yang membayarmu?"

Mark bertepuk tangan. Ia sungguh kagum dengan kemampuan analisa Adiwangsa. "Sayangnya aku sendiri tidak peduli siapa orang itu. Karena sudah menerima uangnya, bukankah yang perlu kulakukan hanya menjalankan tugasku," katanya tersenyum licik. "Sebenarnya aku harus membunuhmu tapi situasinya sedang tidak memungkinkan. Aku rasa nanti pasti akan ada kesempatan."

"Kami bertiga, kamu sendiri. Apa kamu pikir bisa menang?" tantang Adiraja.

"Aku memiliki senjata. Jangan lupa kalau aku juga seorang petarung." Kali ini Mark yang menyombong. "Ah! Satu lagi, ada dua orang yang sedang sekarat di dalam sana. Kalau tidak segera mendapat pertolongan jelas mereka akan mati."

"Hidup atau mati mereka apa urusannya dengan kami." Adiraja berusaha menguatkan diri meski tangan dan kakinya terus mengeluarkan darah. "Hanya untuk menghadapi orang sepertimu, aku seorang diri juga masih bisa bertahan."

"Tutup mulutmu bocah! Atau aku akan menembak sebelah lagi kakimu dan membuatmu tidak bisa berjalan selamanya." Mark tahu Adiraja memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain, jadi ia harus segera mengakhiri masalah ini. "Kamu sungguh tidak mengenal hyungmu? Meski suka mengomel, tukang mengatur, dan bermulut pedas, dia sungguh baik hati. Dia benar-benar panik saat Hongli tertembak, dia memberiku selimut saat tidur di lantai, dia bahkan betah mendengarkan omong kosong Carl saat mabuk."

"Menjadi baik hati memang bukan hal yang baik," cibir Adiraja.

"Paling tidak kakakmu ini tidak perlu berakhir dengan tangan dan kaki tertembak," balas Adiwangsa.

"Cukup omong kosongnya!" putus Mark. "Aku hanya perlu membawa Haidee dan bocah sialan ini. Orang-orang itu sudah menungguku."

Sudah tidak ada lagi cara untuk mengulur waktu. Mungkin Mark sendiri sadar bahwa omong kosong yang coba dilakukan Adiwangsa adalah untuk mengulur waktu. Untuk mencari celah agar mereka bisa menemukan kesempatan dan memutar balik keadaan.

Mark memerintahkan Haidee untuk memapah Adiraja dan membantunya berjalan. Mereka harus secepatnya pergi ke tempat lain yang telah disepakati. Haidee yang telah difitnah dan hendak dibunuh tentu saja merasa enggan memberi bantuan. Adiraja sendiri tidak sudi. Harga diri adalah hal tertinggi dalam hidupnya. Meski dengan terpincang-pincang, Adiraja masih bisa berjalan sendiri.

Mereka pergi dengan menggunakan mobil Mark. Meski Adiraja telah dilumpuhkan, anak itu tetap licik dan penuh ide. Agar aman, ia mengikat satu tangannya ke hand grip mobil dan membuatnya pingsan.

Sementara itu Haidee ditugaskan untuk menyetir. Mark duduk di sampingnya dengan menodongkan senjata. Mark terus mengawasi gerak-gerik Haidee.

Seperti halnya Adiwangsa, Haidee juga penasaran siapa orang yang berada di belakang Mark. Ia tidak akan bertingkah untuk sementara. Walau pada akhirnya ia akan mati, paling tidak ia mati hanya membawa dendam dan bukan rasa penasaran.

Saat Adiwangsa masuk ke dalam rumah, ia melihat Carl berusaha dengan susah payah untuk menahan pendarahan Hongli dan pendarahan pada lukanya sendiri. Hongli sudah tidak sadarkan diri, denyut nadinya sangat lemah. Carl sendiri tidak lebih baik. Wajahnya sudah hampir sepucat mayat, matanya berat, dan mulai mengantuk.

Secara bergantian, Adiwangsa mengangkut keduanya masuk ke dalam mobil. Dengan kecepatan penuh, mobil melaju ke rumah sakit terdekat.

Sebelumnya rumah sakit adalah hal tabu bagi mereka. Sebelumnya mereka bahkan memilih mengobati sendiri luka Hongli. Keadaan kali ini tidak mungkin lagi dilakukan. Hongli benar-benar sekarat dan Carl tidak bisa menunggu terlalu lama.

Begitu dokter telah mengambil alih penanganan, Adiwangsa menghilang. Padahal perawat akan memintanya melakukan pendaftaran.

Dua orang dengan luka tembak dan dilarikan ke rumah sakit saja sudah sangat mencurigakan, belum lagi kedua orang itu adalah warga asing. Kalau Adiwangsa tidak segera menghilang, cepat atau lambat ia pasti akan berhadapan dengan polisi. Cepat atau lambat ia akan terlibat masalah baru.

Hongli dan Carl telah ditangani oleh bagian yang tepat. Selanjutnya yang harus Adiwangsa lakukan adalah menemukan Mark. Adiwangsa mencoba melacak melalui sinyal ponsel, barangkali Mark bertingkah ceroboh seperti yang sudah-sudah, tapi tidak berhasil. Tampaknya anak itu telah belajar menjadi lebih berhati-hati, atau selama ini ia hanya berpura-pura bodoh.

Pilihan selanjutnya adalah melacak melalui CCTV jalan, tapi melakukan semuanya seorang diri akan menghabiskan banyak waktu. Adiwangsa tidak tahu apa yang akan Mark lakukan terhadap Haidee dan adiknya, tapi ia tetap tidak boleh mengambil risiko dengan membuang waktu terlalu lama.

Kendaraan Mark telah menghilang sejak tadi karenanya menjadi lebih sulit untuk dilacak, ada banyak CCTV yang harus diperiksa, belum lagi ia harus menyiapkan rencana, dan memikirkan ulang semua yang telah terjadi. Adiwangsa tidak mungkin melakukan semuanya sendiri. Ia butuh bantuan.

"Sial!" umpat Adiwangsa meninju setir mobil. Ia tengah menepi di pinggir jalan, di luar jangkauan CCTV. Ia perlu memikirkan rencana selanjutnya dengan tenang.

Di situasi seperti ini tidak ada siapa pun yang bisa ia andalkan. Padahal sebelumnya Adiwangsa bisa mengatasi segalanya seorang diri, biasanya ia bisa mengerjakan apa pun sendiri. Padahal hanya beberapa hari ia memiliki banyak orang di sekitarnya, tapi sekarang ia sudah begitu manja. Adiraja benar. Ia telah berubah seperti bukan lagi dirinya sendiri.

Adiwangsa memberi waktu pada dirinya tiga menit untuk berpikir.

"Apa aku harus meminta bantuan Ibu?" Adiwangsa mulai mempertimbangkan pilihan itu, tapi segera ia menggeleng kuat-kuat.

Tidak mungkin meminta bantuan ibu karena selama 3 tahun ini Adiwangsa bertindak semaunya. Sama sekali tidak terikat dengan misi. Badan Inteligen tidak akan setuju memberi bantuan. Begitu mengetahui Adiraja dalam bahaya, ibu mungkin akan bertindak seorang diri tapi tidak ada banyak waktu untuk menunggu.

Lebih dari itu, ibunya pasti akan meneriakinya, mengomelinya panjang-lebar, mengatakan tidak menjaga adiknya dengan baik, dan bagian itu benar-benar menakutkan. Bisa-bisa segala fasilitas dan kebebasannya ditarik dan kesempatan menyelidiki kebenaran tentang ayahnya hilang sama sekali.

Oke, ibu kan menjadi pilihan terakhir saat tidak ada pilihan lain.

Ah! Untuk saat ini Adiwangsa tetap memerlukan bantuan ibu untuk menyelidiki masalah Adiraja. Kenapa orang itu tidak hanya menginginkan Haidee tapi juga menginginkan adiknya. Sejak awal serangan yang Mark lakukan pada adiknya hanya untuk melumpuhkan, bukan membunuh. Artinya mereka membutuhkan Adiraja hidup-hidup.

Untuk apa?

Waktu berpikir telah habis. Sekarang waktunya bertindak.

Adiwangsa melakukan panggilan. Ada jeda cukup lama sebelum ibu mengangkat panggilan darinya. Ketika ia pikir panggilannya diabaikan, ibu mengangkatnya.

"Mana Raja? Kamu sudah menyampaikan pesan Ibu?"

Wajah Ratu Khalisa muncul di layar laptop Adiraja. Buru-buru ia memasang earphonenya. Dari pemandangan latar kaca dan wastafel yang terlihat, Ratu Khalisa pasti sedang berada di toilet. Menerima panggilan dari anak tukang membuat masalah memang harus sembunyi-sembunyi. Itu sebabnya panggilan dari Adiwangsa lama mendapat respons.

"Sudah," jawab Adiwangsa jujur. "Raja bilang, setelah tahu aku tidak ke sini karena perintah Ibu, Kakak percaya kalau aku selalu berada di pihak Kakak."

Terdengar suara menghela napas. "Memiliki dua anak seperti kalian membuat keriputku semakin banyak bertambah."

Adiwangsa tertawa. Ia melihat ibunya berdiri di depan cermin dan memeriksa wajahnya. Ia juga merapikan rambutnya yang selalu dipotong pendek sejak ayah meninggal. "Itu karena Ibu tidak mau mengakui kalau sebenarnya Ibu sudah tua."

"Kali ini ada masalah apa?" Ibu adalah ibu, firasatnya benar-benar tajam.

"Masalah?" Adiwangsa mengulang. "Ah!" serunya berpura-pura baru ingat sesuatu yang penting. Padahal sejak tadi ia mencari kesempatan. "Aku rasa kedatangan Raja ke N Island sedikit mencurigakan. Tanpa perintah dari Ibu dan hanya datang untuk mencariku bukannya sedikit berlebihan? Aku pikir pasti..."

Suara helaan napas terdengar lagi, membuat Adiwangsa mengantung kalimatnya begitu saja.

"Kamu benar tidak tahu seberapa Raja peduli padamu?" Ratu Khalisa bersandar pada wastafel. "Bagi Raja Ibu adalah orang yang telah melahirkannya, tapi baginya kamu adalah orang yang sudah membesarkan dan merawatnya. Menurutmu, posisi siapa yang lebih berharga untuk Raja?"

Tenggorokan Adiwangsa mendadak mengering, matanya terasa panas. Adiknya sekarang tidak diketahui keberadaannya, sedang terluka. Adiwangsa merasa bersalah untuk ketidakberdayaannya melindungi, untuk kesombongannya selama ini.

"Karena itu," Adiwangsa akhirnya bisa berkata-kata "Bukannya aneh Raja baru datang sekarang. Pokoknya Ibu harus mencari tahu masalah ini."

"Pokoknya?" Ratu Khalisa mengulang. "Terjadi sesuatu di antara kalian? Kamu menyembunyikan sesuatu dari Ibu?" tambahnya menyipitkan matanya.

Kali ini Adiwangsa yang menghela napas. Tampaknya tidak mungkin untuk terus berbohong. "Sesuatu memang terjadi, tapi Ibu jangan khawatir. Beri aku waktu dua hari, pasti akan kuselesaikan."

Ratu Khalisa tidak langsung menjawab. Ia sedang menghitung, berpikir. Tatapannya lurus tertuju pada Adiwangsa. Kemudian, sekali lagi ia menghela napas.

"Sebelum memutuskan apa pun, pikirkanlah posisimu yang bukan hanya sekadar seorang kakak. Kamu adalah orang yang telah merawat dan membesarkan Raja. Bahkan meski kamu tidak berpikir seperti itu, setidaknya pikirkan bahwa bagi Raja kamu lebih dari dirinya."

###

Próximo capítulo